Saat menonton sebuah acara baru di stasiun televisi asing mengenai bentuk-bentuk penipuan di kota Bangkok-Thailand semalam, saya teringat kembali akan apa yang saya alami di kota tersebut ketika sedang berwisata pada bulan lalu. Salah satu bentuk penipuan yang ditayangkan yang saya alami yakni saya dan adik ditawari oleh seorang pria di luar Grand Palace untuk mengunjungi sejumlah kuil dengan biaya tertentu. Awalnya, setelah berkeliling di daerah sungai Chao Phraya, kami berniat untuk mengunjungi istana tersebut di pagi hari. Tepatnya sekitar pukul 09.00 waktu setempat. Kami pun masuk ke sebuah pintu dan menemukan pegawai istana yang menyatakan bahwa pintu masuk utama berada di bagian lain. Lantas kami pun berjalan kaki untuk menemukan pintu yang dimaksud. Setelah hampir 15 menit berjalan di tengah teriknnya matahari, kami memutuskan untuk berteduh sejenak. Maklum kami tidak membawa payung atau alat lain yang bisa menutupi badan kami dari sengatan matahari. Sekalipun waktu masih bisa dikatakan pagi tapi panas matahari seperti waktu siang. Kami pun menyebrang jalan untuk berteduh. Sulit menemukan daerah berteduh di dekat tembok pagar istana yang menjulang tinggi. Hanya ada tanaman pendek se-dengkul kaki yang menjadi penghias tembok pagar bercat putih itu. Ada sejenis taman yang kami gunakan sebagai tempat berlindung sejenak. Di taman tersebut terdapat sejumlah tuk-tuk, yakni moda transportasi tradisional Thailand, yang parkir di tempat kami berdiri. Seorang pria pun mendatangi kami. Penampilannya cukup rapi. Tidak ada kesan preman. Ia pun lantas memberitahukan kami bahwa Grand Palace hanya buka pada sore hari. Ini tidak betul karena di tangan kami terdapat informasi jam buka istana dari sebuah buku travel yakni dari pagi pukul 8.30 sampai 15.30. Dan kebetulan saya pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya, sementara adik saya belum. Lalu ia juga mengatakan bahwa ada ketentuan cara berpakaian untuk masuk ke istana tersebut. Salah satunya tidak boleh bercelana pendek. Dan ini memang benar. Tapi untuk diketahui ada tempat penyewaan kain di istana tersebut sehingga ini tidak menjadi masalah. Bermodalkan sejumlah alasan tersebut, pria itu pun akhirnya meminta kami mengeluarkan peta yang kami punya. Ia menawari kami untuk mengunjungi tiga tempat wisata yakni kuil dengan menggunakan tuk-tuk. Menurut kami, ongkos yang ia tawarkan cukup murah. Ia pun memberitahu bahwa tidak ada pantangan memasuki tiga temple tersebut. Tidak ada biaya masuk seperti halnya mengunjungi Grand Palace. Tapi, karena kami harus check-out dari hotel pada pukul 11.00 maka kami pun menolak tawaran tersebut. Untungnya kami menolak karena dari tayangan televisi tersebut perjalanan kami bisa berujung ke pusat penjualan perhiasan. Kenapa bisa? Dari tayangan televisi tersebut, di salah satu temple yang akan dituju, pengunjung akan bertemu dengan seseorang yang merupakan jaringan dari pengemudi tuk-tuk untuk mendorong pengunjung pergi ke pusat perhiasan. Ia akan mempromosikan bahwa hari ini adalah hari terakhir diskon besar. Tuk-tuk yang sama akan mengantar pengunjung ke tempat tersebut. Dari tayangan tersebut saya mengetahui bahwa penipuan ini cukup terorganisir. Katanya, dalang dari penipuan ini adalah pemilik toko perhiasan. Pengemudi tuk-tuk akan menerima komisi dari pengunjung yang diantarkan ke toko tersebut. Dengan iming-iming diskon besar biasanya pengunjung akan tertarik. Padahal, katanya, perhiasan dengan harga diskon tersebut masih lebih tinggi dari harga seharusnya. Kualitas perhiasannya pun belum tentu terjamin. Pengalaman membeli perhiasan di sebuah toko di Bangkok, belum setahun emasnya sudah menghitam. Hati-hati ketika mau naik tuk-tuk. Harga hasil tawar-menawar pada waktu awal bisa berbeda ketika ditagih. Misalnya, ketika sebelum naik, perjanjian hanya 100 Baht untuk tiga orang, tetapi ketika turun ditagih 100 Baht per orang. Pengalaman ketika diantar ke sebuah sentra perbelanjaan, pengemudi pun ngotot bahwa dia sudah menjelaskan di awal bahwa 100 Baht adalah harga per orang. Rasa takut pun menghampiri saya, tetapi saya tetap berusaha menawar. Alhasil kena 200 Baht untuk tiga orang. Satu hal lagi yakni bentuk klasik adalah masalah copet. Untuk yang satu ini, banyak petunjuk yang memberitahukan kita, "Beware of the pickpocket." Entah itu di temple, di pusat perbelanjaan, ataupun di depan hotel. Di objek wisata Wat Pho saja, tempelan yang mengingatkan agar kita berhati-hati terhadap pencopet cukup banyak. Itu tandanya pencopet sudah menjamur di sana. Untuk yang satu ini, untungnya saya tidak mengalami. Saya selalu menaruh tas kecil saya di bagian depan.
[caption id="attachment_202391" align="aligncenter" width="296" caption="Salah satu petunjuk agar pengunjung berhati-hati terhadap copet di tempat wisata Wat Pho (dok pribadi)"][/caption] Menurut salah satu supir taksi yang menurut kami cukup baik dan jujur, ia menyarankan agar tidak pernah menaruh barang di depan kursi tuk-tuk. Di depan kursi memang ada ruang untuk kita bisa menaruh barang. Ia mengatakan, penjambretan kerap terjadi di Bangkok. Jadi lebih aman, bila barang itu berharga taruh di pangkuan kita. Perlu diperhatikan pula bahwa banyak taksi ilegal beredar di Bangkok. Taksi ini tak menggunakan argo. Kita bisa memastikannya dengan menanyakan apakah taksi ini "taximeter." Pengemudi taksi pun biasanya akan menjawab ya, dan segera menekan tombol untuk memulai argo. Sebagai upaya untuk menghindari diri dari berbagai bentuk penipuan, biasakan bertanya kepada satpam, polisi, ataupun tempat informasi bagi turis. Usahakan tidak bertanya kepada orang di jalan. Alih-alih menemukan petunjuk yang diinginkan pengunjung bisa disesatkan. Bahasa pastinya menjadi kendala. Tidak semua satpam bahkan polisi mengetahui bahasa Inggris. Jadi pastikan peta ditangan karena biasanya mereka lebih mudah memberikan arah bila ada kertas bergambar tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H