Mohon tunggu...
Tri Wibowo BS
Tri Wibowo BS Mohon Tunggu... -

Editor, penerjemah, tukang ketik, mampir cengengesan | urip sawang sinawang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sedikit Tentang Mahabbah & Ma'rifat Allah

29 Desember 2010   05:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:15 18309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Allahumma inii as aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka
(Ya Allah, aku memohon agar Engkau karuniakan cinta kepada-Mu, dan agar aku bisa mencintai orang-orang yang mencintai-Mu)

Ilahi anta maqshuudi wa ridhoka mathluubi a’tini mahabbataka wa ma’rifataka
(Tuhanku, Engkaulah yang kutuju dan ridho-Mu yang kuharapkan, beri daku kecintaan dan makrifat kepada-Mu)

“Nafas Ar-Rahman menjadikan semesta ini ada, guna memancarkan cinta dan apa-apa yang dilihat oleh Pencinta dalam Diri-Nya. Melalui penyaksian Yang Lahir, Dia mengenal Diri-Nya sendiri,” demikian tulis Syekh Al-Akbar dalam Futuhat Al-Makiyyah. Sifat Tuhan kepada alam, mikro maupun makro, adalah mencintai, sebab “Aku rindu untuk dikenal, maka Aku ciptakan semesta.” Cinta bagi hampir semua Sufi, adalah dasar dari penciptaan. Juga dikatakan oleh beliau bahwa Islam sepenuhnya adalah agama cinta, sebagaimana juga Rasul Muhammad adalah yang dikasihi Allah—habibillah. Cinta, kata Jalaluddin Rumi, adalah penyembuh bagi kebanggaan dan kesombongan, dan seluruh kekurangan diri. Dan hanya mereka yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri. Hanya mereka yang mencintai sepenuh hati sajalah yang mampu meniadakan diri (fana) di dalam Diri Sang Kekasih (Allah).

Cinta kepada Allah (mahabbah) bukan cinta dalam pengertian keduniawian, yang masih melibatkan ego dan keinginan untuk diri sendiri. Cinta Sufi adalah dalam rangka merespons hadis “Aku rindu untuk dikenal,” yakni seorang pencinta harus mengenal Allah sebagaimana Dia mengenal Diri-Nya sebagai Perbendaharaan Tersembunyi yang menyimpan segala Keindahan (jamal), Keagungan (jalal) dan Kesempurnaan (kamal). Tetapi, karena hanya Allah yang mengenal Allah, maka satu-satunya cara bagi Sufi adalah “bersatu” dengan Allah, mem-fana-kan sifat-sifat buruk dan bahkan kediriannya dan mengenakan sifat-sifat-Nya dalam ke-baqa-an, lalu menyaksikan bahwa segala sesuatu hanyalah Allah saja. Dengan cara inilah Sufi bisa “meminjam” perspektif” Allah dalam memandang Diri-Nya sendiri.

Jadinya, tanpa cinta, Perbendaharaan Tersembunyi akan selamanya tersembunyi. Tanpa cinta, tiada alam semesta. Tanpa cinta, tidak ada “persatuan” dengan Allah. Tetapi apakah sesungguhnya cinta (mahabbah) itu? Cinta menurut Sufi adalah salah satu maqam dalam perjalanan spiritual. Tetapi definisi yang pasti untuk soal ini amat sulit, jika tidak bisa dikatakan mustahil. Syekh Akbar Ibnu Al-Arabi dengan jelas mengatakan bahwa cinta tidak bisa didefinisikan:

Di kalangan orang-orang arif dan yang membicarakannya, cinta adalah sesuatu hal yang tidak bisa didefinisikan. Cinta diketahui oleh orang-orang yang mengalaminya … tanpa mengetahui (secara persis) apa sesungguhnya cinta itu, dan mereka tidak menyangkal eksistensi riilnya.

Sasaran cinta bagi Sufi adalah Perbendaharaan Tersembunyi dari Wujud Ilahi di setiap benda, sehingga seluruh dunia adalah pencinta sekaligus yang dicintai, dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Cinta ilahi adalah sumber semua cinta, sebab Cinta Ilahi ada di dalam Diri-Nya (Dzat-Nya) sendiri yang mencintai kita demi diri kita dan demi Diri-Nya sendiri. Artinya, di satu sisi, cinta-Nya kepada kita demi diri kita adalah lantaran agar kita bisa mengenal-Nya dari amal ibadah yang membawa kita kepada pemenuhan keinginan-Nya dan menjauhkan diri kita dari segala hal yang bertentangan dengan keinginan-Nya—atau kita mengenal-Nya melalui takwa. Di sisi lain, Dia mencintai kita demi Diri-Nya sendiri karena “Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, aku rindu (cinta) untuk dikenal, maka Aku ciptakan dunia agar Aku bisa dikenal mereka sehingga mereka mengenal-Ku.” Jadi, kata Syekh Akbar Ibnu Al-Arabi, “Dia menciptakan kita hanya demi mencintai Diri-Nya sendiri, agar kita mengenal-Nya,” yakni mengenal Keindahan dan Keagungan-Nya melalui perspektif-Nya dan, di atas semua, di dalam Diri-Nya—melalui fana dari diri kita dan baqa dalam Diri-Nya.

Ini juga berarti dua hal lain yang relevan, yakni, pertama, bahwa dalam rangka mendapatkan perspektif dari Yang Dicintai, seorang pencinta harus memenuhi keinginan dan perintah dari Yang Dicintai. Inilah ujian dalam cinta—cinta selalu membutuhkan pengorbanan demi yang dicintai. Syariat, tata hukum ilahi, dalam arti yang sempit maupun luas, adalah ketentuan yang harus dipatuhi. Tanpa mematuhi perintah, tidak akan ada persatuan, sebab cinta sejati tidak boleh mengandung pembangkangan terhadap sang Kekasih. Atau dalam bahasa Sufi, tanpa (mematuhi) syariat, tidak akan muncul hakikat (cinta).

Dan kedua, secara batin seorang pencinta tidak boleh berpaling kepada sesuatu selain sang Kekasih atau segala sesuatu yang membuat seseorang lupa kepada-Nya. Karenanya, bahkan kesenangan dalam beribadah menjadi sesuatu yang riskan, sebab bisa membelokkan pandangan pencinta dari Sang Kekasih. Seseorang yang masih memperhatikan kesenangannya dalam beribadah berarti dalam dirinya masih tersimpan kesenangan pada dirinya sendiri, masih ada pamrih, dan karenanya belum merealisasikan ikrar lillahi ta’ala. Ini adalah tingkatan yang sulit, sebab kenikmatan dalam beribadah adalah sesuatu yang diperbolehkan dan diharapkan. Nikmat iman adalah sesuatu yang dipuji dan dicari oleh umat Islam. Tetapi bagi sufi, mengharap-harap kenikmatan iman dalam beribadah sama artinya mengharap sesuatu selain Diri-Nya, yang berarti pula masih menyimpan perspektif dari diri dan, karenanya, belum sepenuhnya lebur dalam perspektif ilahi seutuhnya. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam nasihatnya mengatakan agar kita beribadah demi Allah saja, jangan demi nikmat-Nya. Di sini terdapat andil nafsu yang samar dan berbahaya bagi Sufi.

Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari memperingatkan jebakan nafsu ini. Menurutnya, andil nafsu dalam maksiat bisa tampak jelas, tetapi andil nafsu dalam ketaatan sangat samar dan merusak keikhlasan beribadah. Karena itu kebanyakan Sufi lebih memilih situasi yang berat dan sempit (qabd) karena dalam kesempitan itu nafsu tidak punya tempat. Salah satu nasihatnya yang amat bagus adalah agar orang memilih amal yang terasa lebih berat bagi nafsunya. Dengan cara ini kita bisa mengetahui apa hakikat dari nafsu itu, dan apa bentuk tipu dayanya, baik tipu dayanya dalam hal kemaksiatan maupun tipu dayanya dalam ketakwaan. Secara bertahap sifat-sifat jahat dari nafsu ini akan kelihatan dan jika “musuh” ini sudah keluar dari persembunyiannya, akan lebih mudah bagi kita untuk menyerangnya. Ketika sifat-sifat jahat sudah dikalahkan, maka Allah akan mengaruniakan sifat-sifat-Nya kepada kita. Dalam analisis terakhir, taraf tertinggi adalah ketika seseorang menyadari bahwa bahkan keberadaannya sendiri adalah “dosa yang amat besar”. Menghilangkan dosa ini sama artinya meleburkan diri dalam fana, lalu baqa, dan akhirnya memandang keindahan dan keagungan-Nya. Pada titik ini cinta ilahi seorang Sufi tidak akan lagi tergoyahkan.

Maka, murid (yang menginginkan) menjadi murad (yang diinginkan), yakni Sufi menjadi lokus sempurna bagi Allah untuk melihat Diri-Nya sendiri. Dengan cara yang sama, yang mengingat menjadi yang diingat; yang mengetahui menjadi yang diketahui. Ini adalah tahap persatuan, tahap penyaksian sejati, atau pengetahuan sejati (makrifat). Jadinya, hubungan mahabbah dan makrifat adalah hubungan yang unik: timbal-balik sekaligus menyatukan, yang satu melahirkan yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun