Memang, Soraya hanya berani mengintip saja dari balik tirai jendela kamar, saat kakek sedang melatih murid-muridnya ilmu bela diri. Mungkin ini kurang sopan, tapi ia suka melihat gerakan-gerakan lincah mereka. Baginya ini hiburan tersendiri. Dan, sambil melafalkan beberapa ayat dalam kitab suci yang harus disetorkan pada kakek nanti malam, ia berusaha menyerap energi semangat yang timbul dari suara-suara mereka.
Jeda beberapa saat setelah ia menutup mushaf, Ummah memanggilnya. Ia bergegas melipat mukena dan berhambur ke dapur. Dilihatnya Sang Ibu sedang meracik beberapa jajanan pasar yang baru saja diantar Mbak Sari dari pasar pagi.
"Kamu bikin minum, Sora. Nanti biar Mbak Sari yang antarkan ke depan,"
Sambil mengambil gula, Soraya bertanya, "Tamu siapa, Umm?"
"Itu, teman Ayahmu dulu. Puterinya mau dipondokkan di sini,"
"Ooo,"
***
Murid baru Ummah itu, sangat bersahabat. Ia gadis yang ramah dan riang. Soraya merasa, kehadirannya adalah karunia. Hira Dayita Janitra. Nama yang... aneh bagi Soraya. Ia tak pernah mendengar nama seperti itu sebelumnya. Namun, baru setelah Jani menjelaskan sekilas tentang arti namanya, Soraya jadi berbinar. Intan Kekasih Berderajat tinggi. Begitulah kira-kira rangkaian makna dari nama yang diambil dari bahasa sansekerta itu.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H