[caption id="" align="aligncenter" width="265" caption="Rakyat Pengayuh Perubahan (source:calltoreason.org)"][/caption]
Kita ingin berpanjang lebar tapi ingin pula bersempit benar. Serba instan gaya kita bukan? Sekali-sekali saja pakai yang instan. Jangan seperti mie, yang kalau dikonsumsi setiap hari rawan kanker! Bikin mati sia-sia, sama benar dengan merokok. Kanker segera menjalar, kalau tidak hati-hati.
Kadang seperti mengidap kanker, kalau mengingat sistem.
Kita tentu tidak ingin menyalahkan sistem yang ada, justru ingin memancing berpikir di luar kotak. Menyisihkan terpenjaranya pikiran. Tapi, memang seolah-olah kebodohan menerpa siapa pun. Tidak terkecuali. Tapi, (eh kok tapi tapi melulu nih) di celah-celah kebodohan ternyata luas pula cahaya kecerdasan. Mari bertanya-tanya!
Kebodohan kah yang menimpa saya atau demokrasi yang sebenarnya salah? Seandainya memang lolos RUU PILKADA dari KMP (koalisi merah putih), demokrasi kah yang salah?
Bukan kah demokrasi itu suara terbanyak dan sekaligus mewajibkan adanya perwakilan?
Kalau demokrasi cuma suara terbanyak, jangan bikin perwakilan donk!
Kalau demokrasi cuma perwakilan, bubarkan saja itu rakyat! Rakyat cuma di bawah jembatan, kolong!
Makanya harus ada kombinasi antara suara terbanyak dan perwakilan.
Kalau memang referendum terjadi. Yes, why not?
Read more:
http://politik.kompasiana.com/2014/09/09/kemana-ruu-pilkada-berlabuh-686511.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H