Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... Freelancer - ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tukang Gali Sumur dari Prancis untuk Rakyat Sumba

8 Juli 2011   08:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

André Graff

Tukang Gali Sumur dari Prancis untuk Rakyat Sumba

Ia meninggalkan kenyamanan hidup di negaranya Prancis. Di sana ia seorang pilot balon udara panas, pelatih pilot dan pimpinan perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata. Kepincut Sumba, ia memutuskan tinggal di pulau yang sebagian alamnya terdiri dari padang sabana.Andréikut hidup meranggas di alam keras bersama kaum jelata dengan menjadi tukang gali sumur.

Sepenggal siang yang terik pada tahun 2004. Tiga orang perempuan setengah baya dengan ember berisi air sekitar 10 liter di atas kepala, berjalan mendaki menuju Kampung Waru Wora, Laboya, sekitar 30 km ke selatan kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, NTT. Napas mereka tersengal-sengal sebab jalan yang mereka lalui terjal dengan kemiringan sekitar 45 derajat dan berbatu. Udara terasa panas. Keringat kembali mengucur membasahi badan setelah sebelumnya mandi di sebuah rawa.Jarak antara rawa dan kampung adalah sekitar 3 km. Di rawa yang dihuni ikan karisa dan kodok itu, mereka mandi, mencuci pakaian lalu mengisi ember mereka untuk dibawa pulang. Kondisi airnya keruh!

“Episode” kehidupan tersebut André Graff (53) saksikan dengan mata kepala sendiri. Pria berbadan kurus itu berada di Sumba sebagai seorang turis untuk menikmati eksotika pulau yangterkenal dengan kuda Sandalwood, kampung-kampung tua dan megalitikumnya. André tak ubahnya turis-turis lain. Ia rajin keluar masuk kampung tua sambil menenteng kamera dan memotret setiap objek atau orang yang ia jumpai sambil meminta alamat mereka. Ia berjanji akan mengirimkan foto hasil jepretannya.

Dengan bahasa Indonesia seadanya, André berusaha menggali informasi seputar aktivitas ketiga ibu tersebut. Loru, salah satu dari antara mereka menjelaskan bahwa hampir tiap hari ia datang menimba air di tempat itu. Jika anaknya yang masih SD sempat, dialah yang menimba air sebelum berangkat ke sekolah.

Selain pengalaman dengan ketiga ibu tersebut, André sering bertemu dengan anak-anak kecil berkulit legam tanpa alas kaki berjalan jauh menimba air beberapa kali dalam sehari.

Sebelum André datang masyarakat setempat belum tidak pernah menggali sumur. Mereka tidak tahu bagaimana menemukan sumber air. Kampung mereka terletak di atas bukit sehingga kalau pun mereka menggali pasti sangat dalam dan belum tentu ada sumber airnya. Karena itu mereka tetap pergi ke mata air atau rawa meskipun jauh. Sekarang sumber air sudah dekat rumah mereka sebab André menggali sumur di legok tanah pada dataran rendah.

Gara-gara Alamat Tak Lengkap

Ketika izin plesirnya di Sumba pada Juli 2004 habis, André kembali ke negerinya, Prancis. Di sana ia mencetak foto-foto tersebut. Ia telah membuat ribuan foto. 3.547 foto ia cetak. Ketika hendak mengirimkan foto-foto sesuai janjinya, ia mendapati hampir semua alamat tidak lengkap. Bisa dipastikan, kalau ia tetap mengirim foto-foto menggunakan alamat yang ada, suratnya tidak akan sampai. Bagi André, janji adalah hutang. Ia lalu bertekad kembali ke Sumba untuk membawa foto-foto tersebut setahun kemudian.

Saat datang untuk kedua kalinya pada tahun 2005, André kembali bertemu dengan beberapa ibu di rawa yang sama. Di banyak wilayah kondisi yang hampir sama pun ia jumpai. Ia melihat begitu sulitnya kehidupan masyarakat. “Tapi anehnya mereka masih tersenyum dan terus berjuang. Keadaan ini benar-benar menantang dan menggoda saya. Saya lalu bilang, sudah cukup saya senang-senang di negara kaya,” ungkapnya tertawa kecil.Dari dasar hatinya timbul keinginan untuk melakukan sesuatu. Tanpa banyak berteori dan berdiskusi, ia memutuskan untuk menjadi penggali sumur bagi masyarakat meski dia sendiri tidak punya pengalaman melakukan pekerjaan tersebut.

Dia mengajak mereka belajar menggali sumur, membuat buis beton. Untuk jasa orang-orang tersebut, André “menggaji” Rp30.000/hari/orang. Sejak 2005 hingga hari ini, André telah berhasil menggali 27 buah sumur bagi masyarakat dengan biaya dari kantong pribadi dan bantuan beberapa temannya. Kalau dirata-rata, setiap sumur menghabiskan biaya Rp12-15 juta,- Kedalaman sumur bervariasi antara 4 sampai 23 meter. Waktu pengerjaannya bervariasi antara satu minggu sampai dua bulan. Sangat tergantung dari kondisi tanahnya. Berbatuan keras atau tidak.

Sumur-sumur yang menggunakan ember timba itu tersebar di kampung-kampung. Masyarakat menggunakannya secara bergantian. Dengan air tersebut mereka mulai bisa menanam sayur di sekitar rumah, memelihara ternak seperti bebek. Sebelumnya mereka hanya memelihara ternak yang mampu bertahan hidup meski kekurangan air seperti babi, anjing, kuda, kerbau dan lain-lain.

Yang menarik, selain terjun langsung menjadi penggali, sehari-hari pria yang hidup melajang ini tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari alang-alang dan bambu dengan peralatan sangat sederhana. Rumah ini juga menjadi tempat penyimpanan material. Untuk menopang hidup dan biaya pembuatan sumur, ia mengandalkan uang hasil kontrakan rumahnya di Prancis dan visa sosial budaya pemerintah negaranya. Selain itu, ia harus “mengemis” kepada teman-temannya.

Minta Dikubur di Sumba

Sebelum ke Sumba, hingga tahun 2003, André adalah pilot balon udara panas, pelatih pilot, pimpinan sebuah perusahaan pariwisata. Ia berhenti dari pekerjaannya karena menderita Lymd atau boreliose, sakit yang terjadi akibat serangan virus yang berasal dari serangga yang masuk ke aliran darah. Virus ini bisa mematikan syaraf otak dan menyebabkan kematian. Karena penyakit tersebut, ia berhenti bekerja, dan pada tahun 2004 ia datang ke Indonesia lalu mengunjungi NTT, termasuk Sumba.

Kehidupan André jauh dari kesan mewah. Ia hidup menjelata bersama penduduk. Yang membedakannya dengan masyarakat dari sisi fasilitas hanyalah bahwa dia memiliki kompor, menggunakan listrik tenaga matahari (solar system), dan laptop untuk mengakses internet kalau kebetulan dapat sinyal. “Inilah hidup saya. Saya tidak pilih hidup di Sumba tapi sekarang saya tidak bisa lari dan tidak mau lari juga. Inilah cerita hidup,” ujar pria yang ingin dikuburkan di Sumba nanti. Untuk keinginannya yang terakhir ini, ia telah menandatangani surat persetujuan dengan Kedutaan Besar Prancis agar jasadnya tidak dikirim pulang ke Prancis. Ia minta dikuburkan di antara orang-orang miskin.

Saat ini ia sedang membangun pompa air dan bak penampung di kampung Pacala Bawah dan Waru Wora, keduanya terletak di Lamboya. Dari kedua kampung yang terletak di atas bukit ini, air yang dipompa menggunakan solar system bisa dialirkan ke rumah sekitar 2000 penduduk. “Saya sedang pusing dengan kekurangan dana. Orang kampung sudah capek membantu saya. Sementara orang-orang membutuhkan air bersih, bagaimana ini…?” tanya lulusan Fakultas Biologi, Universitas Strassbourgh, Prancis ini retoris.

Saat ini Andre membutuhkan dana Rp25 juta untuk membeli pipa agar proyek ini segera bisa dinikmati masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun