Mohon tunggu...
Eman Harnat
Eman Harnat Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Suka membaca situasi sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ancaman Konflik di Laut Cina Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia

29 Mei 2024   23:51 Diperbarui: 29 Mei 2024   23:51 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Laut China Selatan (LCS) telah lama menjadi salah satu titik panas dalam geopolitik Asia Tenggara. Konflik di Laut China Selatan melibatkan klaim tumpang tindih antara beberapa negara seperti Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Indonesia, meskipun tidak terlibat langsung dalam klaim teritorial di wilayah inti LCS menghadapi ancaman terhadap kedaulatannya di wilayah perairan Natuna Utara.

Laut China Selatan mencakup area seluas sekitar 3,5 juta kilometer persegi. Dikutip dari CNBC Indonesia, Bank Dunia memperkirakan bahwa LCS memiliki cadangan minyak bumi yang diperkirakan mencapai 11 miliar barel serta 190 triliun kaki kubik gas alam. Selain migas, hasil perikanan dari Laut China Selatan juga sangat bernilai. 

Laut ini, yang hanya mencakup 2,5 persen dari permukaan bumi, memiliki sistem terumbu yang kaya dan lebih dari 3.000 spesies ikan, mencakup sekitar 12 persen dari total tangkapan ikan global. Selain itu, Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan penting, dengan sekitar 25% arus pelayaran dunia dan barang bernilai US$ 5,3 triliun melewatinya. (CNBC Indonesia, 17/11/2020). Situasi ini menjadikannya wilayah yang sangat strategis.

Pemicu Sengketa Laut China Selatan

Sengketa LCS dipicu oleh klaim sepihak dari negara-negara kawasan, termasuk China, atas kepemilikan wilayah perairan tersebut. Klaim China bermula pada 1947 dengan produksi peta LCS yang menampilkan 9 garis putus-putus, mencakup Kepulauan Spratly dan Paracel sebagai wilayah teritorialnya. Klaim ini ditegaskan kembali pada 1953 saat Partai Komunis berkuasa, berdasarkan sejarah China kuno dari Dinasti Han hingga Dinasti Qing.

China menggunakan alasan historis dan penemuan-penemuan untuk mempertahankan klaimnya atas LCS, serta melakukan pembangunan fasilitas militer, pulau buatan, dan penempatan kapal perang untuk memperkuat posisinya. Klaim China atas 80-90 persen wilayah LCS berdasarkan sejarah ini memicu ketegangan dengan negara pantai lain yang juga mengklaim wilayah tersebut berdasarkan aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Vietnam mengklaim Kepulauan Paracel dan Spratly, yang mencakup hampir seluruh wilayah LCS. Filipina mengklaim sebagian wilayah LCS, khususnya Kepulauan Spratly (dikenal sebagai Kepulauan Kalayaan) dan beberapa pulau di sebelah barat Filipina, termasuk Scarborough Shoal. Brunei dan Malaysia mengklaim bagian selatan LCS dan sebagian Kepulauan Spratly. (CNN, 13/05/2022)

Dampak Terhadap Kedaulatan dan Keamanan Maritim Indonesia

Konflik di Laut China Selatan memiliki potensi besar untuk menimbulkan dampak negatif bagi negara-negara di wilayah tersebut, termasuk Indonesia. Sejak China memasukkan wilayah Natuna dalam peta Nine Dash Line, Indonesia otomatis terlibat dalam konflik klaim di LCS. Karena itu, Indonesia memiliki kepentingan dalam konflik ini yaitu mempertahankan hak yurisdiksi atas perairan Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen di Laut Natuna Utara yang bersinggungan dengan klaim Nine Dash Line China (Itasari & Sudika Mangku, 2020; 147-148).

Ada beberapa akibat bagi Indonesia dalam kaitan dengan masalah di LCS. Pertama, masalah sumber daya alam. Indonesia menjadi semakin waspada ketika nelayan asing, termasuk dari China, memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan melakukan penangkapan ikan ilegal di sana. Aktivitas penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing di perairan Natuna Utara menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.

Beberapa dampak dari penangkapan ikan ilegal antara lain: Penurunan penerimaan negara bukan pajak (PNBP); Hilangnya devisa negara; Berkurangnya peluang nilai tambah dari industri pengolahan dalam negeri; Berkurangnya peluang kerja bagi nelayan lokal; Membuat nelayan lokal kalah bersaing sehingga mengurangi mata pencaharian mereka; Ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan karena hasil tangkapan tidak terdeteksi, baik jenis, ukuran, maupun jumlahnya; dan merusak ekosistem serta sumber daya hayati laut akibat penggunaan alat tangkap dan bahan berbahaya yang tidak ramah lingkungan (Kompas.com, 19/05/2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun