Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Penulis Lepas pecanduan kopi

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mahasiswa Perantau: Ketika Kebanggaan Kota Melupakan Asal Usul.

25 September 2024   01:27 Diperbarui: 25 September 2024   01:43 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.pribadi Desa Bangka Kuleng 


dok.pribadi Desa Bangka Kuleng 


Di balik kebisingan dan gemerlap kehidupan kota ada realitas yang sering kali diabaikan oleh para mahasiswa perantau yaitu kampung halaman mereka yang terus menunggu. Dengan segala kebanggaan tentang kehidupan modern di kota, banyak mahasiswa perantau lupa bahwa di kampung, mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada sekadar kembali sesekali untuk berlibur. Ketika mereka membanggakan segala kenyamanan kota dan mereka lupa bahwa ada desa yang tetap terpuruk dalam ketertinggalan tanpa perubahan nyata.Banyak mahasiswa yang begitu asyik membicarakan hiruk pikuk kota, kehidupan modern, kafe-kafe yang menjamur, serta teknologi yang memudahkan segala sesuatu. Mereka memamerkan gaya hidup kota yang dianggap lebih canggih dan maju dibandingkan kehidupan di kampung. Namun ironisnya, mereka yang seharusnya membawa perubahan dan inovasi ke kampung halaman justru sering kali tidak berbuat apa-apa. Keberhasilan di kota seolah menenggelamkan kesadaran mereka bahwa kampung halaman tetap membutuhkan kontribusi nyata.Sebagai mahasiswa terutama mereka yang berasal dari daerah terpencil, ada harapan besar dari keluarga dan masyarakat bahwa mereka akan pulang dengan ilmu dan keterampilan yang dapat membangun kampung.  Namun, sering kali harapan itu hanya berakhir sebagai mimpi yang tak pernah terwujud. Banyak mahasiswa perantau hanya pulang membawa cerita tentang kesuksesan di kota tanpa membawa apa pun yang dapat mengangkat derajat kampung halaman mereka. Lalu apa gunanya pendidikan tinggi yang mereka banggakan jika itu tidak pernah berdampak pada tanah kelahiran mereka? Kebanggaan hidup di kota yang sering kali dijadikan ukuran kesuksesan justru memperlihatkan adanya kesenjangan antara kampung dan kota. Mahasiswa perantau sering kali menjadi contoh dari masalah ini. Mereka lupa bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk memberikan perubahan bukan hanya bagi diri mereka sendiri tetapi juga bagi masyarakat di sekitarnya, termasuk kampung halaman. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Mereka terjebak dalam euforia kehidupan kota melupakan asal-usul dan tanggung jawab mereka. Lebih dari itu ada fenomena di mana para perantau, khususnya mahasiswa, bahkan merasa malu dengan kampung halaman mereka sendiri. Mereka enggan kembali atau bahkan mengidentifikasi diri dengan kampungnya karena dianggap terlalu 'kampungan' atau ketinggalan zaman. Mereka terlalu sibuk membanggakan kehidupan di kota yang modern dan secara tak sadar memandang rendah kampung yang melahirkan mereka. Ini adalah bentuk alienasi yang sangat menyedihkan. Seharusnya  pendidikan di kota membuat mereka semakin peduli pada kampung bukan malah menjauh. 

1693551234968-66f3043c34777c67b87e8052.jpg
1693551234968-66f3043c34777c67b87e8052.jpg

Dok.pribadi

  Kritik ini tidak hanya menyoal soal sikap individu tapi juga menyoal kesadaran kolektif para mahasiswa perantau tentang peran mereka dalam membangun daerah asal. Banyak kampung di Indonesia yang masih bergulat dengan masalah klasik seperti infrastruktur yang buruk, pendidikan yang rendah, akses kesehatan yang minim, dan masalah ekonomi yang stagnan. Mahasiswa dengan segala pengetahuan yang mereka peroleh di kota seharusnya menjadi jembatan perubahan bagi kampung mereka. Namun  nyatanya hanya sedikit yang benar-benar peduli untuk kembali dan membuat perubahan.

    Salah satu masalah terbesar adalah bahwa banyak mahasiswa perantau terlalu berorientasi pada kehidupan kota dan melupakan tanggung jawab sosial mereka terhadap kampung. Mereka lebih tertarik untuk mengejar karir di kota, mengejar pengakuan dari lingkungan modern, dan melupakan kampung yang terus terpuruk dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Pendidikan yang mereka dapatkan di kota hanya berakhir sebagai alat untuk mengejar mimpi pribadi, bukan sebagai alat untuk membangun komunitas yang lebih baik.Politik pendidikan dan ekonomi juga berperan besar dalam menciptakan jurang ini. Kota sering kali dipandang sebagai pusat segalanya kesuksesan, inovasi, dan kesempatan. Sementara itu, kampung dianggap sebagai tempat yang 'tidak menjanjikan'. Akibatnya para perantau termasuk mahasiswa merasa bahwa satu-satunya cara untuk maju adalah meninggalkan kampung, bukan kembali untuk membangunnya. Ini adalah kesalahan besar dalam pola pikir dan sistem yang telah mengakar.  Untuk membalikkan keadaan ini diperlukan perubahan perspektif. Mahasiswa perantau harus menyadari bahwa mereka adalah agen perubahan tidak hanya di kota, tetapi juga di kampung halaman mereka. Mereka harus ingat bahwa keberhasilan mereka di kota hanyalah setengah dari perjalanan. Setengah lainnya adalah bagaimana mereka bisa memberikan dampak nyata bagi kampung yang mereka tinggalkan. Masyarakat kampung tidak membutuhkan cerita-cerita tentang kesuksesan kota mereka membutuhkan solusi nyata untuk masalah yang mereka hadapi setiap hari.Kebanggaan akan kehidupan di kota harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk membangun kampung. Mahasiswa perantau perlu mengingat bahwa kampung halaman mereka adalah bagian dari identitas mereka yang tidak bisa dihapus hanya karena mereka telah merasakan kenyamanan hidup di kota. Ketika mereka pulang  mereka harus pulang bukan hanya dengan cerita tentang kehidupan kota tetapi dengan ide, inovasi, dan komitmen untuk memperbaiki kampung halaman. Sebuah bangsa yang besar tidak hanya dibangun dari kota-kota besar yang maju  tetapi juga dari desa-desa yang berkembang. Jika mahasiswa perantau terus melupakan kampung halaman mereka maka kesenjangan antara kota dan desa akan semakin lebar. Dan pada akhirnya, Indonesia tidak akan pernah bisa mencapai kemajuan yang merata. Pendidikan yang mereka terima di kota harusnya menjadi senjata untuk melawan ketertinggalan kampung, bukan hanya menjadi simbol status di kota.

Mahasiswa perantau harus mulai kembali melihat kampung mereka dengan perspektif yang berbeda sebagai tempat di mana mereka bisa memberikan kontribusi nyata, bukan hanya sebagai tempat asal yang dilupakan. Jika mereka tidak mampu berbuat sesuatu untuk kampung halaman mereka, lalu untuk apa pendidikan dan pengalaman yang mereka peroleh di kota?


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun