Salah satu produk unik dari pulau Sumba, NTT adalah kain tenun ikatnya yang unik dan berkualitas. Produk ini sudah berjasa menduniakan Sumba.
[caption id="attachment_261941" align="alignleft" width="400" caption="kain tenun Sumba yang masuk MURI itu..... Foto: dokumen EDL"][/caption]
Matahari sudah condong ke barat pada pada suatu sore yang dihiasai gerimis, minggu lalu. Umbu Anton (42th) duduk termenung di gang pintu utama Pasar Inpres Waingapu, Sumba Timur, NTT. Di depannya belasan kain tenun ikat Sumba Timur tersusun rapih. Sementara itu pada tembok di belakangnya, dia menggantungkan beberapa kain dagangannya yang lain dengan motif yang sama. Ada motif kuda, tengkorak, buaya, anjing dan lain-lain.
Bersebelahan dengan Umbu Anton, dengan penataan yang hampir sama, Umbu Jonathan juga menjajakan kain-kain miliknya. Sementara pada posisi berhadapan dengan keduanya berjejer penjual kain dari Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Sudah belasan tahun Anton dan Jonathan menekuni pekerjaan ini. Dari hasil penjualan tersebut, aku keduanya, mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk menyekolahkan anak. “Dari jual kain inilah pak, saya bisa menyekolahkan anak-anak saya hingga SMA,” ungkap Umbu Anton.
Anton bukanlah produsen. Dia murni seorang penjual. Kain-kain jualannya dia peroleh dari beberapa pusat produksi kain seperti di Melolo, Nggongi (sekitar 60 km ke arah utara Waingapu) dan Lambanapu (sekitar 7 km ke arah timur Waingapu).
Dari pengakuan Anton dan Jonathan, dalam beberapa tahun terakhir ini mereka merasakan penurunan pembeli. Dari pengamatan penulis yang sering mengunjungi kota ini, sejak beberapa tahun yang lalu sudah cukup sulit menjumpai penjaja kain tenun ikat di sudut-sudut jalan atau di tempat-tempat strategis lainnya. Biasanya sejumlah penjual kain berjejer di pojok-pojok jalan di kawasan Matawai dan Payeti untuk menjajakan kain-kain jualan mereka. Belum lagi mereka yang berjualan di sekitar hotel. Lantas, apa yang terjadi?
Menurut salah seorang produsen kain tenun ikat Sumba Timur, Fidelis Tasman Amat, gejala penurunan pembeli yang mengakibatkan berkurangnya penjual antara lain disebabkan oleh berkurangnya daya beli masyarakat. Penyebab lain tambah Fidelis, akibat ulah para penjual yang kerap menjajakan barang aspal—asli tapi palsu. “Kalau orang sudah sempat tertipu, cukup sulit mengharapkan dia beli lagi atau percaya begitu saja,” ungkap pria asal Manggarai, NTT ini. Mereka yang mau mendapatkan kain asli lanjut mantan pemandu wisata ini, memilih datang ke tempat-tempat produksi atau sanggar-sanggar.
Melihat kenyataan tersebut, Fidelis menilai diperlukan terobosan seperti yang dilakukan oleh Dekranasda Kabupaten Sumba Timur yang memproduksi dua kain tenun ikat Sumba terpanjang (yang diresmikan pada Oktober 2010).
[caption id="attachment_261942" align="alignleft" width="640" caption="Dalam balutan kain Sumba. Foto: EDL"]
Kedua kain tersebut adalah Hinggi sepanjang 50, 10 meter dengan nama Hinggi Humba “A’nda Ukurungu”. Hinggi (kain tenun ikat khusus untuk pria), Humba (Sumba), A’nda (jalan), ukurungu berarti bersama-sama. Sehingga Hinggi Humba A’nda Ukurungu berarti “Jalan yang Dilalui Secara Bersama-sama” dan Lawu Pahikungu sepanjang 24 meter yang diberi nama Lawu Pahikungu “Maronongu”. Lawu (sarung), pahikkungu (diungkit, karena ketika ditenun gambarnya diungkit dengan lidi agar motifnya timbul), Maronongu berarti malaikat. Sehingga bisa diartikan “karena keindahannya, sarung ini cocok dipakai oleh para malaikat”.
Untuk menyelesaikan kedua kain tersebut dibutuhkan waktu enam bulan dan melibatkan hampir seratus orang yang bekerja setiap hari dari pagi sampai sore.
Yang membanggakan, kedua kain tersebut memecahkan dua rekor MURI sebagai kain tenun ikat terpanjang. “Ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi orang luar Sumba untuk datang ke Sumba. Ujung-ujungnya rakyat juga yang untung. Saya memberi apresiasi tersendiri kepada Dekranasda,” ungkap Fidelis lagi.
Hinggi dan Lawu Pahikkungu
Sumba Timur memiliki dua macam kain tenun ikat, yakni Hinggi (kain tenut ikat untuk pria) dan Lawu Pahikkungu atau Lawu Pahudu (sarung songket untuk wanita). Selain merupakan kebutuhan sandang sehari-hari, kedua jenis tekstil ini memegang peranan penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Sumba Timur. Dalam adat-istiadat, hinggi dan lau berfungsi sebagai sarana tukar menukar baik dalam upacara perkawinan, penguburan, dan sekadar tanda penghargaan atau cinderamata.
Hinggi juga dipergunakan untuk membungkus jenazah. Selain secara fisik lapisan hinggi itu bisa menahan bau mayat, secara spiritual sesuai dengan kepercayaan Marapu (agama asli orang Sumba-red), hinggi dengan kualitas tinggi yang dipakai untuk membungkus jenazah bermakna sebagai bekal pakaian di alam baka.
Menurut data yang dimiliki oleh Ketua DPRD Kabupaten Sumba Timur, drh. Palulu Pabundu Ndima, M. Si, kain tenun ikat atau hinggi terpanjang yang pernah dibuat dan dimiliki masyarakat Sumba Timur adalah kain bermotif liakat yang diproduksi pada tahun 1824 di desa Mbatakapidu dengan panjang 12 meter, lebar 1,60 m.
Pembuatan benang lungsin (benang yang membujur pada barang tenunan-red) untuk kain ini jelas Palulu, dikerjakan oleh 16 orang, masing-masing 8 orang di sebelah kiri dan kanan. Bentuk corak liakat ini diikat oleh seorang perempuan yang berasal dari marga Taluara bernama Tonda Mbitu. Seluruh proses pengerjaan kain ini lanjut Palulu dikerjakan oleh penenun dari 40 marga di kampung Mbatakapidu.
Ukuran konvensional kain Sumba adalah 140x250 cm. Untuk menenun kain seukuran ini saja dibutuhkan waktu yang relatif lama. Proses pengerjaannya pun tergolong rumit. Setidaknya dibutuhkan waktu 6 bulan dan melibatkan sepuluh orang untuk menghasilkan 4 lembar kain. Harga kain berkisar antara Rp. 300.000 – Rp. 3.000.000,-/lembar. Dengan demikian, dari sisi hitung-hitungan ekonomi, memproduksi kain Sumba Timur dengan ukuran 140x250 centi meter belum menguntungkan.
Mengangkat Sumba
Ketika itu, dalam kata sambutannya Bupati Sumba Timur, Ir. Umbu Mehang Kunda (sudah almarhum) menyampaikan penghargaan tertinggi kepada Dekranasda Kabupaten Sumba Timur. Di matanya, apa yang dilakukan Dekranasda merupakan kerja kreatif yang bisa mengangkat nama Sumba Timur ke tingkat nasional dan tingkat dunia. “Kita berharap, peristiwa ini bisa menghapus memori orang yang selalu mengidentikkan Sumba dengan Sumbawa. Dengan ini mereka mengingatkan bahwa Sumba sangat berbeda dengan Sumbawa,” jelas Bupati Mehang.
Dia juga berharap, dengan peristiwa ini semangat masyarakat dalam memproduksi kain tenun ikat Sumba berkualitas baik semakin meningkat. “Sejak zaman purbakala, nenek moyang kita telah menenun kain dan berlangsung sampai sekarang. Ini berarti kita telah mewarisi karya tangan yang luar biasa. Dengan segala kemampuan dan juga keterbatasan, mari kita tingkatkan semangat dan penghargaan kita pada warisan istimewa ini,” jelasnya diiringi riuh tepuk tangan hadirin.
[caption id="attachment_261943" align="alignleft" width="299" caption="Dra. Sylvia Anggraeni, pencinta kain dan budaya Sumba. foto: EDL"]
Sementara itu kepada penulis, mantan ketua Dekranasda Kabupaten Sumba Timur Sylvia Anggraeni menjelaskan bahwa ide membuat kedua kain terpanjang tersebut muncul ketika dirinya mendapat tantangan dari Dr. Jaya Suprana untuk membuat kain Sumba terpanjang. “Saat itu dalam pameran kain Sumba di Bentara Budaya Jakarta, Jaya Suprana menyarankan 100 m. Tapi karena tingkat kesulitan yang tinggi, kami hanya buat 50,10 m dan 24 m,” jelas Sylvi.
Sylvi—yang bukan orang Sumba—lalu menjelaskan perkenalannya dengan kain Sumba. “Saya telah kenal kain Sumba sebelum kenal Pak Mehang. Melihat motif dan pesan di balik motif itu saya langsung jatuh cinta,” ungkapnya diikuti tepuk tangan dan kayaka undangan. “Orang Sumba harus bangga terhadap budaya dan produk budayanya. Jika demikian, kita akan memiliki akar yang kuat dalam menghadapi perubahan yang muncul.”
Alumni Sastra Inggris Universitas Satya Wacana Salatiga itu lalu menunjuk contoh. Dalam sejarahnya, orang Sumba menjunjung tinggi nilai kerjasama dan gotong royong. Ketika kedua kain ini dikerjakan, unsur kerjasama atau gotong royong sangat menonjol.
Sylvi memang sosok wanita pencinta hal-hal yang berbau etnik, bukan hanya Sumba. Dalam sebuah kesempatan dia menceritakan pengalamannya disebut “kampungan” oleh seseorang karena menggunakan sarung Sumba dalam sebuah acara resmi. “Lihat jajaran saya pakai kebaya dan batik semua. Kamu kok kampungan pakai sarung,” ungkap Sylvi mengulangi kata-kata sang kolega yang masih orang NTT itu. Tanpa memberi respon serius, Sylvi hanya tersenyum kecut.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H