Di masa tuanya, Om Karatem masih aktif melatih dan menciptakan lagu
Opa Michiel Karatem Melihat itu, Bung Karno langsung menyuruh Karatem pindah ke podium yang diperuntukkan baginya. Beberapa hari setelah upacara 17 Agustus 1963. Sebuah kapal berukuran sedang kembali bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta menuju Ambon mengantar pulang rombongan paduan suara dan orkestra dari "Negeri Seribu Pulau" itu. Rombongan tersebut datang ke Jakarta untuk memeriahkan perayaan HUT kemerdekaan RI yang ke-18. Pada masa itu ada tradisi mendatangkan wakil-wakil dari setiap daerah untuk ambil bagian dalam perayaan di Jakarta. Dari Jakarta kapal terlebih dahulu mampir di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Ketika kapal sedang bersandar, tanpa disangka telepon di ruang marconi berdering. Seseorang berbicara menyampaikan perintah langsung dari Presiden Soekarno. Isi pesan adalah memerintahkan Karatem, pimpinan rombongan untuk kembali ke Jakarta. "Ini perintah!" kata pria di balik telepon yang tidak lain adalah Prof. Dr. Priyono, salah satu menteri yang juga asisten sang presiden. Marconi menyampaikan, "Pak Karatem, ada perintah. Bapak harus kembali ke Jakarta". Sementara Karatem berbicara dengan marconi, perwakilan P dan K Jatim sudah naik ke kapal mencari Karatem. Katanya kepada Karatem, "Bapak besok pagi harus berangkat balik ke Jakarta, kami sudah beli tiket. Ini perintah dari menteri!". Karatem sendiri tidak terlalu kaget sebab permintaan semacam ini bukan yang pertama dari Bung Karno. Yang kaget dan mungkin juga kecewa dan besungut-sungut adalah anggota rombongannya. Soalnya, Karatem tidak bisa menolak permintaan atau perintah Sang Presiden sehingga rombongannya harus melanjutkan perjalanan ke Ambon tanpa Karatem. Setibanya di Jakarta dia langsung disuruh bergabung dengan rombongan komposer yang akan melakukan studi banding dan pertujukkan ke Vietnam, Hongkong dan Korea. Karena waktu yang sangat mepet-berangkat tiga hari kemudian-Karatem sama sekali tidak ikut training seperti yang lain. Awalnya adalah Aubade Pertemuan Karatem dengan Bung Karno di Jakarta merupakan pertemuan yang ketiga. Dua kali yang pertama terjadi di Ambon saat kunjungan Presiden ke Ambon pada tahun 1955 dan 1956. Tidak diragukan lagi Bung Karno adalah seorang seniman besar. Dia sangat senang menyaksikan pertunjukkan yang bersifat kolosal. Pada kunjungan 1955, dia disambut dengan gempita aubade. Saat itu Dinas P dan K meminta pihak Kweek School atau Sekolah Guru Atas (SGA) tempat Karatem bersekolah memimpin aubade. Tanpa diduga Karatem yang duduk di kelas 2 dipilih memimpin orchestra dan paduan suara. Hati Karatem berbunga-bunga bercampur deg-degan. Untuk upacara penghormatan ini disiapkan dua buah podium. Yang satu untuk pemimpin orchestra dan satu lagi untuk Bung Karno. Tentu saja podium untuk Bung Karno jauh lebih tinggi. Akibat podium untuk Karatem rendah, dia tidak begitu menonjol saat memimpin paduan suara. Melihat itu, Bung Karno langsung menyuruh Karatem pindah ke podium yang diperuntukkan baginya. Setelah turun dari podium, Bung Karno meminta pria hitam manis dan murah senyum ini untuk duduk di sampingnya. Saat itulah terjadi dialog-dialog singkat. Karena kepincut aksi Karatem, Bung Karno langsung memintanya ke Jakarta setelah lulus. "Kalau selesai bisa ke Jakarta?" tanya Bung Karno. "Saya tidak tahu, Pak," jawab Karatem singkat nan lugu. Setahun kemudian mantan presiden berjulukan "singa podium" itu kembali berkunjung Ambon. Saat itu Karatem sudah menjadi guru di SMP Dogo. Pada kunjungan kali ini Bung Karno ketemu lagi opa yang telah berusia 77 tahun dan tinggal di Tangerang ini. Ternyata Bung Karno sangat ingat Karatem. Paginya setelah selesai pertunjukkan, saat Karatem sedang mengajar, Bung Karno memanggil Karatem dan mengatakan, "Kamu jangan di sini ya. Ke Jakarta saja." Dia lalu memerintahkan asistennya, "Pak Priyono, Karatem ditarik ke Jakarta". Namun Kepala Perwakilan Setempat (KPS) keberatan, "Tidak bisa Pak. Di Ambon dulu. Boleh ke Jakarta tapi kerja dulu di Ambon. Kami harus dapat dulu hasilnya". Dorongan Bung Karno Sepulang dari studi banding dan pentas di tiga negara tersebut, hubungan Karatem dan Bung Karno makin akrab saja. Beberapa kali Karatem diberi kesempatan menjadi juri pemilihan bintang radio dan televisi bersama Pohan, Iskandar, Mochtar Embut dll. Pada 17 Agustus 1963-1964 Karatem dan AR Soedjasmin dipercaya memimpin paduan suara massal Pemuda Pelajar Se-Jakarta Raya berkekuatan 10.000 orang. "Bung Karno itu seorang seniman besar dan selalu memberi dorongan dengan ucapan 'kamu bisa!'. Ini yang luar biasa. Dia bahkan memperhatikan setiap karya saya dan memberi apresiasi. Kalau ada pertemuan kita pasti diundang makan bersama di istna," kenang ayah tiga anak ini. Perhatian Bung Karno pada kebutuhan hidup Karatem juga sangat besar. "Saya perlu apa saja tinggal telepon lalu diantara ke mana-mana untuk mendapatkan keperluan itu. Saya juga kerap disuruh nonton wayang di istana Bogor, sudah disiapkan kamar di sana. Uang sungguh tidak menjadi masalah, dia betul-betul menjamin," tambah angota TING (Tim Inti Nyanyian Gereja) Yamuger-Yayasan Musik Gereja ini kembali mengenang. Kalau dirunut ke belakang, Karatem memang lahir dari keluarga yang gemar bermusik. "Papa serani (rohani) saya pimpinan orkes suling, mama serani penyanyi. Ibu saya juga suka nyanyi, kadang-kadang memimpin paduan suara perempuan. Kalau ibu pergi latihan saya ikut, lalu kalau bapak serani latihan orkes saya ikut juga. Bapak kerja di gereja sehingga selalu ikut ke gereja," urainya saat ditemui di YAMUGER di Kawasan Rawamangun. Karatem tidak melewati kelas-kelas khusus. Contoh konkret dari bapak/ibu serani dan kedekatannya dengan "halaman" gereja seakan menjadi kelas tersendiri baginya, terutama dalam membangkitkan minatnya pada musik dan lagu. Bibit semacam inilah yang secara alami tumbuh, bersemi dan mendapat lahan pengembangannya kemudian. Kini pria kelahiran Kampung Ngaibor, Pulau Tarangan, Kabupaten Aru, Maluku Tenggara, 27 Agustus 1934 ini tetap berkarya baik di bidang musik maupun pendidikan. Telah banyak lagu yang ia ciptakan. Kata hati, keprihatinan atau suka citanya ia tuangkan dalam syair dan lagu. Pada Juli 2006 lalu, berkat dua buah lagu ciptaannya, PS Anak dari GKI Kwitang dan PS Anak Riau berhasil mendapatkan medali dalam Olympiade di Cina. Di usianya yang sudah lanjut (77 tahun), dengan "topi putih" yang selalu nangkring di kepala, dia tidak kenal lelah mewariskan ilmu yang dia miliki kepada generasi muda. Setidaknya dia masih aktif mengajar music di sekolah, guru di Bina Vokalia GPIB Immanuel Bekasi Timur, anggota POKJA Musik Sinode GPIB. Tapi eit. . . sabar dulu! "Topi putih" yang dimaksudkan adalah rambutnya yang seluruhnya sudah memutih. Dia telah meninggalkan "dunia hitam" secara utuh! Hahaha....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H