Ulama, umara, dan orang kaya merupakan tiga pilar penyangga keadilan dan kebenaran. Secara simbolik, ketiganya menjadi penjaga pintu neraka agar tak seorang pun masuk ke sana. Ulama, umara, dan orang kaya, pelindung masyarakatnya.
Dalil moralistik-idiilnya jelas: bila tiga golongan ini baik, maka baik pula masyarakatnya. Ulama menjadi teladan akhlak mulia dan mencerminkan pepatah: orang pandai tempat bertanya. Orang bijak itu perumus fatwa.
Tapi mengapa banyak ulama ikut rebutan kursi dengan segenap implikasi jahiliah-nya? Ini merusak moral umat (manusia).
Umara, pemegang kendali hidup masyarakat dan negara, mengemban sifat amanah dan jujur, dan bukan sibuk menjaga singgasananya sendiri, dengan risiko bohong, zalim, dan keji, yang sudah menjadi kelaziman di sini.
Orang kaya menyangga tugas etis dan sosial menjadi dermawan, seperti tercermin dalam pepatah orang kaya tempat meminta. Maka, terkutuklah orang yang menyembunyikan kekayaannya karena takut dituntut jaksa.
Ketiga pilar ini ternyata bohong. Banyak ulama tak peduli akan kebobrokan moral masyarakatnya. Penguasa bersumpah memanggul amanat penderitaan rakyat, tapi tak sensitif terhadap derita mereka.
Orang kaya banyak yang berlagak sederhana, memakai kaos dan sendal, atau sepatu murahan, demi menghindari proposal permintaan sumbangan seminar. Dirinya sendiri pun dibohongi.
Sebagian malah gigih menjadi penguasa, tanpa merasakan adanya dilema etis maupun moral, karena etika dan moralitas bukan ukuran hidup mereka.
Apa boleh buat. Inilah tekanan kondisi struktural yang memaksa kita menyadari bahwa dunia memang bukan surga. Itu pun bagi yang percaya bahwa surga itu ada.
Bila dipetakan secara kategoris, maka di masyarakat kita temukan tiga jenis kebohongan. Pertama, kebohongan politik, yaitu suatu jenis tindakan biasanya oleh tokoh, terutama tokoh politik yang sengaja menyembunyikan kebenaran tentang suatu perkara. Tujuannya untuk penyelamatan politis seseorang. Di pengadilan, atau dalam pemeriksaan, kebohongan ini menang, tapi rasa keadilan umum terluka dan dibiarkan telantar tanpa pembelaan.
Dari dulu, hingga kini, juga di sini, orang kuat selalu selamat.