[caption id="attachment_264379" align="alignleft" width="673" caption="Jokowi - Ahok. Foto: news.liputan6.com"][/caption]
Berbagai survei menunjukkan tingkat elektabilitas Jokowi tak tertandingi. Pun oleh para bakal calon Presiden lainnya yang namanya sudah menasional selama ini seperti Aburizal Bakrie, Wiranto, Prabowo, dan lain-lain. Dari mereka ini sudah benderang keinginan untuk mencalonkan diri menjadi Presiden RI mendatang. Sementara Jokowi belum mengatakan sepatah kata pun seputar bersedia atau tidak. Dia malah kerap berkata, sedang pusing mengurus Jakarta.
Pertanyaan paling mendasar adalah mengapa pria ceking asal Solo itu sangat populer dan digandrungi banyak rakyat Indonesia hingga ke pelosok-pelosok? Tim relawan untuk mendukung dia menjadi Presiden RI telah terbentuk di mana-mana. Mari kita mundur sejenak ke pemilihan Gubenur DKI pada 20 September 2012 lalu. Pilgup tersebut didului berbagai kampanye baik yang hitam, putih, belang-belang, dan sebagainya. Dan berdasarkan rekapitulasi penghitungan KPUD DKI, pasangan “pendatang” Jokowi – Ahok berhasil menggeser dominasi “tuan rumah” Foke - Nara.
Bagi saya, kemenangan Jokowi - Ahok tidak aneh, dan sudah bisa diprediksi. Mengapa? Pertama, karena rakyat telah bosan dengan retorika bertaburkan kata-kata serba wah namun miskin pembuktian dari kebanyakan pemimpin. Kedua, adanya kejengahan masyarakat pada sikap “orang-orang pilihan” yang menciptakan jarak dengan rakyat yang mestinya mereka setiai. Ketiga, berkembangnya sikap tidak mau tahu para “kaum terpilih” terhadap nasib orang-orang kecil yang telah mendudukkan mereka di singgah sana.
Keempat, selama ini kerinduan rakyat akan pemimpin yang mau menyenasib dengan mereka, pemimpin yang bisa selalu mau hadir dalam perjuangan hidup mereka yang penuh perjuangan, belum terpenuhi. Rakyat hanya kebagian hal-hal seremonial dari pemimpin pilihan mereka di layar televisi, sedangkan pemimpin itu tidak bisa mereka jangkau atau sentuh.
Kelima, pola hidup mewah para pemimpin. Tadinya, saat kampanye, mereka datang makan bareng di pasar pedagang yang mau, keluar masuk gang permukiman kumuh, mau berpeluh. Tapi setelah terpilih, mereka memilih duduk enteng di ruangan ber-AC dan melepasbebaskan anak buah yang turun ke lapangan. Kemudian, anak buah dengan mental asal bapak senang – ABS memberi laporan yang menyenangkan hati sang pemimpin. Hebatnya, mendengar laporan yang “membesarkan hati” itu, sang pemimpin menambah derajat dingin AC di ruangannya sehingga tambah nyamanlah dia.
Maka begitu muncul Jokowi dan Ahok dengan segala rekam jejak yang merakyat - menyenasib, rakyat Jakarta langsung bersimpati lalu memercayakan suara mereka. Rakyat tidak menuntut berlebihan kok! Mereka hanya mau ditemani dalam pertarungan hidup dengan pendampingan yang inspiratif. Mereka membutuhkan contoh dari pemimpinnya. Energi ini yang lama hilang dalam kehidupan mereka.
Patut dicatat baik-baik, kelima hal yang saya sebut dalam analisis dia atas tidak melulu menohok pada pemimpin Jakarta sebelum Jokowi – Ahok, tapi kepada pemimpin di Indonesia pada umumnya. Menurut saya, begitulah cara kerja sebagian besar pemimpin kita pada semua lapisan di negara kita.
Menyangkal Diri
Dalam rekam jejak kepemimpinan Jokowi di Solo dan Ahok di Belitung Timur dan sekarang di DKI, kelima hal tersebut tergores dengan jelas. Rakyat Jakarta yakin bahwa Jokowi dan Ahok bukan tipe pemimpin yang berorientasi pada diri sendiri dan kelompok. Mereka dinilai sebagai tipe orang yang melupakan diri atau menyangkal diri bagi kepentingan orang yang mereka layani. Mereka telah menunjukkan diri sebagai pemimpin yang mau hadir dalam getir hidup orang yang mereka ayomi sambil memberi inspirasi.
Ya, Jokowi dan Ahok memerlihatkan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan setiap orang yang mereka pimpin adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan mereka juga. Mereka tidak berpuas diri dengan jabatan yang mereka miliki. Bagi mereka jabatan adalah amanah, adalah tanggungjawab. Dan melayani adalah wujud konkret tanggungjawab itu.
Seperti yang diyakini Eleanor Rooseveld, Ibu Negara AS (1933-1945), pemimpin yang baik menginspirasi pengikutnya untuk percaya pada pemimpinnya, tetapi pemimpin yang hebat menginspirasi pengikutnya untuk percaya pada diri sendiri. Bahkan lebih dari tausiah Eleanor, Ahok dan Jokowi melalui tindakan nyata, mengajak rakyat untuk memercayai mereka dan memiliki kepercayaan diri.
Dengan itu semua, mereka hendak mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemimpin. Menurut saya, tingkat kepercayaan rakyat kepada para pemimpin di negeri ini sudah sedemikian parahnya.
Sungguh! Rakyat Jakarta (dan Indonesia) menginginkan perubahan. Mereka pun sadar bahwa Jokowi Ahok tidak bisa ber-sim sala bim lalu terciptalah Jakarta yang aman nyaman, tidak macet, tidak kebanjiran, dan lain-lain. Mereka sadari itu! Namum mereka yakin pula bahwa Jokowi - Ahok telah dan akan berusaha merealisasikan harapan mereka. Dan itu melulu karena keterpanggilan sebagai pemimpin seperti yang dikatakan Jerry McClain bahwa contoh terbaik kepemimpinan adalah kepemimpinan dengan contoh yang baik pula.
Bahwa mereka belum sepenuhnya memenuhi seluruh harapan ataun janji kampanye dengan “sempurna”, harus diakui. Tapi kerja keras mereka terlihat dengan jelas. Lihat Waduk Pluit, Pasar Tanah Abang, MRT, dan lain. Semuanya dalam proses dan menunjukkan tanda-tanda berhasil.
“Keberhasilan” kedua pemimpin ini terletak pada konsistensi. Bukankah cukup kuat perlawanan warga Pluit atau para pedang kaki lima Tanah Abang menanggapi kebijakan Pemerintah DKI untuk melakukan penataan? Tapi masyarakat itu dengan mata telanjang bisa melihat bagaimana Jokowi tiada hentinya datang ke tengah-tengah kehidupan konkret rakyatnya, meski kemudian staf Presiden Heru Lelono menyebutnya sebagai pekerjaan sia-sia. "Yang blusukan itu orang yang tidak punya kerjaan, nganggur, lalu jalan-jalan tanpa tujuan," kata sang staf ahli itu. Dia lupa bahwa blusukan adalah laku menjejak bumi untuk menangkap energi dari rakyat yang akan dilayani.
Dan saya kira, pola kepemimpinan dan pola kerja Jokowi Ahok akan menginspirasi banyak pemimpin di Tanah Air ini. Roh tersebut harus bisa ditangkap oleh setiap pemimpin di Indonesia, termasuk para calon Presiden. Jika demikian, kepercayaan rakyat kepada pemimpin bisa kembali bertunas, berbunga dan berbuah. Sebab jika rakyat antipati, seorang pemimpin tak bisa apa-apa. Bersama rakyat yang penuh simpati, seorang pemimpin bisa dan mampu membangun Republik yang kaya raya ini menjadi negara yang bermartabat. Pasti bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H