Who knows why we live, and struggle, and die? Wise men write many books, in words too hard to understand. But this, the purpose of our lives, the end of all our struggle, is beyond all human wisdom.
~ Alan Stewart Paton
Ulama arif billah pernah mengatakan bahwa salah satu dari sekian banyak penyebab kekacauan, yang sayangnya sulit diatasi, adalah karena "gelar mendahului ilmu." Makin banyak orang dengan ilmu seadanya, belum mengalami berbagai ujian hidup dan keruhanian, mendadak dipanggil ustadz, ulama, dan mengeluarkan pendapat yang diklaim paling sahih. Juga anak-anak muda begitu bersemangat membaca, menggaungkan semangat iqra' dengan keinginan mengubah dunia, menciptakan peradaban yang agung atas dasar 'pembacaan' dan tafsir mereka tentang apa itu peradaban yang agung.
Tetapi sepertinya ada yang luput. Banyak yang menyerukan iqra' tapi tidak dengan menyertakan "bismi rabbika,” dengan menyertakan Rabb, Allah Yang Maha Mendidik. Banyak yang membaca seolah merasa mampu menelisik sendiri segala ilmu segala pengetahuan, tanpa menelisik ke dalam "ruh" dari apa yang mereka baca -- padahal 'ruh' dari ayat ilahiah, baik dalam kitab suci maupun kosmos, hanya bisa dipahami jika orang selalu menyertakan Rabb dalam aktivitas belajarnya dengan segala kerendahan hati dan kesucian jiwa.
Tanpa itu, agama lalu menjadi tumpukan doktrin kering, kaku, keras, mencetak jiwa-jiwa yang mudah marah dan merasa selalu benar sendiri. Pada akhirnya, agama yang tujuannya membereskan akhlak dan menghancurkan berhala, justru dijadikan berhala, dan bahkan lebih buruk lagi, sebagian orang menjadikan “berhala agama” sebagai justifikasi untuk memberhalakan dirinya sendiri, mengaburkan makna rahmatan lil-alamiin. Ada yang mencoba memonopoli rahmat Allah hanya untuk kelompok sendiri dan menyerang pihak yang tak sepaham. Dan jika terhadap sesama saudara seiman tak bisa menjadi manifestasi rahmat, bagaimana kita akan bisa menjadi rahmatan lil’alamin?
Belajar agama dengan menyertakan Rabb berarti berusaha meleburkan kehendak diri ke dalam kehendak Allah, dan itu berarti tazkiyatun nafs, mensucikan jiwa. Tetapi tak semua orang berani masuk ke dalamnya, karena tazkiyatun nafs selalu mengandung unsur membingungkan, tak nyaman dan menyakitkan. Maka Maulana Rumi pun berkata, "Banyak orang ingin mengubah dunia, tapi hanya sedikit yang ingin dan berani mengubah dirinya sendiri."
Tasawuf, dengan segala kontroversinya, adalah bagian dari ajaran Islam yang berurusan dengan akhlak –- sebagian sufi menyebut bahwa “Tasawuf adalah akhlak al-karimah.” Tasawuf, dalam salah satu pengertian, adalah bagaimana berakhlak kepada Allah, Rasul, sesama manusia, alam, dan kepada diri sendiri. Meski Tasawuf tak luput dari kritik dan disalahpahami, namun sebagian besar ulama mengatakan Tasawuf sesungguhnya adalah secara sah bersumber dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Buku ini adalah salah satu ikhtiar menjelaskan sebagian dari gagasan dan tokoh-tokoh ulama Sufi yang turut memberi warna pada ajaran Islam. Buku di bagi dua bagian: Pertama sejarah ringkas perkembangan Tasawuf dari masa Sahabat hingga abad 21; dan Kedua beberapa ajaran utama yang berkembang di dalam Tasawuf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H