Mohon tunggu...
Fina Afidatussofa
Fina Afidatussofa Mohon Tunggu... -

Just Write! ^^

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cuplikan Novel Bukan Cinta Biasa 3

1 Mei 2012   17:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh Fina Af'idatussofa Rupanya aku menemukan satu orang lagi yang LEBIH ANEH dariku. Ia rela bersunyi-sunyi dalam menikmati hari-harinya. Benar-benar sunyi. Dan kukira, lebih hening dariku. Beberapa minggu di sini,  aku sedikit lebih tahu tentang siapa itu Gus Rafi yang sering disebut santri-santri waktu sarpan pagi bareng di beranda pondok. Biasanya sambil menikmati sarapan dalam loyang besar, dengan lauk ala kadarnya, ditambah kerupuk dan sambal terasi, santri-santri mengobrol soal keluarga ndalem. Diantaranya yang paling sering diobrolkan adalah sosok manusia hening itu. Hanya saja, benarkah ia sehening seperti yang kubayangkan? Dan benarkah ia menikmati keheningan itu? Keheningan sesungguhnyalah yang begitu ingin kurasakan. Keheningan yang membawa jiwa menelisik ke ruang intuisi. Membuka makna tentang apa itu aku? Siapa diriku dan bagaimanakah aku harus melangkah? Atau keheningan itu, sebuah keadaan yang sulit kumiliki karena aku belum memiliki jiwa yang tenang seperti putra Kiaiku? Atau mungkin karena hatiku yang masih berbalut noda sehingga belum bisa kurasakan kelezatan dalam keheningan seperti itu? Sementara, aku masih saja gelisah dengan keadaanku sendiri. Aku berharap, segera kutemukan jawaban dari ketidak pastian atas nama beban rindu yang sedang kualami. Dunia… Indahlah. Jangan biarkan aku bingung karena ketidakmenentuanmu. “Perpus ya, Ma,” Mbak Aini membuyarkan renunganku sesaat setelah aku merapikan almari bajuku pagi ini. Oiya Dee… perlu kau ketahui, semalam aku telah memproklamirkan perubahan nama panggilanku. Kini serempak, para tetangga kamar, memanggilku dengan sebutan Fathimah. Aku bersyukur mereka tak banyak bertanya soal perubahan nama ini. Karena beberapa dari mereka juga telah melakukan hal yang sama sebelum ini. Seperti Nahdiah yang tiba-tiba pengen dipanggil Aya, lalu Jazima yang pengen dipanggil Aza. Dan Amanatus jadi Ana. Mereka tak tahu, kalau aku sedang menepis kerinduan yang masih saja mengkristal bulat-bulat dalam diriku. Setiap nama Zahra disebut, maka terbayang adalah suara Bulek Ainlah yang memanggil. Atau suara Mbak Ayyin yang lirih tiap kali membangunkanku di sepertiga malam. Biasanya, sambil menggoyang-goyangkan pundakku, ia menyebut-nyebut namaku dengan volume tengah berbisik. Atau ketika ia menasehatiku layaknya adik sendiri. Sayang, dia mengela waktu aku berniat menjodohkannya dengan kakakku.hmmm… “Aku dapat jatah piket ndalem,” sambung Mbak Aini, lalu berlalu setelah merapikan kerudung parisnya di depan kaca besar dekat pintu kamar. Aku mengangguk saja mengiyakan perintahnya. Tak mau bertanya-tanya dengan siapa aku  piket di perpus. Semalam Mbak Aini sudah menceritakan bahwasanya tak ada santri yang suka membersihkan perpus yang jarang terjamah itu. Tapi nuraniku mendorongku kuat untuk mau bergerak. Mungkin rasa cinta pada buku itulah yang membuatku bersemangat. Kata Pramodya, perpus adalah (salah satu) harga diri penulis. Makanya, kalau ada perpus yang dibakar, para penulis yang naik darah. Setelah membetulkan sarung biruku dan kerudung semi sutera putih, aku melesat ke tempat peralatan bersih-bersih. Tapi rupanya, peralatan sudah raib semua kecuali satu sapu yang terjatuh dilantai. Kuambil dan segera melesat menuju perpus. Sepanjang jalan menuju perpus, santri-santri sudah ribut dengan segala aktifitasnya. Ada yang sibuk menyapu, mencari air di kolam, menggosok jalan suci menuju musholla, membersihkan kaca, juga mengepel lantai. Dicorong dari speaker yang disangkutkan di pohon mangga, lantunan shalawat Habbibi ya Muhammad mengalun keras. Beberapa santri ikut melantun sambil bercanda-canda penuh suka. Lalu, suasana sepi mulai kulalui begitu menyusuri jalan sempit menuju perpus. Lantunan shalawat dan jerit santri putri agak lindap. Aku tetap melenggang santai menuju istana itu. Sebuah bangunan yang seolah telah lama tersenyum lebar menunggu kedatanganku. Tanpa prakata, tanpa basa-basi, aku segera membuka pintu perpus begitu sampai. Aku mengulum salam keras-keras. Pikirku, aku bisa puas dengan ini. Toh tak ada santri yang berdomisili di dalamnya. “Wa’alaikum salam,” jawab seseorang dengan nada cepat, setelah tercegak dengan muka merah menatap ke arahku tiga detik. Aku sendiri segera mengalihkan perhatian ke lantai hitam. Astaghfirullah… desisku pelan menahan malu bukan kepalang. Aku lupa! Serius aku lupa tugas yang diberikan Mbak Aini sebelum masuk perpus. Aku lupa kalau aku harus ketok pintu dulu. “Ma-af. Mau bersih-bersih,” Bug-bug-bug! Sosok yang sering jadi bahan omongan santri itu merapikan buku-buku dengan amat tergesa. Lalu melenggang pergi. Aku perhatikan langkahnya begitu ia memunggungiku. Ia keluar lewat pintu samping menuju ndalem. Aku menghempaskan nafas. Merinding juga. Seperti terkena sindrom dinginnnya itu. Badanku agak menggigil. Tapi sebentar kemudian setelah menduga-duga perkara manusia misterius itu, aku segera sadar akan tugasku. Dengan sigap, aku mulai menyapu lantai dari pojok selatan. Ubin-ubin itu tak cukup kotor. Mungkin orang tadi yang membersihkan. Karena menurut informasi, tak ada santri yang bersedia membersihkan perpus. Sampai di sini, aku masih heran bin aneh. Bagaimana mungkin perpus segede ini, dan dengan buku sebanyak ini, santri tak mau menjamahnya sama sekali? Sambil membersihkan, aku membayangkan kalau saja perpus ini dibikin menarik. Misalnya, jendelanya dibuka semua agar terang. Kemudian diberi tempat duduk memanjang di sisi selatan ke utara. Lalu diiringi musik klasik dan disediakan cemilan ringan. Kalau perlu, diberi buku besar untuk ruang ekspresi santri. Jadi santri berhak menuliskan keluh kesahnya atau perasaan sukanya, atau apapun. Dan kalau perlu, dipasang internet sekalian biar santri paham informasi tanpa harus keluar pondok .Hmmm… cukup menarik. Aku juga membayangkan catnya diganti dengan warna terang. Hijau bercahaya, atau biru langit. Ah... Semarak, ceria dan elegan! Tapi, emang perpus buyutku apah? Seenaknya merancang. ”Nduk,” suara Simak menyeka alur pikirku yang mulai merambat ke segala penjuru. ”Simak?,” Aku berbalik dan menatap Simak dengan jubah birunya. Ia berdiri di depan pintu samping, pintu keluar masuk ndalem, yang tadi dilewati Rafi. ”Sendirian?” ”Nggih,” ”Sini-sini,” beliau memintaku mendekat. Kusandarkan sapu di tubuh rak. Lalu kami berjalanan dari arah yang berlawanan menuju sebuah meja besar yang biasa diguakan Gus misterius itu untuk baca. Mula-mula aku hanya diam dan terus menatap mata bening nan sejuk milik Bu Nyaiku yang usianya sudah tak lagi muda ini. Kuperhatikan gelagatnya menurukan kaca mata, membersihkan pinggiran-pinggiran bola matanya dengan kain hijau bersih lembut. Lalu mengenakan kaca mata lagi dan mulai menatapku kembali. Beliau diam. Hanya menantang mataku saja. Tak ada dialog. Aku jadi kikuk. Aku tak lagi kuat menatapnya. Kualihkan pandanganku ke meja jati tua sambil mengetuk-etuk bolpoin yang sempat kuraih dari rebahannya. Tak peduli bolpoin siapa. Hanya sekedar mengalihkan saja. ”Kalau ditatap, jangan kalah, Fathimah,” ucap Simak. Aku tersenyum saja. Agak tersipu dengan nama Fathimah yang rupanya sudah booming sampai ndalem. Mungkin Ning Hilya yang memberitahukan perihal perubahan yang beralasan ini. ”Kenapa tiba-tiba ikut anak-anak? Pakai ganti nama panggilan segala,” Aku hanya tersenyum menanggapi. ”Zahra kan sudah bagus. Tapi Fathimah juga tak kalah bagus,” sambutnya. ”Ya, supaya ada suasana lain,” Simak tersenyum, ”Beranilah menatap orang yang menatapmu, Fathim. Siapa yang paling tahan lama dialah pemenangnya,” ”Tapi, Bu. Kan nggak sopan kalau sama Bu Nyainya sendiri,” jawabku sehati-hati mungkin. Bu Nyai tersenyum. Lesung pipinya terlihat jelas. Mirip Ning Hilya. ”Gimana? Suka sama perpus ini?” ”Ahlamdulillah,” kali ini aku menatapnya lama. Beliau pun menatapku. Tatapan penuh arti ternyata bisa dirasakan. Aku melihat ada yang lain. Tapi apa? Keteduhan mata seorang perempuan tangguh, ketulusan, kedamaian, ketenangan.... indah sekali. ”Sepi kan? Ya beginilah,” Simak mengedarkan pandangan ke buku-buku. Ada keprihatinan yang mendalam. “Dulu, kakenya Hilya itu suka menulis juga, Fathim. Suka berkarya dan suka buku-buku. Itu di pojok selatan, semua karya-karya beliau. Tapi akhir-akhir ini, kami lihat, tak ada santri yang punya semangat untuk meneruskan perjuangan kakek,” Apa mungkin ini juga yang jadi penyebab mengapa aku dipanggil ke mari? Entahlah. Aku enggan bertanya. Tak enak rasanya. Toh kalau Simak mau cerita, pasti akan bercerita. ”Aku dengar kalau kamu suka nulis. Kami langsung tertarik membawamu kemari. Ya, supaya perpus ini bermanfaat. Setidaknya ada yang membaca selain Aini, Hilya atau Rafi,” Simak mulai beranjak. Kemudian berjalan di antara rak-rak. “Sedih rasanya melihat perpus yang selalu sepi,” ”Tapi saya lihat, santri puteri lumayan kok, Bu yang suka baca,” ”Itulah, Fathimah. Mungkin mereka tak enak kalau ada Rafi,” jawab beliau masih memunggungiku.

13358933061677913781
13358933061677913781

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun