Habib Alwi Shihab, mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) 1999-2001 mengatakan, "Saya sendiri adalah seorang Habib, saya tidak setuju kalau seandainya Habib-habib menggunakan panggung itu untuk mencederai perasaan pihak lain yang tidak sejalan dengan mereka." Habib Alwi juga mengungkapkan bahwa kalau ingin mencontoh nabi, maka kita sendiri harus mencontoh karakternya lebih dulu.
Tidak semua habib mengerti persoalan agama. Banyak kalangan habib yang tidak mendalami disiplin ilmu agama. Seorang habib dengan memakai jubah dengan serban melingkari kepalanya, bukan berarti ia berilmu dan berakhlak mulia.Â
Karena situasi saat ini, bertolak belakang dengan situasi zaman. Dahulu, seorang habib akan disimak betul dan diterima oleh seluruh masyarakat moderen. Sebagaimana Habib Salim bin Jindan dan Sayyid Usman bin Yahya yang keras dalam pengertian tegas, dan tegas tidak harus berbentuk makian.
Gelar habib yang dipredikatkan masyarakat, terlalu mudah untuk disematkan. Padahal, gelar itu ditujukan selain bagi keturunan Nabi Muhammad SAW, juga harus berilmu (alim). Penting bagi habib untuk fokus perhatiannya hanya untuk umat Islam dan masyarakat pada umumnya.
Tidak hanya gelar habib yang mudah sekali disematkan masyarakat, kiai, gus, dan juga ustadz, seringkali muncul di permukaan yang realitanya kurang dalam ilmu, atau bahkan tidak berilmu dan berakhlak seperti nabi.Â
Boleh jadi pengaruh media yang memberi gelar-gelar terhormat---mempengaruhi masyarakat---kepada orang-orang yang seharusnya belum memenuhi disiplin keilmuan dan perilaku yang baik.
Sebagian dampak daripada fenomena ini adalah beberapa peneliti yang mengilustrasikan bahwa kondisi Muslim saat ini dalam kondisi sakit dan dipenuhi persoalan kompleks.Â
Pandangan saya, gelar habib yang mendadak mencuat pascareformasi itu, memunculkan politik identitas yang menjadi narasi dalam perpolitikan bangsa kita saat ini.Â
Jika persoalan ini dilimpahkan kepada pemerintah saja, saya rasa tidak adil. Sebab banyak ungkapan yang mengatakan "pemimpin merupakan cerminan atau manifestasi diri rakyatnya." Banyak masyarakat kita yang hanya belajar melalui dunia internet yang semu.
Bangkitnya teknologi-informasi, melahirkan media sosial yang menghubungkan orang-orang lintas geografi. Media sosial juga memungkinkan orang mendapatkan pelbagai informasi yang mengudara dalam jaringan maya.Â
Media sosial juga sebagai fasilitas sirkulasi informasi yang cukup buruk. Upaya politis dan siaran kebencian dengan anonimitasnya, dapat menghilangkan batasan-batasan kesopanan.