Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cegah Konflik Bernuansa Sektarianisme

27 November 2020   09:00 Diperbarui: 27 November 2020   09:31 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kadrun.id/2020/11/26/cegah-konflik-bernuansa-sektarianisme/

Tengoklah ke arah kiblat Mekkah saat bulan haji, betapa orang-orang memanjat doa pagi, siang, sore, malam hingga kembali pagi. Semua menyatu dalam syahdu khusyuk penuh penyerahan diri dan kebulatan hati. Manusia-manusia Ciptaan-Nya dari berbagai benua, Amerika, Eropa, Afrika, China, hingga Nusantara. Melucuti kebesaran pangkat, menanggalkan pakaian mewahnya, mencopot semua jabatan. Heterogenitas pria-wanita dari berbagai ras, etnis, suku, warna kulit, dengan pakaian sama putih semua sibuk menghajatkan pengampunan dosa, ketentraman dunia akhirat, dan ketenangan sekaligus kedamaian, di masa depan kehidupan. Islam di Kota Mekkah dengan Kabah sebagai simbol penyatuan maha indah.

Penyatuan keragaman juga terlihat di kota suci lainnya. Coba pergilah ke Jerusalem, saat senja menjelang, ketika suara azan maghrib yang dilambungkan dari masjid-masjid di kota Jerusalem Lama, bertimpalan dentang lonceng gereja. Keduanya berpadu mengingatkan pemeluk agama Samawi bahwa tiba saat untuk memuliakan Yang Mahakekal. Dan di sana, di depan Tembok Barat, Tembok Ratapan, orang-orang Yahudi berdoa, memuja Yahwe Tuhan Allah-nya.

Suasana damai begitu lekat. Surga begitu dekat. Damai, aman, tentram. Tidak ada permusuhan di antara umat keturunan Ibrahim, Bapak Umat Beriman (Trias Kuncahyono, 2015: 382). Betapa elok dipandang dua kota suci sebagai simbol persatuan dan kesatuan sesama umat manusia, meski Kota Jerusalem berada pada pusaran konflik Timur-Tengah yang tak kunjung usai.

Perbedaan tidak menjadi penghalang bagi manusia berakal. Agama Islam sendiri menolerir adanya perbedaan; perbedaan pendapat, perbedaan tafsir, perbedaan kepentingan, dan perbedaan persepsi. Tidak hanya itu, Agama Islam sendiri mempersilahkan adanya persaingan, bahkan dianjurkan. Fastabiqul khairat, bersaing demi meraih kebajikan. Di wilayah akal pemikiran sendiri, berbagai perbedaan di atas telah melahirkan khazanah Islam melalui tumbuhnya bermacam-macam mazhab dalam Islam.

Dalam Islam, perbedaan ideologi keyakinan atau kita sebut akidah, sudah ada batasannya, yakni la ikraha fiddin, yang berarti tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) cukup pupuler diajarkan setiap Muslim untuk diimplementasikan dalam bentuk saling menghormati pada setiap pergaulan sosio-kultural.

Di wilayah simbol kebudayaan Muslim yang tentu saja setiap bangsa memiliki kebudayaannya masing-masing, tidak menjadi masalah bagi agama. Misalnya, bentuk pakaian jubah atau sarung, bentuk masjid selagi masih sama mengarah ke kiblat, warna pakaian, berpeci putih, hitam, atau merah, dan seterusnya. Perbedaan tidak begitu menimbulkan potensi konflik.

Namun, jika perbedaan berada pada wilayah perebutan tahta kekuasaan, martabat, gengsi harga diri, kehormatan, asmara, dan seterusnya yang bersifat keduniawian, maka birahi ini bisa menghantarkan manusia pada moralitas yang destruktif. Perbedaan hawa nafsu ini yang telah diwanti-wanti Nabi Muhammad SAW. amat berpotensi memunculkan pelbagai konflik keagamaan yang jauh dari ajaran Islam.

Semestinya umat Islam saat ini banyak belajar dari sejarah politik sektarianisme yang berkepanjangan. Bahkan konflik politik dan sektarianisme di Arab, hingga kini masih belum usai. Mengapa umat Islam lebih senang bertikai ketimbang damai? Mengapa lebih senang berantem dibanding ketenangan dan ketentraman, atau dalam istilah Jawa adem ayem? Bukankah kita lebih nyaman beribadah di atas tanah kedamaian? Konflik yang terjadi selama ini bukanlah peran agama, akan tetapi penyalahgunaan Agama Islam yang menjadi penyebab utamanya tidak lain adalah hawa nafsu.

Aksi-aksi mengatasnamakan agama melalui legitimasi fatwa beberapa tahun silam misalnya, meski terlihat bernuansa keagamaan, akan tetapi sesungguhnya itu bukan agama. Beberapa aktor utama, memiliki syahwat politik keserakahan yang tak terbendung lagi. Mereka berusaha memainkan emosional masyarakat yang sedang berkobar-kobar dalam beragama.

Konflik mutilasi dan pembakaran rumah Jemaat Ahmadiyah di pelbagai daerah, penindasan kaum Syiah, penghancuran rumah ibadah, bentrokan, tawuran, dan seterusnya termasuk beribadah di Monumen Nasional (Monas), sama sekali bukan wilayah keagamaan. Meski mengatasnamakan Islam, akan tetapi lebih kepada ekspresi syahwat birahi, hawa nafsu politik sektoral. Luapan emosi dan ketakutan akan hilangnya eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, memainkan pula akalnya dengan memanfaatkan agama sebagai alat untuk mendorong syahwat secara telanjang bulat.

Dakwah agama yang dipenuhi kebencian terhadap perbedaan, telah menjadi pelumas terjadinya berbagai konflik sektarian. Padahal al-Quran telah mengingatkan dalam petikan surat al-Maidah: 2, Dan jangan sekali-sekali kebencian (kalian) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka). Gamblang dan jelas sekali pesan al-Quran bahwa kebencian mendorong kita bertindak hal-hal yang diluar batasan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun