Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... Freelancer - ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lifetime Achviement Award untuk 4 Tokoh Sumba

9 Januari 2015   14:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_345588" align="aligncenter" width="300" caption="Kain Sumba yang sudah tersohor ke seluruh dunia. foto: istimewa"][/caption]

Terasa ada yang baru dalam perayaan Natal Bersama Ikatan Keluarga Besar Sumba (IKBS) Jakarta tahun ini. Bertempat di anjungan NTT Taman Mini Indonesia Indah, seluruh warga Sumba, NTT di Jabodetabek akan tumpah ruah di Taman Mini pada Minggu, 11 Januari 2015.

Seperti dijelaskan oleh ketua panitia Thobias Tamo Ama, kali ini, seperti tetap ada acara-acara seperti yang biasa dilakukan –kebaktian,  menyanyi, menari dan makan bersama, ada sebuah acara baru, yakni pemberian penghargaan dari IKBS kepada empat orang warganya yang dinilai memberi kontribusi bagi kemajuan sumba, NTT dan Indonesia. Uniknya, mereka yang mendapat penghargaan sudah meninggal semua. "Inilah cara kita menghargai mereka yang telah berjasa," kata ketua pengarah Mikael Umbu Zaza.

Mari mengenal keempat sosok tersebut:

Umbu Hina Kapita

[caption id="attachment_345581" align="aligncenter" width="300" caption="beberapa buku karya Umbu Hina Kapita. foto: EDL"]

14207637971222540751
14207637971222540751
[/caption]

Sebuah ungkapan bahasa latin mengatakan deciderium scientia, artinya lapar terhadap ilmu pengetahuan. Ungkapan tersebut sangat tepat dialamatkan kepada almarhum Umbu Hinna Kapita. Tercatat, lahir pada 1908, tapi diperkirakan lahir sebelum tahun ini.

Jika keadaan Sumba  sekarang, tergolong tertinggal dalam berbagai hal, bagaimana dengan zaman Umbu Hina Kapita? Hantu ketertinggalan, kebodohan, keterasingan, kekurangan amat sangat garang menunjukkan perangainya ketika itu.  Namun seorang Umbu Hina Kapita tidak sudi takluk. Ia memberontak melawan  semua hantu tersebut dengan semangat yang tak pernah padam.  Naluri lapar ilmu pengetahuannya terus bergerak mengusiknya. Ia melihat aneka potensi Sumba yang bisa mengentaskan dari semua itu. Bagaimana agar orang lain ikut terusik atas semua potensi itu? Dia menempuh jalan MENULIS.

Dalam upayanya itu ia bertemu dengan seorang antropolog asal Belanda bernama Dr. Ounfley yang kemudian menjadi mitra belajarnya. Umbu Hina Kapita yang berpendidikan SR itu kemudian berkesempatan melakukan penelitian di Belanda.

Atas upaya kerasnya itu, Umbu Hinna Kapita menghasilkan belasan buku yang telah menjadi klasik terbitan Arnoldus Ende-Flores. Beberapa karyanya adalah:

·Sumba dalam Jangkauan Zaman

·Lindai

·Kamus Sumba-Indonesia Belanda

·Lawiti Luluku Humba—Pola Peribahasa Sumba, Tata Bahasa Sumba dalam Dialek Kambera

·Lii Matua

Ayah dari Umbu Harrambu Kapita—seorang politikus andal—ini amat mencintai Sumba. Ia terus meneliti, menulis dan menulis tentang Sumba. Sampai detik-detik terakhir  hidupnya—meninggal pada tahun 2000 dan dimakamkan di Mangili, Sumba Timur—ia tetap menulis. Bahkan, ia meninggalkan beberapa manuskrip yang belum sempat diterbitkan.

Atas karya-karyanya, pada tahun 1970, Umbu Hinna Kapita yang berpendidikan formal SR itu mendapat gelar DOKTOR HONORIS CAUSA dari Universitas Leiden, Belanda.

Di mata keluarga, Umbu Hinna Kapita adalah seorang yang tekun, berkemauan keras, kreatif dan tidak sudi tunduk pada keadaan.

Seorang cucunya, Umbu Luki mengatakan,  “Yang membanggkan dari Kakek adalah semangat dan ketekunannya. Dia juga memiliki kemauan keras. Kalau dia sudah mau melakukan sesuatu untuk menulis, tak ada yang bisa menghalang. ‘’Kami berharap ada yang melanjutkan yang kakek lakukan... Dan kalau bisa merawat karya-karyanya”

Jhon Robert Zairo

[caption id="attachment_345582" align="aligncenter" width="300" caption="Jhon Zairo, ketiga dari depan dalam sebuah pertunjukan tarian Sumba. Foto: repro EDL"]

14207638772019009006
14207638772019009006
[/caption]

Sumba dengan segala potensinya membutuhkan orang yang tekun, gigih dan konsisten. Sumba di mata dunia adalah pulau eksotis yang masih sangat asli. Aneka potensinya harus dieksplorasi dan dikembangkan agar dunia tahu dan mendatangkan manfaat bagi Sumba sendiri.

Salah satu sosok yang telah dengan tekun melakukan hal tersebut adalah Bapak  Jhon M. Robert Zairo (almarhum). Sosok kelahiran Elopada, Sumba Barat Daya pada 17 Agustus 1945 itu adalah seorang pegawai Dinas Sosial DKI Jakarta. Dengan segala pengetahuan dan keterampilan dalam menari, ia mengembangkan tarian Sumba di Jakarta dengan melatih sejumlah kaum muda Sumba, membawakan tarian-tarian itu dalam berbagai kesempatan baik di dalam maupun luar negeri bersama kaum muda Sumba.

Jhon Zairo memang tumbuh dalam keluarga yang mencintai dan mengembangkan tarian Sumba. Di Elopada, keluarganya memiliki sanggar tari bernama Ana Raya Bolu yang kemudian melahirkan sejumlah tarian seperti Tarian Petik Kopi, Tarian Elang, Tarian Ndara Nggukku, Todaka Pare, dan masih banyak lagi.

Suami dari Margaretha Wunga dan ayah dari Gloria Winle Gloria Zairo dan Brandon Benyamin Davanka Zairo telah mewariskan semangat dan cinta terhadap tarian Sumba. Hal inilah yang sangat membanggakan sang istri:

Margaretha Wunga (istri) mengaku sangat mendukung suaminya bahkan ikut menari bersama sang suami. “Harapan saya, saya mohon kegiatan-kegiatan budaya ada yang meneruskan. Saya Melihat Mikael Umbu Zaza punya potensi melanjutkan,” ungkapnya menyebut nama seorang putra Sumba di Jakarta.

CM Djakababa, MSc

[caption id="attachment_345587" align="aligncenter" width="300" caption="beberapa momen keluarga CM Djakababa. foto: repro EDL"]

1420764515202692654
1420764515202692654
[/caption]

Kata pengusaha property papan atas Indonesia Ciputra, Indonesia ini akan cepat maju jika 2 persen dari penduduknya menjadi entrepreneur. Hal ini sudah disadari Cornelis Malo Djakababa (almarhum) atau yang lebih dikenal dengan CM Djakababa sejak ia masih mengenyam pendidikan.  Dengan kesadaran tersebut, ia ingin memberi sumbangsih bagi Indonesia, khususnya bagi Sumba.

Karenanya, meski sebuah masa depan cerah sedang menjemputnya di Philipina, ia tetap bertekad kembali ke Indonesia. Pada akhir tahun 1970-an, ekonomi Philipina sedang jaya, dan ini semestinya memberi masa depan yang cerah bagi almarhum, apalagi dia beristrikan orang Philipina.

CM Djakababa tidak asal berbisnis. Dia menyuntukkan darah atau spirit baru dalam bisnisnya. Bagi lulusan Universitas Santo Thomas, Philipina itu, “bisnis itu penting tapi lebih penting mendidik orang-orangnya”. Dengan prinsip ini ia hendak menyampaikan pesan bahwa dalam berbisnis, dia tidak ingin berhasil sendirian, tapi ingin orang-orang yang bekerja padanya berhasil dalam dimensi masing-masing.

Semangat ini ia tularkan dalam mengelola dua usahanya mengelola Antarika Building di bilangan Segitiga Emas (di Gatot Subroto) Jakarta dan Newa Sumba Resort di Sumba.

Berpendidikan tinggi dari luar negeri dan beristrikan orang asing (Philipina) tidak membuat CM DJakababa lupa mengenalkan budaya Sumba kepada anak-anaknya. Setiap kali ada kesempatan, ia selalu mengajak anak-anak dan istrinya untuk pulang Sumba. Ia ingin anak-anaknya tidak lupa dengan akar mereka sebagai anak kandung Sumba yang hanya sedang mencari penghidupan di tanah orang.

CM Djakababa meninggal dunia di Jakarta pada 3 Juni 2004 dan memeluk bumi di Permakaman Tanah Kusir. Menurut putera bungsunya Yosef Djakababa, suatu waktu akan dibawa pulang ke Sumba.

Keberhasilan CM Djakababa dalam hidup sangat ditentukan oleh pendidikan yang ia pernah alami. Beruntung ibunya sangat mendorong dia untuk sekolah.

Yosef Djakababa menyampaikan kebanggaannya pada sang ayah, bukan karena ditinggali warisan, tapi terutama karena spiritualitas hidupnya yang tidak mau lupa akarnya, dan upaya sang ayah mendekatkan dia dan kakak-kakak serta ibunya dengan budaya Sumba yang adiluhung itu.

Yosef Djakababa menjelaskan bahwa bapaknya selalu mengingatkan untuk bersyukur. “Bapak selalu mengingatkan untuk selalu melihat ke atas. Dalam segala kesulitan, jangan lupa bahwa Tuhan selalu ada. Mengapa memilih jadi pebisnis? Karena dengan menjadi pebisnis, ada kebebasan, tidak bergantung pada orang lain. Kata papa, tidak apa-apa bekerja pada orang lain, tidak apa-apa bekerja pada orang lain, tapi suatu saat harus mandiri”.

Prof. Dr. Manase Malo Ndapa Tondo

[caption id="attachment_345586" align="aligncenter" width="300" caption="Prof. Manase, paling kiri. foto: repro EDL"]

14207643441231387395
14207643441231387395
[/caption]

Di pentas nasional, dia adalah salah satu tokoh politik yang pernah menoreh tinta emas. Bersama beberapa temannya seperti Gregorius Seto, Erwin Pohe dan beberapa yang lain, pada tahun 1999 mendirikan sebuah partai politik bernama Partai Demokrasi Kasih Bangsa atau PDKB. Partai ini dengan gemilang masuk Senayan dan menjadi sebuah fraksi tersendiri. Para wakilnya, termasuk Pak Manase sendiri bersuara lantang di DPR untuk memperjuangkan kepentingan konstituen mereka.

Almarhum kemudian tersohor sebagai seorang politikus dan akademisi. Tapi tahukah kita bahwa sebenarnya, awalnya ia ke Jakarta untuk menempuh jalur pendidikan kependetaan? Ayahnya Herman M. Malo seorang pendeta, menginginkan anaknya menjadi pendeta juga.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Sebuah proses justru membawanya menjadi seorang ilmuwan ilmu sosial. Berkat perkenalannya dengan ilmuwan Margareth Florin, kesempatan menempuh pendidikan S2 dan S3 di Universitas Wiscunson (72-78).

Setelah itu dia mengabdi di Universitas Indonesia sebagai dosen dan sempat menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial selama dua periode.

Suami dari Tasya Umboh dan ayah dari Graciana, Evert Malo dan Yefta Chresto ini juga sangat mencintai kampung halamannya sehingga selalu mendekatkan istri dan anak-anaknya dengan Sumba. Dia tidak pernah lupa membawa anak-anak dan istri ke Sumba agar mereka mengalami secara langsung atmosfer kehidupan di Sumba dengan harapan anak-anaknya mencintai Sumba.

Tasya Umboh (istri) mengatakan, “Di mata keluarga, Manase Malo adalah sosok yang membanggakan.Bagi kami, sosok manase Malo, pertama kerendahan hatinya dan kecintaan pada pulau Sumba. Semasa hidupnya, ia menampung atau membiayai kuliah sejumlah anak Sumba> dia berpesan kepada mereka untuk berhasil, dan tak perlu balas budinya. Cukup dengan membantu adik-adik mereka yang lain untuk  kuliah juga”.

Sang istri melihat beberapa hal yang dilakukan almarhum untuk mendekatkan aka-anak dengan sumba. “Setiap ada acara adat, Bapak selalu mengajak kami pulang Sumba untuk mengenal adat di sana, mengenal saudara-saudari di sana. Benar-benar saya merasa terharu”.

Kata Oma Tasya—demikian cucunya memanggil—menyampaikan, “Kami berharap generasi muda ini boleh memetik atau melihat pengalaman-pengalaman dari Bapak dan tokoh-tokoh sumba lainnya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun