Mohon tunggu...
Em Fardhan
Em Fardhan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

I'm not a good person, but I'll try.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahagia

18 Desember 2022   04:04 Diperbarui: 18 Desember 2022   05:24 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah ketika kita mampu mempunyai barang-barang yang kita inginkan, prestasi yang kita impikan, dan pencapaian yang tlah kita perjuangkan, lantas kita akan bahagia? Belum tentu, bisa jadi itu hanya rasa puas dan bangga.

Cermati saja, segala kesenangan yang terhampar di dunia ini pasti ada batasnya. Makan enak kalau sudah kenyang ya sudah. Mempunyai barang yang bagus kalau sudah punya ya sudah. Seks pun begitu. Kalau sudah anu ya sudah. Jadi apa itu kebahagiaan? Sedangkan kebahagiaan seharusnya terus abadi.

Kebahagiaan adalah kondisi hati. Ada di sini, dalam hati ini, bukan sesuatu yang jauh di luar sana. Tak ada urusan kaya miskin sebenarnya. Terdengar tak realistis tapi bukankah kita bisa melihat betapa banyak orang kaya yang tak bahagia dan melihat orang yang tak kaya bisa begitu menikmati hidupnya. Kekayaan hanya salah satu pendukung, bukan penentu.

Saat susah tak terlarut dan pasrah, saat senang tak terlena dalam efuoria yang membuat tak seimbang. Berjarak dengan perasaan dan pikiran membuat kita bisa membaca bahwa itu semua bisa berubah-ubah. Hidup yang meditatif.

Amati saja dan terima. Susah terima, senang terima. Tak terikat lagi dengan rangka dan suasana. Karena susah senang adalah sudah hukum alam yang akan terus berkelindan tak bisa terbantahkan. Kita akan terus menderita jika tak mengetahu realitas ini.

Kondisi hati yang sudah mau menerima apapun segala kondisinya. Inilah yang disebut bahagia. Hati yang sudah selesai, tidak lagi terjebak di dualitas Hitam-Putih yang semu belaka.

Mungkin ada pertanyaan begini, "Kalau bahagia itu tak ada urusan kaya dan miskin, lalu buat apa menjadi kaya. Toh miskin sudah bisa bahagia. Tak usah susah payah agar menjadi kaya kalau begitu?"

Pemikiran yang kurang tepat.

Saat miskin mungkin kita bisa bahagia, asal kita bisa menerima, tetapi apakah orang miskin bisa membantu orang lain? Susah. Sebab ia terbatas, sedangkan orang kaya bisa mempunyai kesempatan untuk berbuat lebih banyak dengan uangnya. Masalahnya bukan bahagia dan tidak bahagia, tetapi sejauh mana bisa memberi dan bermanfaat bagi sesama.

Dan ketika kita mampu membawa manfaat kepada orang banyak, kebahagiaan di hati akan menjadi berkali-kali lipat.

Kalau kita sudah berusaha sekuat tenaga tetap tak bisa kaya ya sudah terima. Sekali lagi terima. Terima di sini bukan pasrah yang bongkokan. Menerima ini agar kita tetap bisa bahagia meskipun belum kaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun