Sama halnya cinta Allah terhadap Firaun. Melalui cinta, Allah mengirim Musa untuk mengingatkan Firaun secara lemah lembut. Meski Firaun melawan cinta yang diberikan oleh Allah. Maka yang dialami Firaun adalah kegelapan, azab tiada henti, dan kekalahan yang terus menyelimuti hidupnya.
Untuk itulah kita harus tetap menggapai ridha Allah yang berarti meraih cinta-Nya. Melihat fenomena hari ini, manusia tidak akan cukup meraih cinta Allah hanya dengan cinta biasa. Cinta manusia harus beriringan dengan sikap penghambaan yang selalu menjaga hati dan tingkah laku (akhlak) dalam segala aktivitas kehidupan. Agama Islam yang sekaligus juga agama berbasis cinta, menuntut umatnya untuk jujur dan komitmen kepasrahan dalam bentuk ketundukan niat yang tulus terhadap Allah.
Mengingat manusia memiliki sifat kebinatangan yang kerap muncul akibat syahwat nafsu yang tidak dapat dikontrol. Kemarahan, kekakuan, dan kekerasan, tidak lain adalah naluri binatang yang seringkali keluar dalam diri manusia. Hal itu merupakan kelemahan pada diri manusia, dan kita perlu sadari atas keteledoran yang sering terjadi pada diri sendiri ini.Â
Segeralah bertaubat dan merendahkan diri di hadapan Allah bahwa kita semua makhluk yang tidak berdaya dan tidak ada apa-apanya tanpa cinta yang diberikan Allah, dengan sebutan yang sering kita dengar, yaitu rahmat.
Rahmat Allah ini yang perlu kita semua syiarkan, terutama para ulama, kiai, habaib, ustadz, da'i, mubaligh dan pemuka agama apapun sebutannya di ruang publik. Mayoritas Islam di negeri ini bukan berarti kita berhak berbuat seenaknya menebarkan kebencian dan kekerasan.Â
Pengikut Nabi Muhammad SAW. saat hijrah ke Yatsrib (Sebelum Madinah), merupakan kelompok minoritas yang disambut oleh kelompok-kelompok mayoritas penduduk yang terdiri dari beberapa suku dan klan atau kabilah. Setelah Nabi menjadi pemimpin, Nabi membangun kesetaraan penduduk melalui rasa cinta Tanah Air---Madinah---sehingga bersatu demi melindungi dari serangan kaum kafir.
Sementara para ustadz dan da'i yang apalagi baru memperoleh ketenaran atau kepopuleran, cenderung kaku, keras, dan juga suka menghakimi pihak lain dengan klaim-klaim menurut kebenaran dirinya saja.Â
Apalagi mualaf yang diangkat sebagai ustadz. Â Mungkin para pengkhotbah agama yang demikian, hanya memahami dan menghafal teks-teks dalil, akan tetapi sesungguhnya ia selalu menyemai benih-benih permusuhan, sektarian, dan pemecahbelahan. Inilah situasi yang tengah kita hadapi saat ini dan tentu saja perlu kita waspadai bersama, bahwa jangan sampai terjebak dalam kubangan kegelapan.
Ruang publik kita yang penuh amarah dan murka adalah corak dalam krisis sosial keberagamaan kita. Wajib bagi kita meluruskannya. Sebab jelas kita semua adalah umat beragama. Orang yang tidak memiliki rasa cinta, orang lain akan menjauh terpisah. Sebaliknya, orang yang menebarkan cinta, pasti akan dicinta seperti halnya kita mencintai orang tua kita. Karena cinta merupakan sumber kehidupan yang nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H