Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... Freelancer - ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Energi Tahan Banting Pria Disabilitas

26 November 2014   04:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:50 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14169242291454361449

Drs. Gufroni Sakaril, MM

[caption id="attachment_337704" align="aligncenter" width="533" caption="Gufron Sakaril, pantang menyera. foto: EDL "][/caption]

“Sungguh tidak mudah. Berpuluh-puluh kali saya kirim lamaran. Ketika perusahaan lihat nilai-nilai saya, mereka segera panggil, tapi saat lihat fisik saya, mereka tolak dengan halus,” jelas Gufron Sakaril (48) soal awal perjuangannya mencari kerja.

Lulusan terbaik Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) ini lahir dengan kondisi kedua tangannya tidak sempurna; pendek dan kecil. Selain dia, seorang adiknya juga mengalami kecacatan, namun lebih ringan. Dari penelusuran Gufron kemudian, dia mendapatkan informasi bahwa kecacatannya bukan faktor genetika tapi disebabkan oleh keracunan obat saat masih dalam kandungan. “Rupanya ibu salah minum obat. Maklum di desa, jika sakit, ibu main beli obat di warung,” jelas anak pertama dari lima bersaudara ini.

Mengalami kecacatan, Gufron kecil merasa minder. Dia sempat mogok sekolah saat di TK. Sepulang sekolah saat SD, biasanya Gufron dan teman-teman bermain di halaman masjid, sungai, atau sawah. Dia juga ikut teman-temannya bermain sepakbola, layang-layang, kelereng, petak umpet dan sebagainya. Dengan kondisi badan yang mungil, Gufron memang tidak bisa bersaing dengan teman-temannya, namun dia aktif bermain.

“Bersama beberapa anak tetangga, aku bisa bermain macam-macam. Mereka tulus berteman, meski tanganku tidak sempurna. Mereka tidak pernah membicarakan kecacatanku,” jelas Gufron sambil tersenyum. Dia justru mendapat ejekan dalam perjalanan pergi atau pulang sekolah. Gufron masih sangat minder dan pendiam. Ketika masuk SMP dan kemudian SMEA, Gufron muncul sebagai anak pintar dan menjadi juara kelas dan juara umum.Rasa percaya dirinya mulai tumbuh.

Setamat dari UNS, Gufron mengadu nasib ke Surabaya. Di sana ia bertemu teman-teman baru. Ada pelaut bernama Ardi. Berbeda dengan pelaut lain yang banyak mendatangi tempat hiburan saat mendarat, Ardi selalu datang masjid dan sering memberi Gufron uang sebagai zakatnya. Jumlahnya cukup besar. Uniknya, Gufron tidak makan sendiri tapi membagikan lagi kepada orang lain.

Di masjid dan pesantren, Gufron mendapat banyak nasihat dan mendengarkan ceramah. Salah satu ajaran yang melekat erat di benaknya adalah bahwa manusia harus berbaik sangka pada Tuhan. “Inilah yang jadi roket pendorong dan titik balik bagiku untuk bangkit. Pelan-pelan aku mulai percaya, pasti ada hikmah yang bisa dipetik di balik ciptaan Tuhan, termasuk pada kondisiku sendiri,” katanya penuh takzim.

Tentu saja, keyakinan seperti ini tidak muncul begitu saja. Pendidikan, faktor agama, pengalaman sehari-hari, dan pergaulan hiduplah yang menempanya. “Syukurlah, aku berada di lingkungan yang memberi support. Di satu sisi aku punya kekurangan, tapi aku percaya, di sisi lain aku diberi kelebihan. Ini yang kemudian memicuku untuk terus belajar,” jelas pria kelahiran 22 Februari 1966 ini dengan pelan namun tegas.

Pada akhir 1994, Gufron masuk Jakarta. Untuk bertahan hidup ia magang di sebuah majalah. Selama lima bulan ia bertugas mewawancarai narasumber, menerjemahkan cerita humor berbahasa Inggris, dan membuat cerita humor.

Meski mendapat honor, ia masih tetap ingin bekerja secara tetap. Ia rajin mengirim lamaran ke berbagai perusahaan. Seorang teman menawarinya bekerja pada bagian administrasi di sebuah kantor pengacara di daerah Kota.

Ketika datang ke kantor pengacara tersebut, yang ditanyai bukan pengalaman kerjanya, tapi apakah dia bisa menggunakan komputer atau tidak. Dia pun diminta membuat surat. Meski sebal karena merasa diremehkan, ia tetap juga membuat surat tersebut. Beruntung, sebelumnya dia sudah belajar komputer dengan sistem terbaru.

Sang bos puas, Gufron diterima. Penerimaan itu membuat Gufron sangat gembira karena akan mendapat gaji bulanan. Setidaknya, dia tidak malu lagi bila suatu hari nanti pulang kampung.

Merasa kariernya tak akan meningkat dari seorang tenaga admin, ia tetap mengirim surat lamaran ke berbagai perusahaan. Salah satu perusahaan yang tertarik memanggilnya adalah Stasiun Televisi Indosiar. “Saya kan orang komunikasi, tidak mungkin saya jadi pengacara. Paling-paling, tetap jadi tenaga admin. Karier mentok,” kata Gufron.

Dipanggil Indosiar untuk wawancara saja Gufron sudah sangat gembira,apalagi dia mendengar bahwa stasiun tersebut memberi kesempatan kepada penyandang cacat untuk bekerja. Setelah melalui berbagai tes, dia dinyatakan lolos dan mengawali karier sebagai staf humas junior.

Awalnya, tugas Gufron hanya mengkliping dan membuat sinopsis acara. Lalu, meningkat ke jenjang yang lebih sulit, yaitu membuat press release, media plan dan pidato manajemen. “Aku bersyukur karierku di sini tergolong lancar. Beberapa kali naik jenjang. Sejak tahun 1999 sampai sekarang aku Kepala Humas Indosiar. Di sini minderku hilang karena aku bertemu banyak orang,” ujarnya penuh syukur.

Menggapai Cinta

Seperti lelaki lainnya, ia memiliki perasaan suka terhadap lawan jenis. Namun ia tekan perasaan itu karena faktor disabilitas yang ia alami. Biasanya, dia baru berani menyatakan suka atau sayang setelah sempat jalan bareng dengan wanita yang dia taksir dalam waktu lama.

Dalam urusan yang satu ini, Gufron mengalami kegagalan berkali-kali. Namun ada juga saatnya kegagalan itu mencapai titik akhir. Pada tahun 2005 dia bertemu dengan Diana Sari, seorang gadis yang ternyata pegawai Pemda dan penyanyi di Lampung.

Pada audisi 20 besar berikutnya di Palembang, mereka kembali bertemu. Dari situ, Gufron tahu bahwa Diana sering menari di TMII. Setelah perjumpaan dan komunikasi yang kian sering, Gufron mulai menyukai Diana. “Aku menyukainya karena orangnya ramai dan supel. Kalau ngobrol juga nyambung. Karena sudah merasa cocok, akhirnya kuberanikan diri untuk melamarnya. Meski awalnya tidak semua keluarganya setuju, akhirnya mereka merestui juga,” jelas Gufron.

Setelah itu, dengan yakin Gufron datang ke Palembang sendirian untuk memperkenalkan diri pada keluarga Diana. Ajaib, kata Gufron, dalam waktu dua minggu, semua persiapan pernikahan termasuk undangan bisa selesai. Tanggal 1 September 2005, mereka melaksanakan akad nikah.

“Seminggu kemudian, aku boyong dia ke Jakarta. Karena perkenalan tergolong cepat, kami justru pacaran dalam kesempatan hidup bersama,” ungkapnya berkisah. Kegembiraan Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) ini, menjadi paripurna saat anak-anaknya lahir normal dan bertumbuh dengan baik.*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun