Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Catatan Harian

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyikapi Mitos "Raja Jawa" dalam Panggung Politik Indonesia

25 Agustus 2024   03:56 Diperbarui: 28 Agustus 2024   22:51 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pernyataan yang muncul dari seorang pembesar partai politik yang memperingatkan publik atau partai politik lain untuk berhati-hati dengan "Raja Jawa" menimbulkan kegemparan yang beralasan di tengah masyarakat.  Di satu sisi pernyataan ini bisa dianggap sebagai bagian dari strategi politik, namun di sisi lain ia menyingkap lapisan-lapisan kecurigaan yang dalam terhadap tatanan politik dan sosial yang mengakar di negeri ini.  Sebagai Mahasiswa , saya tentu memiliki  hak untuk perlu menelusuri pernyataan ini dari sudut pandang yang lebih mendalam, membedah maknanya, serta menilai dampaknya terhadap kesadaran kolektif bangsa. Pertama saya membedah dari Identitas yang Terselubung: Manipulasi atau Perlindungan Kita memahami bahwa Dalam politik, bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi  ia adalah senjata yang mengandung kekuatan untuk membentuk realitas. Dengan menggunakan istilah "Raja Jawa" tanpa merujuk langsung kepada individu tertentu, pembesar partai tersebut seolah-olah menciptakan sebuah entitas simbolik.  Namun, entitas ini bukanlah simbol yang netral. Ia menimbulkan berbagai interpretasi yang meresahkan, terutama dalam konteks sejarah Indonesia di mana sentimen etnis dan regionalisme masih sangat kuat. Jika  kita membuka kembali Dalam bingkai  filsafat politik, identitas yang tidak jelas bisa dianggap sebagai upaya manipulasi, di mana makna disembunyikan di balik ambiguitas untuk menghindari tanggung jawab langsung.  menimbulkan pertanyaan, apakah pernyataan ini adalah bentuk dari politik insinuasi di mana individu-individu tertentu diserang tanpa bukti, atau apakah ini upaya untuk melindungi diri dari dampak politik yang lebih besar? Berikutnya saya melihat dalam Politik Kekuasaan dan Mitologi "Raja Jawa". Pernyataan ini juga mengangkat kembali bayangan masa lalu di mana kekuasaan terpusat pada elit tertentu yang diidentifikasi dengan latar belakang etnis atau geografis.  Konsep "Raja Jawa" dalam konteks ini seakan menggiring opini publik pada narasi kekuasaan terpusat yang berbasis pada etnisitas. Hal ini sangat berbahaya karena ia dapat membangkitkan sentimen primordial yang justru berlawanan dengan prinsip kebhinekaan yang seharusnya menjadi dasar negara ini. Dalam filsafat politik juga melihat bahwa kekuasaan yang didefinisikan berdasarkan mitos atau stereotip etnis hanya akan memperkuat fragmentasi sosial. Politik yang demikian tidak mengarah pada upaya membangun kesadaran nasional yang inklusif, melainkan memperkuat polarisasi yang berpotensi destruktif. Yang berikut dengan politik Cawe-Cawe dalam Konteks Kewenangan dan Etika. Hal lain yang tak kalah penting adalah tudingan tentang "cawe-cawe" politik, yang di sini diasosiasikan dengan Jokowi.  Sebagai mahasiswa kita perlu mempertanyakan: apa yang dimaksud dengan cawe-cawe? Dalam pengertian umum, ini bisa berarti keterlibatan yang melampaui batas-batas kewenangan, atau intervensi yang tidak semestinya dalam urusan politik. Pertanyaannya adalah, jika seorang pemimpin terlibat aktif dalam politik, apakah itu bisa dianggap melanggar etika politik?  Dalam pandangan etika politik, cawe-cawe bisa diinterpretasikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip netralitas yang seharusnya dipegang oleh pemimpin yang memegang kekuasaan. Ini memunculkan dilema tentang sejauh mana seorang pemimpin boleh terlibat dalam politik praktis tanpa merusak integritas dan kepercayaan publik. Apakah cawe-cawe ini sebuah kebutuhan taktis dalam mempertahankan stabilitas, atau justru bentuk lain dari penyalahgunaan kekuasaan?

Konstruksi Sosial dan Kecurigaan Kolektif.

Terakhir, mari kita telaah dampak dari pernyataan ini terhadap kesadaran sosial kolektif. Dengan menyebut istilah yang ambigu seperti "Raja Jawa," kecurigaan masyarakat terhadap adanya oligarki atau kekuasaan yang didominasi oleh kelompok tertentu semakin menguat. Kecurigaan ini, meski mungkin berakar dari pengalaman sejarah, harus ditelaah secara kritis.  Apakah kecurigaan ini beralasan, ataukah ini hanyalah refleksi dari trauma kolektif yang belum terselesaikan? Dalam perspektif sosial, kekuasaan bukan hanya tentang siapa yang memegangnya, tetapi bagaimana kekuasaan itu diinterpretasikan oleh masyarakat. Ketika kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang, masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap sistem yang ada.  Ini adalah tantangan besar bagi sebuah negara demokrasi yang seharusnya bertumpu pada partisipasi dan keterlibatan publik. Karena itu saya menyimpulkan bahwa Pernyataan tentang "Raja Jawa" adalah gambaran dari ketegangan yang ada dalam politik Indonesia, di mana sentimen etnis, kecurigaan terhadap oligarki, dan pertanyaan tentang etika kekuasaan semuanya saling terkait.  Sebagai mahasiswa, kita harus lebih kritis dalam menelaah pernyataan-pernyataan semacam ini, menggali lebih dalam maknanya, dan mengeksplorasi dampaknya terhadap kesadaran kolektif bangsa. Politik bukan hanya tentang permainan kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami dan memaknai kekuasaan itu dalam konteks yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun