Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... Freelancer - ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fery Sape, Membawa Sape Berdenting Sampai Jauh

26 Agustus 2014   14:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:32 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena keahliannya bermain alat musik sape, orang-orang memanggilnya Fery Sape. Dan benar! Kian hari, ia kian tak bisa dipisahkan dari alat musik petik khas Kalimantan itu.

[caption id="attachment_355258" align="aligncenter" width="578" caption="Fery Sape di tangga rumah Brtang dengan alat musik Sape di tangan. Foto: dokumen Fery"][/caption]

Pria bernama lengkap Ferinandus Lah (36 tahun) ini berasal dari Teluk Telaga Mendalam, Kapuas Hulu Kalimantan Barat, daerah asal alat musik sape. Pada masa kecilnya, ketika gelap mulai merayap menutupi kampungnya, ia sering secara samar-samar mendengar dentingan sape dimainkan orang-orang tua yang baru pulang dari ladang. Ada juga yang sambil menyusuri jalan perkampungan bermain sape. “Kerap terdengar. Dan memang indah,” ujar Fery mengenang.

Fery beruntung memiliki ayah seorang seniman tradisional yang bisa menari, melukis, mengukir, membuat mandau, dan aksesoris Dayak lainnya, termasuk sape. Sang ayah juga bisa memainkan sape walau dengan keterampilan terbatas.

Meski sering mendengar dan sesekali ikut memainkan sape, Fery kecil belum terpikat atau belum jatuh cinta pada alat musik ini. Baru ketika merantau ke kota untuk sekolah di SMA, dia teringat pada alat musik ini, bahkan merindukan dentingannya. Anak kedua dari tiga bersaudara ini rindu pada senja-senja yang sering ditingkahi denting sape. Ia pun mulai mengembangkan keterampilan dasarnya secara otodidak. Perlahan namun pasti, kemampuannya bermain sape bertambah, lalu untuk pertama kalinya ia manggung bermain sape dalam sebuah acara pariwisata di Taman Budaya Pontianak pada tahun 1997.

Penampilan dan petikannya langsung memikat banyak orang. Sejak saat itu ia sering dipanggil untuk memainkan sape di berbagai acara seperti acara adat, pemerintah, swasta, gereja, dan lain-lain. Dan karena setiap kali tampil selalu dengan sape, ia pun dipanggil Fery Sape. “Saya tak menduga. Tahu-tahu orang panggil saya Fery Sape. Saya sih oke-oke saja,” ujar Fery saat dijumpai di Pontianak beberapa waktu lalu.

Lebih dari sekadar bermain alat musik, bagi Fery, sape dan bermain sape adalah sebuah perjuangan kebudayaan. Ia melihat masyarakat telah lebih gandrung terhadap berbagai alat musik dari luar sehingga alat-alat musik tradisional terlupakan. “Alat-alat yang kita anggap modern sekarang, dulu alat tradisional juga. Saya mau suatu saat, sape menjadi alat musik modern yang diketahui lahir dari Kalimantan. Dengan begitu, Kalimantan terangkat di mata dunia. Ini salah satu misi saya,” jelasnya santai.

Lebih lanjut jelas alumni Politeknik Negeri Pontianak ini, jika ia secara tekun belajar alat musik lain seperti gitar, ia pasti bisa, bahkan sangat mungkin ia sejajar dengan gitaris hebat lainnya. “Tapi di mana nilai lebih saya? Saya hanya mengekor pada yang sudah terkenal, sementara ada kekayaan suku saya yang bila saya tekuni bisa sejajar dengan alat musik lain. Mengapa saya tidak mainkan? Semoga ke depan sape makin mendunia,” harap pria berrambut gondrong ini.

Keyakinan dan harapan Fery terhadap sape semakin tampak. Di tangannya, sape semakin sering muncul di panggung-panggung hiburan dan perhelatan lainnya. Jika di kampung asalnya, sape hanya dipakai untuk mengiringi beberapa lagu dan tarian tradisional untuk pesta-pesta adat, tapi di tangan Fery, sape bisa dipakai untuk mengiringi genre lagu apa saja termasuk rock, pop, country, dan lain-lain. Fery sudah membuktikannya mulai dari Pontianak, Jakarta bahkan ke mancanegara.

Ya, Fery telah membawa sape naik dari satu panggung ke panggung di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Bahkan, Fery dengan sapenya sudah manggung di berbagai negara seperti China, Jepang, Ukraina, Dubai, dan lain-lain. Hampir selama tiga bulan, pada Desember 2013 sampai awal Ferruari 2014, Fery berada di Dubai untuk bermain sape dari panggung ke panggung dalam acara Dubai Shoping Festival. Sebelumnya, untuk acara serupa, ia manggung di Iran.

Sentuhan Baru
Sebagai musisi, Fery akrab dengan alat-alat musik modern seperti gitar, keyboard, dan lain-lain, tetapi dia tetap memilih sape. Baginya, sape memiliki keunikan tersendiri dibandingkan alat musik lainnya. “Suara sape sangat beda di telinga. Unik dan memberi getaran lain,” jelasnya singkat soal keunikan sape.

Fery mengaku sudah sangat akrab dengan sape sejak kecil. “Saya mengenal sape sejak kecil. Saya kenal betul karena saya lahir di suku Dayak Kayaan, Mendalam, yang kental dengan budaya dan adat istiadatnya. Dan memang musik sape itu lahir dari rumpun suku Dayak Kayanik, seperti Kayaan, Punaan, dan Kenyah,” jelas Fery.

Di tangan Fery juga, sape mengalami kemajuan. Ia melakukan berbagai improvisasi dari sape yang hanya bersenar tiga menjadi empat, lima sampai delapan senar. Ukuran sape pun menjadi bervariasi. Untuk hal ini, Fery benar-benar otodidak. “Mau belajar ke siapa lagi? Saya belajar sendiri untuk mengembangkan alat musik ini, baik dari segi bentuk, nada, maupun penambahan senarnya,” jelasnya. Kini, berkat ketekunan Fery berkreasi dan berimprovisasi, sudah tersedia beberapa buah sape elektrik.

Fery sadar, perjuangannya tidak mudah. “Mengajak orang melirik sesuatu yang tradisional saja sudah sulit, apalagi mencintai. Tapi tak masalah. The show must go on,” ujarnya. Fery seakan mendapat suntikan semangat, sebab usahanya tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga adat Dayak dan pemerintah daerah. Ia berharap juga bisa mendapatkan beasiswa untuk belajar musik secara spesifik agar kelak bisa mengembangkan sape.

Dari hasil belajarnya yang otodidak, selain kian terampil bermain sape, Fery telah menghasilkan sejumlah komposisi lagu. Hasil karya tersebut sudah sering ia bawakan dalam berbagai penampilan dan mendapat sambutan meriah penonton. Bahkan banyak yang ingin memiliki jika sudah dikemas dalam bentuk album. Dia sendiri pun ingin memiliki album dari hasil karyanya sendiri. “Namun ini bukan hal yang mudah untuk saya karena perlu dana besar dan kerja keras yang sungguh-sungguh. Semoga suatu saat bisa terwujud,” harap peraih predikat Juara Umum Parade Lagu Daerah Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 2010 bersama tim Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini.

Sekadar tambahan, pada tahun 2012 Fery bersama grup Puyang Gana dari kabupaten Sekadau mewakili Kalimantan Barat merebut gelar Juara Umum dalam parade musik daerah tingkat nasional di TMII. Atas prestasi tersebut, pemerintah Sekadau mengirim Fery dan kawan-kawan ke Ukraina, mewakili Indonesia untuk menampilkan musik Dayak dalam acara festival folklor.

Pria kelahiran 19 November 1978 ini juga memendam angan-angan untuk memiliki rumah sape atau galeri untuk menyimpan atau memamerkan alat musik sape. “Dengan begitu, orang bisa mengenal lebih dekat, dan mendapatkan sape dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan mudah. Tentu saja dengan kualitas bagus. Tapi sekali lagi, hal semacam ini tidak mudah untuk saya,” ujar peraih medali emas untuk Lagu dan Musik Etnik pada Pesta Paduan Suara Gerejawi di Sulawesi Utara, 2012 bersama tim Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun