Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dokter Asal Papua Ini Tuntaskan “Dendamnya” atas Kemiskinan

5 September 2013   07:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:20 1924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_263841" align="alignleft" width="211" caption="drg. Aloysius Giyai, bukan manusia lupa diri"][/caption]

dr. Aloysius Giyai kini adalah direktur RSUD Abepura, Papua. Untuk menjadi dokter dan direktur, perjalanannya sangat berat, ibarat perjalanan mendaki tajam, licin dengan beban berat di pundak sang pendaki. Parahnya lagi, pendakinya dalam keadaan lapar dan haus pula!

Betapa tidak dikatakan begitu? Dia berasal dari sebuah keluarga "super miskin" di Deiyai, Papua. Dia adalah satu dari delapan bersaudara. Orangtuanya petani miskin yang menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam kecil-kecilan dan berburu. Salah satu bukti kemiskinannya adalah, lima orang saudaranya meninggal karena tak terobati oleh karena ketiadaan biaya. HEBATnya, keadaan ini melahirkan semangat dalam diri Alo untuk menebus kemiskinan.

Setamat SMP Alo melanjutkan studi ke SMA Negeri 1 Abepura. Sekolah ini adalah sekolah unggulan, tempat berkumpulnya anak-anak orang kaya di Papua, baik anak pejabat maupun pengusaha. Orang-orang dari Pegunungan Tengah Papua yang berlatar belakang keluarga petani sederhana sangat jarang bersekolah di sini.

Karena kekurangan biaya hidup, Alo minta izin ke pengasuh di asrama untuk bekerja sebagai penyedot WC dan pembabat rumput di halaman rumah orang. Hampir semua WC di kompleks Perumahan Universitas Cenderawasih sudah pernah ia sedot tinjanya.

[caption id="attachment_263842" align="alignleft" width="425" caption="Kedua orangtua dr. Alo: Giyaibo Raymondus Giyai dan Yeimoumau Albertha Yeimou. foto: dok dr. Alo"]

1378342363872303589
1378342363872303589
[/caption]

Ketika kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya pun dia tak pernah terlepas dari kesulitan keuangan. Beasiswa dari Pemda sebesar Rp300.000,-, kiriman uang dari Kakaknya Thobias Giyai sebesar Rp50ribu dan dari ibu angkatnya, Sr. Aleksia Eva, DSY sebanyak Rp10ribu tidak mencukupi. Dia lalu berpikir keras untuk bisa mendapatkan uang. Ide pun muncul. Dia berdagang peralatan praktik seperti pinset, gips, sendok cetak, pisau bedah, sarung tangan, dan masker di dalam kelas.

Biasanya menjelang praktik, banyak mahasiswa yang membutuhkan peralatan itu secara mendadak karena milik mereka rusak, patah, hilang atau ketinggalan. Tanpa alat-alat ini, dosen akan mengusir mereka dan tak bisa mengikuti praktik. Mau tidak mau mereka membeli alat-alat itu. “Syukurlah, ternyata bisnis kecil-kecilan ini laris manis. Apalagi umumnya teman-teman yang membeli alat-alat ini berasal dari keluarga kaya,” kenang Alo.

Nuraninya Terketuk-ketuk

Ketika kemudian menjadi dokter, apalagi menjadi direktur RSUD Abepura, dia tidak lupa diri. Dia melakukan “pelanggaran” karena tergerak oleh rasa belas kasihan saat melihat pasien yang tak berdaya. “Nurani saya terketuk. Saya tidak mungkin membiarkan mereka menderita apalagi sampai meninggal.

Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, mereka cukup menunjukkan surat keterangan dari Pastor atau Pendeta atau Tua-tua adat.Padahal menurut aturan, jika ingin mendapat pelayanan gratis, mereka harus terlebih dahulu menjadi peserta JPS-BK. “Mereka tidak boleh mengalami yang lebih pahit dari yang saya pernah alami,” tekad Alo. Bahkan 30% penerima layanan JPS-BK bukan peserta JPS-BK dalam arti tidak terdaftar dan tidak memiliki kartu JPS-BK.

Alo “melanggar” aturan atas nama kemanusiaan dan sumpahnya sebagai dokter. Di hadapan Depkes dia menjelaskan pemakaian dana disertai bukti-bukti. “Pihak Depkes di Jakarta malah memuji saya. Dan sepulang ke Jayapura, Gubernur JP Salossa (almarhum) juga memberi penghargaan,” ujar Alo tersenyum.

Kisah lengkapnya ada dalam buku "Orang-orang HEBAT; Dari Mata Kaki ke Mata Hati". Jika berkenan, tengoklah di Gramedia, Gunung Agung dan toko buku lainnya.

Selain dr. Alo, di dalam b uku ini masih ada 19 tokoh inspiratif lainnya, yakni Romo Franz Magnis-Suseno SJ (rohaniwan dan ahli Etika Jawa), Franky Welirang (pengusaha dan pemilik Indofood) Zuhairi Misrawi (intelektual muda NU), Andre Graff (warga negara Prancis yang menjadi penggali sumur bagi masyarakat Sumba, NTT), Jansen Sinamo (motivator yang sedang menderita stroke), Laksda TNI (Purn) Y. Didik Heru Purnomo, Romo Kirdjito (Penerima Maarif Award), Antie Soleman (Pekerja sosial di Papua), Christie Damayanti (Arsitek Muda, penderita stroke), Romo Robert Ramone (rohaniwan pemelihara budaya Sumba), Agust Dapa Loka (Guru dan novelis, cacat permanen akibat kakinya diamputasi karena kecelakaan lalu lintas), St Kartono (Guru dan kolumnis KOMPAS), Romo Cassut SJ (Pendiri ATMI Solo dan Cikarang), Andre Moller (warga negara Swedia, pencinta bahasa Indonesia), Gerson Poyk (Sastrawan senior asal NTT), Anthony Dio Martin (Motivatoryang juga berasal dari keluarga miskin), Dewa Budjana (Gitaris Band GIGI), Kebamoto (Fisikawan UI), Honardy Boentario (Pengusaha).

Keluar dari Diri Sendiri

Bagi saya, kedua puluh sosok dalam buku ini adalah orang-orang yang tidak silau dengan keberhasilan yang telah mereka capai. Mereka tidak menjelma menjadi orang yang berorientasi pada diri sendiri. Mereka justru keluar dari diri mereka untuk berbuat bagi orang lain melalui keahlian mereka.

[caption id="attachment_263843" align="alignleft" width="300" caption="Dalam buku ini ada kisah lengkap dr. Alo. foto: EDL"]

137834281065092540
137834281065092540
[/caption]

Seperti saya katakan dalam pengantar penulis, “Mereka patuh pada petunjuk mata kaki yang menuntun mereka menangkah dari diri sendiri ke kehidupan orang lain. Dalam peziarahan hidup atas tuntunan mata kaki itu, mereka mendengarkan bisikan hati nurani lalu berusaha menjadi man/woman for others......”.

Dokter Alo dan kesembilanbelas tokoh dalam buku ini telah melakukan yang mereka bisa. Pertanyaan reflektif untuk kita, "Apa komitmen kita untuk orang-orang di sekitar kita?"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun