Rekan-Rekan Mahasiswa/i Catatan singkat ini bukanlah hasil dari pemikiran yang mendalam atau literasi yang kuat dari saya . Sebaliknya, ini adalah sebuah telaah yang lahir dari tidur panjang saya yang dibangunkan oleh kecemasan yang menghantui saya tentang kecemasan akan literasi yang lemah, termasuk dalam diri saya sendiri. Karena Itu Izinkan saya menyampaikan curahan hati yang dibangun dari realitas yang saya alami, tentang literasi kita yang kian memudar di negri ini. Dengan segala kerendahan hati saya menyadari bahwa mungkin banyak dari Anda yang jauh lebih berkompeten dalam hal literasi. Namun, saya merasa terdorong untuk membagikan pemikiran ini, dengan harapan bahwa kita semua bisa merefleksikan diri dan bersama-sama mencari jalan untuk memperkuat budaya literasi di negeri ini. Sekali lagi Tulisan ini adalah undangan untuk berpikir dan merenung bersama, bukan sebuah klaim atas kebenaran mutlak. Selamat Berdialog................Â
Kawan - kawan ingat bahwa Literasi adalah fondasi dari pengetahuan dan pemikiran kritis  yang seharusnya menjadi ciri khas mahasiswa terutama kita yang aktif dalam berorganisasi. Dalam konteks ini mahasiswa diharapkan mampu menjadi penggerak perubahan  tidak hanya melalui aktivitas organisasi,  tetapi juga melalui pengembangan intelektual yang kuat. Namun kawan -kawan realitas menunjukkan bahwa budaya literasi di kalangan anak muda Indonesia termasuk mahasiswa yang aktif dalam organisasi, masih sangat memprihatinkan. Ketidakmampuan untuk membudayakan literasi bukan hanya masalah individual  tetapi merupakan tantangan serius yang mengancam kualitas generasi penerus bangsa. Hal ini menjadi semakin penting ketika kita berbicara tentang visi "Indonesia Emas 2045" sebuah agenda besar yang menargetkan Indonesia sebagai negara maju dengan perekonomian kuat, masyarakat sejahtera, dan generasi muda yang unggul, Bukankan-kah buegitu kawan-kawan ?Â
  Pertam bahwa Krisis Literasi dan Ancaman bagi Visi Indonesia Emas 2045,  Ini hal pertama yang saya ingatkan kembali bahwa Visi Indonesia Emas 2045 menuntut generasi muda yang tidak hanya cerdas secara teknis  tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis, inovatif, dan berwawasan luas. Namun, tanpa budaya literasi yang kuat sulit untuk membayangkan generasi yang mampu mewujudkan visi besar ini. Literasi tidak hanya berarti kemampuan membaca tetapi juga kemampuan memahami, menganalisis, dan mengaplikasikan informasi dalam konteks yang relevan juga keterampilan yang esensial untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Jika budaya literasi yang lemah ini dibiarkan berlanjut Indonesia berisiko menghasilkan generasi yang secara teknis mungkin kompeten tetapi dangkal dalam berpikir dan  mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak valid serta  kurang mampu berinovasi. Ini adalah ancaman serius bagi visi Indonesia Emas 2045 karena tanpa pemikiran kritis dan inovasi sulit bagi sebuah bangsa untuk bersaing di kancah global dan mencapai kemajuan yang diinginkan. Mengintegrasikan Literasi dalam Agenda Indonesia Emas 2045 Saya tentu optimis Untuk memastikan bahwa visi Indonesia Emas 2045 tercapai tetapi perlu ada penekanan yang lebih besar pada pengembangan literasi di kalangan kita mahasiswa  terutama kita yang aktif dalam organisasi. Karena itu Organisasi mahasiswa harus menjadi pusat pengembangan intelektual di mana literasi menjadi landasan bagi setiap aktivitas  diskusi  dan keputusan yang diambil,  karena itu Mengintegrasikan literasi dalam agenda Indonesia Emas 2045 berarti menanamkan kebiasaan membaca dan berpikir kritis sejak dini. Ini termasuk memperkuat sistem pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengetahuan teknis  tetapi juga pada pengembangan keterampilan literasi yang mendalam. Selain itu organisasi mahasiswa perlu didorong untuk lebih banyak terlibat dalam kegiatan yang memperkaya literasi seperti diskusi berbasis literatur , seminar intelektual, dan kajian mendalam tentang isu-isu terkini. Kawan  - kawan Data dan Fakta yang Mengkhawatirkan dari UNESCO bahwa  tingkat minat baca di Indonesia tergolong sangat rendah dimana Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Rata-rata orang Indonesia hanya membaca sekitar 3-4 buku per tahun, hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan negara- negara lain di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan,  di mana minat baca sangat tinggi. Lebih jauh lagi data dari Perpustakaan Nasional Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca selama 15 menit per hari . Angka ini jauh di bawah rekomendasi yang disarankan oleh para ahli untuk mengembangkan kemampuan literasi yang baik. Ketika ditelaah lebih jauh kelompok usia muda  khususnya mahasiswa  juga tidak menunjukkan minat literasi yang memadai. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk aktivitas yang kurang produktif seperti media sosial yang ironisnya tidak selalu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat secara intelektual.
  Kritik Terhadap Literasi Mahasiswa dalam Organisasi: Antara Ritualisme dan Kedangkalan Pemikiran. Mahasiswa yang aktif dalam organisasi seharusnya menjadi pilar utama dalam membangun tradisi intelektual dan literasi. Namun realitas yang kita hadapi hari ini menunjukkan sebuah paradoks.  Alih-alih menjadi pemimpin pemikiran yang mendalam  banyak mahasiswa yang terjebak dalam rutinitas organisasi yang bersifat administratif dan ritualistik sebuah perulangan yang hampa makna tanpa disertai dengan pengembangan intelektual yang substansial. Ingat bahwa Rutinitas Tanpa Refleksi sangat berbahaya karena itu saya mencoba untuk membuat Sebuah Kritik Filosofis atas hal ini. Dalam kacamata filsafat  kita bisa melihat fenomena ini sebagai bentuk dari keterasingan intelektual. Mahasiswa yang seharusnya berfungsi sebagai subjek kritis justru menjadi objek dari rutinitas yang tidak membawa kita ke pemahaman yang lebih dalam tentang dunia. kita terjebak dalam "kebiasaan tanpa refleksi" di mana aktivitas organisasi dilakukan bukan karena pemahaman yang mendalam atau dorongan untuk meraih kebenaran melainkan karena sekadar mengikuti arus yang sudah ada. Fenomena ini mirip dengan apa yang disebut oleh Heidegger sebagai kejatuhan dalam kedangkalan (das Man). Dalam konteks organisasi mahasiswa das Man muncul ketika individu-individu dalam organisasi melakukan tugas- tugas administratif dan ritualistik tanpa melibatkan diri dalam pemikiran mendalam. Kita menjalani rutinitas tanpa mempertanyakan esensinya tanpa menggali lebih dalam makna di balik setiap tindakan kita . Kekosongan ini berimplikasi serius pada kualitas pemikiran dan argumentasi yang dihasilkan. kita yang tidak memiliki literasi yang baik ibarat "pembicara tanpa substansi" kita mungkin berbicara banyak dalam diskusi  namun kata-kata kita hampa tidak berbobot karena tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam. Coba ingat Socrates dalam dialog-dialognya, selalu menekankan pentingnya pengetahuan sejati sebagai dasar dari argumen yang kuat. Karena itu tanpa literasi  kita tidak memiliki fondasi untuk membangun argumen yang solid sehinga diskusi dalam organisasi pun hanya menjadi ajang untuk berdebat tanpa arah yang jelas.Â
 Kawan-kawan Dalam dunia yang semakin kompleks  di mana setiap masalah memerlukan analisis yang tajam dan solusi yang cermat bahwa ketidakmampuan untuk membaca dan memahami isu secara mendalam menjadikan kita sebagai aktor yang "dangkal dan tidak relevan". Kita mungkin terlihat aktif secara eksternal tetapi secara intelektual kita "terasing dari realitas". Ini adalah krisis intelektual yang harus segera diatasi.  Apa maksudnya Ritualisme Tanpa Pemaknaan dimana ini jalan Menuju Kehampaan Kolektif Ritualisme tanpa refleksi, seperti yang terjadi dalam banyak organisasi kita yang menciptakan "kehampaan kolektif" . Aktivitas yang seharusnya menjadi sarana untuk mengembangkan pemikiran kritis justru menjadi pengulangan yang tidak membawa perubahan nyata. Nietzsche menggambarkan kondisi ini sebagai "kekosongan nilai" ketika nilai-nilai dan makna dari sebuah tindakan hilang hanya menyisakan ritual tanpa jiwa. Organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pemimpin masa depan dengan wawasan luas dan pemikiran mendalam berisiko menjadi institusi yang melahirkan "generasi tanpa visi" . Kita sibuk dengan formalitas dan prosedur tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat lebih jauh untuk memahami kompleksitas dunia dan menemukan solusi inovatif. Kawan- kawan Catatan ini menjadi cermin bagi kita yang aktif dalam organisasi. Kita perlu menyadari bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca tetapi juga kemampuan untuk "berpikir secara mendalam dan kritis".  Tanpa literasi kita tidak akan mampu menghadapi tantangan zaman ini apalagi menjadi agen perubahan yang sesungguhnya. Oleh karena itu  penting bagi kita untuk menjadikan literasi sebagai bagian integral dari aktivitas organisasi kita . Membaca dan mendalami literatur yang relevan harus menjadi kebiasaan sehari-hari yang kemudian diintegrasikan dalam setiap diskusi dan keputusan organisasi. Dengan demikian  organisasi mahasiswa dapat benar-benar menjadi ruang pembentukan pemikiran kritis dan pemimpin masa depan yang mampu menjawab tantangan zaman dengan kedalaman dan keberanian intelektual..Â
Harapan .........Â
Catatan ini bukan hanya sekadar celaan tetapi juga seruan untuk introspeksi dan perubahan. Mahasiswa terutama kita yang aktif dalam organisasi  harus mulai membangun kembali budaya literasi. Membaca bukan sekadar aktivitas pasif  tetapi merupakan jalan menuju pemahaman yang lebih dalam dan pengembangan diri yang lebih baik. Tanpa literasi yang kuat, organisasi mahasiswa hanya akan menjadi wadah aktivitas tanpa substansi. Mahasiswa perlu menjadikan membaca sebagai kebiasaan harian dan menggunakan pengetahuan yang mereka peroleh dari literatur sebagai dasar dalam setiap diskusi dan kegiatan organisasi. Dengan demikian, kita tidak hanya meningkatkan kualitas diri, tetapi juga kualitas organisasi dan pada akhirnya kualitas bangsa.Â
Titik akhir dari coretan ini... Literasi itu kunci untuk membuka jendela dunia. Jika kamu salah satu orang yang saya maksud dalam tulisan ini dan menyebut diri sebagai mahasiswa yang berorganisasi dan tidak mulai serius dalam meningkatkan budaya literasi maka kamu akan kehilangan kesempatan untuk menjadi pemimpin masa depan yang berkualitas. Saatnya keluar dari kegelapan dan mulai membaca. Tanpa literasi yang kuat kita generasi muda Indonesia tidak akan mampu memenuhi peran kita dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Sebab literasi yang lemah di kalangan mahasiswa terutama kita yang aktif dalam organisasi adalah ancaman nyata yang harus segera diatasi. Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita besar yang membutuhkan generasi muda dengan pemikiran kritis, inovatif, dan berwawasan luas. Oleh karena itu, literasi harus menjadi prioritas utama dalam setiap langkah menuju masa depan yang gemilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H