Prof. Dr. Abd. A’la (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya)
Terperangkap ISIS/IS Karena Persoalan Kompleks
[caption id="attachment_320817" align="aligncenter" width="640" caption="Rektor UIN Sunan Ampel saat menyerahkan buku berisi pemikian soal "Islam Indonesia" kepada Jenderal OP, Pastor Bruno Cadore, OP. foto: EDL"][/caption]
Meski tidak muncul secara tiba-tiba, fenomena ISIS atau IS mengejutkan banyak pihak. ISIS pun menyebut tindakan mereka bersumber dari ajaran agama. Hal ini langsung disanggah Abd. A'la. “Coba bayangkan, orang yang sudah masuk ISIS, lalu kalau tidak turut perintah, langsung dibunuh. Ajaran mana yang menyuruh begitu?” tanya A’la retoris saat saya mewawancarainya di sela-sela seminar bertajuk Strengthening Justice And Peace Througth Interreligious Dialogue di Kampus UIN Sunan Ampel Surabaya (15/8). Seminar tersebut diadakan dalam kerja sama dengan panitia konferensi Ordo Praedicatorium bertema Dialogue As a New Way of A Preaching (11-16/8) di Ciputra Golf Club & Hotel, Surabaya.
Berikut wawancara saya dengan doktor “Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam” ini. Disertasi berjudul Pandangan Teologi Fazlur Rahman (Studi Kritis tentang Pembaruan Teologi neoModernisme).
Sejumlah orang Indonesia dengan mudah ikut dalam aliran yang menghalalkan kekerasan seperti ISIS. Apa pendapat Anda?
Mudahnya sejumlah orang Indonesia terperangkap ke dalam gerakan radikal, atau bahkan dalam aksi terorisme tidak terlepas dari amalgamasi persoalan yang melatarbelakanginya, realitas kehidupan, dan respon mereka terhadap realitas tersebut.
Apa faktor penyebabnya…..?
Kita harus melihat fenomena itu secara utuh dan penuh kearifan. Kita jangan mudah melakukan simplifikasi persoalan. Faktor yang menjadi penyebabnya tidak pernah muncul dari persoalan yang tunggal, tapi dari akar persoalan yang sangat kompleks. Kekerasan atau terorisme yang mengatasnamakan agama pada umumnya lebih bersifat politisasi agama tinimbang mengakar pada ajaran agama itu sendiri.
Keterperangkapan sejumlah orang ke dalam gerakan semacam ISIS muncul dari latar belakang persoalan yang kompleks; internal maupun eksternal, lokal, regional, maupun global. Langsung atau tidak langsung, globalisme dan modernitas yang sampai derajat tertentu masih menyisakan persoalan kemanusiaan, minimal bagi orang dan masyarakat tertentu dalam berbagai aspeknya (ekonomi, sosial, budaya, pendidikan), menjadikan mereka menganggap bahwa kehidupan modern sebagai ancaman. Sebagai ancaman harus dilawan, dan bahkan harus dimusnahkan.
Bagaimana melawan?
Untuk melawan yang dianggapnya mengancam tersebut, agama diyakini menjadi tempat perlindungan yang paling aman, dan dapat memberikan semangat yang demikian kuat, serta bisa dengan mudah mempengaruhi orang dan kelompok lain. Sebab agama berkaitan dengan emosionalitas manusia yang paling dalam. Dalam tataran itu pula, pemahaman agama yang parsial ikut memicu mudahnya orang dan kelompok tertentu tersebut terjebak ke dalam keberagamaan yang kurang berdasar pada ajaran dasar moral agama.
Tindakan orang-orang itu mencoreng Islam. Bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa mereka itu berlawanan dengan Islam?
Dialog dialogis antar para penganut agama menjadi keniscayaan. Selain itu, umat di luar Islam seharusnya mengetahui substansi ajaran Islam yang senyatanya bersifat moral. Selain itu, mereka juga perlu membedakan antara Islam dan umatnya. Umat Islam juga harus melakukan yang serupa terhadap agama yang lain.
Apa sanksi yang sebaiknya dikenakan kepada orang yang merusak citra agama Islam semacam ini? Namun, bisa jadi mereka juga tetap bertahan bahwa mereka adalah Islam dengan mencari “pembenar-pembenar”.
Dalam konteks Indonesia, yang perlu dipahami, Indonesia bukan negara agama, apalagi negara formal Islam. Karena itu sejauh tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, maka sanksi yang bisa diberlakukan lebih bersifat sanksi sosial. Organisasi sosial keagamaan yang merepresentasikan Islam Indonesia, semisal Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah harus berani memberikan sanksi sosial. Namun jika pemikiran dan gerakannya jelas bertentangan dengan ideologi Negara Indonesia, atau mengancam Negara Indonesia, maka harus dengan tegas memberikan sanksi hukum yang tegas.
Apa konsep yang Anda bisa tawarkan agar orang tidak dengan mudah tergiur dengan ajakan membela “kebenaran” dengan cara-cara kekerasan?
Pendidikan agama secara utuh mutlak diberikan kepada setiap anak bangsa mulai dari usia dini hingga dewasa. Hal yang lebih penting adalah memotong akar persoalan yang dapat menumbuh-kembangkan pikiran dan gerakan yang dapat mengarah kepada kekerasan. Aspek sosial, ekonomi, politik dan sebagainya yang sejatinya menjadi akar dari gerakan semacam itu perlu ditata-ulang baik secara global, regional, dan nasional. Aspek-aspek kehidupan tersebut jangan sampai memberikan peluang bagi muncul-suburnya benih-benih pandangan, sikap, dan tindakan yang bertentangan dengan moral dan agama substantif bertentangan.
Masyarakat sederhana dan kecil kerap dimanfaatkan atau diperalat oleh mereka. Bagaimana memperkuat “pertahanan” mereka agar tidak mudah tergoda? Siapa yang harus melakukan?
Selain perlu ditanamkan dasar-dasar pemahamaan keagamaan substantif, kehidupan mereka –terutama ekonomi, budaya, dan politik –mereka perlu diperkuat.
Dengan kaum “garis keras”, dialog seperti apa yang cocok?
Sebaiknya dikembangkan dialog yang terus berkelanjutan sampai mereka memahami bahwa pemikiran dan tindakan mereka adalah keliru dan sekaligus bertentangan dengan ajaran agama. Hal lain yang jauh lebih penting adalah membatasi berkembangnya pemikiran mereka. Pada saat yang sama, pandangan dasar agama yang bersifat moral perlu dikembangluaskan ke masyarakat.
Bagaimana menumbuhkan sikap toleransi yang semakin baik dalam masyarakat kita ke depan?
Harus ada mutual trust, mutual respect dan sebagainya di antara para penganut agama. Perbedaan yang ada jangan disikapi untuk membeda-bedakan, apalagi mempertentangkan secara sosial, tapi justru untuk memperkaya pandangan.
Kalau Anda optimis dengan dialog antaragama di Indonesia, apa alasannya?
Saya sangat optimis bukan hanya mengenai berkembangnya dialog, tapi juga dengan pengembangan toleransi. Kelompok garis keras, apalagi yang menghalalkan kekerasan hanya kelompok yang sangat kecil. Namun mereka sangat vokal dan banyak yang menguasai teknologi informasi. Selain itu, kesejahteraan rakyat yang semakin merata akan kian mempersulit menyebarnya pemikiran dan gerakan yang bersifat radikal.
“Islam Indonesia, bukan Islam di Indonesia”
Kepada para peserta seminar yang hampir seluruhnya adalah para pastor dan suster dari Ordo OP yang ingin mengenal Islam dari dekat, A’a menjelaskan, Islam Indonesia adalah Islam yang ramah, toleran dan itu berdasarkan penafsiran yang dapat dipertanggungjawabkan dari Alquran dan hadits. “Islam Indonesia adalah Islam yang selalu berkontekstualisasi dengan waktu dan tempat. Saya berharap para pastor ini dan suster memahami Islam ini seperti itu dan mengabarkan kepada yang lain,” A’la.
Karena seperti itu, aku A’la, kampusnya melakukan kajian tentang ISIS. “ISIS bukan kelompok agama tapi kelompok ideologi yang menggunakan agama untuk kepentingan sempit mereka yang bertentangan dengan agama mana pun,” tambahnya menegaskan.
Pada kesempatan ini, Pastor Mike Depp, OP, peserta dari Arfika mengatakan, "Kami ingin belajar lebih banyak tentang Islam dari negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia. Terima kasih, kami disambut dengan baik di sini."
Mike mengapresiasi kehidupan beragama di Indonesia. Meskipun masyarakatnya hidup dengan banyak agama, namun tetap bisa hidup rukun dan berdampingan. "Ini akan menjadi pelajaran berharga bagi kami, dan akan kami sosialisasikan ke banyak negara di dunia," tambah dia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H