Kita bisa berbelarasa dan menjadi sesama bagi yang lain, bukan menjadi serigala yang setiap waktu siap menerkam.
[caption id="attachment_208436" align="aligncenter" width="615" caption="Poster SOEGIJA. dokumen PUSKAT"][/caption]
Pagi ini saya membaca di weisite INDOSIAR bahwa stasiun ini akan memutar film SOEGIJA malam ini pukul 20.00 WIB. Karena sudah pernah menonton, dan menilai film ini baik untuk membangun keindonesia, semangat bersama, toleransi, saya segera mengabarkan kepada sebanyak mungkin orang. Saya melakukan ini dengan gembira.
Saya kira melalui film ini kita bisa membangkitkan kembali rasa cinta kita pada bangsa ini yang kian terasa hambar oleh berbagai hal. Semangat kebersamaan kita bisa dipicu kembali. Kita bisa berbelarasa dan menjadi sesama bagi yang lain, bukan menjadi serigala yang setiap waktu siap menerkam.
Tokoh Soegija, selain membangkitkan semangat pribumi saat itu, dengan kemampuan diplomasinya, ia menulis di berbagai media di Belanda terutama Eropa sehingga masyarakat Eropa mengetahui kekejaman Belanda di Indonesia. Akhirnya embargo yang sempat dikenakan pada Indonesia dibuka kembali. Dan dengan kemampuan yang sama ia meyakinkan Vatikan tentang keberadaan negara muda bernama Indonesia. Vatican pun mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ia berjuang bersama rakyat dari aneka latar belakang. Dia meyakini, kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua manusia merupakan keluarga besar. Satu keluarga besar, di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah, tidak saling curiga, benci, dan tidak saling memusuhi.
Sisi humanis Soegija sangat mewarnai tindakan-tindakannya dalam menghadapi peperangan, ironi, keraguan, kerapuhan kekuasaan setelah kemerdekaan Indonesia. “Apalagi pada masa kepemimpinannya, yaitu 1940-1949, suasana peperangan masih kental, seperti pertempuran lima hari di Semarang masih bergejolak dan pemimpin daerahnya tidak ada di tempat, serta Jepang masih bertahan di Indonesia,” kata Garin dalam sebuah kesempatan.
Pada masa sulit itulah, Soegija mampu menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang humanis dan mampu memandu masyarakat di sekitarnya, tanpa memandang agama dan asal-usul mereka. “Karena memang pada dasarnya, menjadi seorang pemimpin itu harus mampu memandu. Pemimpin itu harus menjadi seorang nasionalis, namun tidak melupakan sisi humanisnya. Hal itu harus mampu diwujudkan dalam tindakan nyata dan bukan wacana saja,” kata Garin lagi.
Ketika berbicara dalam diskusi film Soegija pada 16 April 2012 di KWI, sejarahwan Dr. Anhar Gonggong mengatakan, Mgr. Soegija melampaui dirinya sebagai uskup bagi umatnya, dia adalah pemimpin bangsa ini. “Dia bukan hanya uskup, dia pemimpin Indonesia. Di tengah krisis musti ada orang yang bisa mengambil sikap dan melampaui dirinya. Itulah kategori pahlawan. Selain teruji sebagai pemimpin yang baik, ia memang layak disebut pahlawan,” kata Anhar.
Soegija terkenal dengan jargon “100 Persen Indonesia, 100% Katolik”. Baginya, dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Dia merasa perlu mengeluarkan jargon tersebut sebab saat itu orang beranggapan bahwa menjadi Katolik berarti menjadi Belanda. Pada masa itu, menjadi Katolik diartikan sebagai ikut Londo atau Belanda, dan itu sangat sulit.
Tokoh Soegijapranata dalam film ini diperankan Nirwan Dewanto. Ada juga nama-nama lain yang tidak asing lagi seperti Olga Lydia, Annisa Hertami, Andrea Reva, Lydia, Butet Kertarajasa. Selain dari Indonesia, Garin mendatangkan pemain dari Jepang dan Belanda.
G. Djaduk Ferianto sengaja memasukkan sejumlah lagu yang biasa terdengar pada masa perjuangan kemerdekaan seperti Zandvoort Aan De Zee, Langkahku, Pengabdian yang Kau Pinta,Donga, Soedara Tua, dan Lentera. “Musiknya sangat kuat dengan unsur lawas, dan ini diminta sutradara Garin Nugroho untuk menghadirkan suasana tempo dulu,”imbuhnya.
Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata, SJ lahir di Soerakarta, Jawa Tengah, 25 November 1896. Ia meninggal di Steyl, Venlo, Belanda, 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun. Dia adalah Vikaris Apostolik Semarang, yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang. Ia juga merupakan Uskup pribumi Indonesia pertama. Dia adalah Pahlawan Nasional RI berdasarkan SK Presiden RI no 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963.
Tepat sekali kebijakan INDOSIAR memutar film ini pada Hari Pahlawan. Mari menjadi Indonesia atau malah kian mengindonesia! Selamat Hari Pahlawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H