Pada sebuah perbincangan dalam group whatsapp, seo ygrang rekan jurnalis mengirimkan pidato utuh dari Presiden Jokowi tentang sikap tegas dan kemarahan atas lambatnya respon para menterinya dalam penanganan COVID-19 hingga ekonomi yang kian hari merosot.Â
Beberapa jam kemudian, pidato itu di publis banyak media. Menjadi perbincangan karena Pak Jokowi marah dan meminta pembantunya untuk serius atas masalah bangsa. Jika tidak, bisa jadi akan ada reshuffle dalam waktu dekat.
Meski demikian, ada pertanyaan lain kemudian muncul dalam benak penulis. "Mengapa Pak Jokowi baru sadar dan marah sekarang kepada pembantunya ?"
 Bagi saya, ada kesan bahwa Pak Jokowi sejauh ini hanya memandang persoalan demi persoalan dengan kacamata biasa saja. Tapi pada akhirnya dengan melihat keadaan dan masukkan dari pihak luar, ini menjadi masalah utama yang harus diperhatikan pembantunya.
Mengkritik "Sense of Crisis"
Dalam potongan video dan  rilis yang diunggah dan menjadi viral, Pak Jokowi hampir berulang-kali menghimbau pembantu-pembantunya untuk peka terhadap kondisi krisis, yakni  krisis kesehatan dan krisis ekonomi.
Kewajiban bagi setiap Menteri untuk menempatkan sense of crisis dari berbagai persoalan bangsa dianggap terlambat bagi penulis. Mengapa ?
Pertama, dalam setiap manajemen kepemimpinan atau dalam krisis sekalipun, sense of crisis bukan muncul belakangan ketika sebuah kejadian/peristiwa itu telah terjadi. Kepekaan atas krisis terjadi diawal sebagai alarm bagi pemimpin dalam membuat dan mengambil keputusan yang antisipatif. Â
Penulis memandang, sikap antisipatif dalam himbauan sense of crisis yang disampaikan Pak Jokowi terlambat. Lihat saja, masalah kesehatan dan ekonomi terus menumpuk bahkan membuat
kebingungan. Jika sejak awal Pak Jokowi mengambil alih penuh masalah-masalah ini dan koordinatif dalam pelaksanaan pasti sudah teratasi sejak awal.
Kedua, ada kesan bahwa mengulang dan menghimbau para menteri untuk peka terhadap krisis saat semuanya telah terjadi, hanya merupakan produk konsultan komunikasi dan pencitraan.Â
Ada semacam usaha menempatkan kemarahan dan upaya mendorong sikap sense of crisis sebagai cuci tangan menghindari serangan kepada Jokowi atas banyak kegagalan di tengah krisis pandemik COVID-19 dan ekonomi.