Burung dan Bajing Peliharaan.
Ketika masih mahasiswa, apalagi sebagai mahasiswa jurusan kaji bumi yang sarat jadwal kuliah tak teratur, entah karena masih terbilang jurusan yang teramat langka peminat, dan pengajar pada waktu itu, maka jadwal kuliah tergantung ada tidaknya dosen pengajar, rebutan ruang kuliah dengan enam jurusan yang lain. Jumlah mahasiswa yang terbilang langka.
Saat penerimaan mahasiswa diterima hanya lima mahasiswa, dan survival setelah tahap seleksi tingkat persiapan, dari lima gugur dua tinggal tiga. Selanjutnya hingga tingkat sarjana muda hanya tersisa dua.
Akibatnya bila kuliah bisa digabung dengan dua angkatan senior di atas dan satu angkatan di bawah. Bukan hal langka, bila saat itu pendidikan bisa membuat mata anak masa sekarang terbeliak,dan berteriak, wow keren! Bisa lebih lama dari pendidikan resmi kedokteran ditambah spesialisasi saat itu, yaitu lebih dari enam tahun hingga sepuluh tahun.
Sayang beribu sayang, hanya gelar berhak menjadi calon doktor diraih, dengan lama pendidikan tersebut, seharusnya sudah mencapai predikat tuan yang amat terhormat dan terpelajar tapi sampai sekarang tak kunjung diraih, cukup calon doktor, alias doktorandus. Tetapi, lantaran sekolah tetangga memilih gelar insinyur, akhirnya ikut ikutan. Prestasi kelas dunia.
Ceritera diatas memang tak ada kaitan dan hubungannya dengan bakal cerita yang di bawah, sekedar prakata kebablasan saja. Mau dibaca atau di pindai sekilas ga akan bikin sesuatu sampai dihati. Inti sebenarnya hanyalah ingin menyatakan, bahwa itulah saat pengangguran yang teramat sangat, disamping waktu diisi dengan kegiatan ”crime juvenile” yang gak terlalu parah parah amat, bersama sesama mahasiswa dengan jurusan lain satu fakultas.
Kegiatan titip absen, pesan bangku kuliah, bagi kertas contekan, lalu menonton keliling bioskop kota dari siang sampai malam. Setelah itu main kyu kyu atau gapleh, bridge dua hari dua malam tak terputus putus, makan minum menunggu tukang baso, sate ayam yang lewat. Yah, sebagaimana remaja zaman dahulu saja. Beradu gang Cuma terjadi sekali aja, entah apa sebabnya, tahu tahu gedebag gedebug.
Benar bukan, ceritera di atas ga ada sangkut pautnya bukan? Intinya, lantaran banyak menganggur, dan sebagai pemuda yang tak dipusingkan dengan rekening bulanan, lantaran mendapat beasiswa dari perusahaan Multi Nasional Corporate, yang walaupun sekolah kelewat lama, tetap mengucurkan bea siswanya. Selain itu, zaman belumlah sampai tahap neolib, hayo kerja, sehingga wirausaha, enterpreneship, dan kompetisi bebas masih belum menggebu saat itu.
Banyak usaha yang bangkrut. Kita baru selesai menjalani zaman solidaritas, kemelaratan dan kemiskinan merata serta ketiadaan, keprihatinan dan kekurangan sandang pangan di semua lapisan, pegawai negeri, tentara, rakyat. Mungkin petanilah yang saat itu tak mengenal kekurangan pangan. Sebuah zaman solider semua warga bangsa dalam kemiskinan dan kemelaratan bangsa, semua sama miskin. Mungkin banyak yang masih ingat pembagian, bulgur, beras jagung, jawawut, dlsbnya.
Nah, lantaran banyak waktu luang dan menganggur, serta suasana waktu itu mengharu biru tak ada yang harus dan wajib dikerjakan sesuai SOP kapitalis maupun sosialis bahkan tak terbersit secuilpun cita cita utopian, maka mulailah pekerjaan iseng seperti memelihara khewan peliharaan, antara lain burung, yang semuanya karena kejadian kebetulan saja, bujan niat atau tekad komersil, ataupun cita cita luhur WWF, idealisme menjaga bumi hijau.
Syahdan,
Satu saat, pada waktu liburan semester, ketika berlibur ke Riau, Sumatera tempat orangtua, kutemukan seekor anak burung merbah yang sedang belajar terbang dan jatuh di kebun. Singkat kata burung merbah tersebut dipelihara, namun karena tak punya kandang burung, dan memang tak semudah mendapatkan kandang burung ketika itu, seperti di pulau Jawa atau di kota kota, maka burung itu dipelihara dan dilepas dalam rumah, karena rumah memang tertutup rapat oleh kawat kasa pelindung serangga dan nyamuk.