Tidak ada satupun nabi yang diturunkan Tuhan ke bumi ini dengan membawa misi kekerasan. Semua nabi membawa keselamatan; semua membawa ketenangan; semua nabi, membawa misi penting, yakni perdamaian diantara umat manusia. Kekerasan, ekstremisme, intoleransi, dan perilaku radikalisme, bukan ajaran agama manapun dan bukan ajaran nabi. Kekerasan tidak memiliki kelamin identitas. Kekerasan hanya menimbulkan malapetaka bagi kemanusiaan.
Lebih lagi Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang diakui dunia sebagai orang paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia. Kalau saja Nabi Muhammad SAW berdakwah dengan kekerasan, maka tidak akan ada yang menganut agamanya, dan tidak tahu kita sedang menyembah siapa. Bangsa Quraisy memberikan gelar yang sangat terhormat kepada Nabi Muhammad SAW sedari masa puber dengan julukan al-Amin (yang terpercaya), bukan isapan jempol.
Membedah ajaran manusia agung, Nabi Muhammad SAW, ibarat menyelami samudera lautan biru yang begitu luas tak berujung daratan dengan kasat mata. Menemukan satu saja mutiara, seolah telah menemukan harta tujuh keturunan yang tak ada habisnya dari jutaan jumlah mutiara yang ada. Panorama dan keindahan yang dipandang oleh seorang penyelam ajaran Nabi, hanya satu dari hamparan eksotis lautan yang mahakaya.
Sebelum si penyelam berkelana dalam hamparan penuh artistik itu, ia akan kehabisan oksigen dan tutup usia. Seluruh shalawat dan salam yang dipanjatkan, tak akan mampu memenuhi hak beliau untuk dipuji dan diagungkan serta dimuliakan. Betapa tidak, Allah SWT beserta malaikat-Nya saja memanjatkan pujian dan shalawat khusus untuk pribadi agung itu dalam QS. Al-Ahzab, 33: 56.
Lalu apa rahasia sukses Nabi Muhammad SAW dalam membawa misi Islam yang diembannya? Pertama kata Islam saja yang berarti salam (perdamaian). Kedua, Nabi Muhammad SAW yang lahir diantara dua kutub imperium besar dunia yang sedang bersaing sengit, yakni Kekaisaran Sansaniyah di Iran Persia dan Kekaisaran Romawi di daratan Eropa. Katiga, beliau mengabdikan diri pada jalur perdamaian dengan Mekkah dan Quraisy yang pada saat itu masyarakatnya gemar sekali berperang.
Meski Nabi Muhammad SAW sesekali dengan keterpaksaan berkampanye defensif, namun tidak menyurutkan pencarian dan resolusinya di tengah resistensi konflik kekerasan yang agresif dengan gelar "Nabi Perdamaian". Al-Quran sendiri memandang peperangan sebagai kebutuhan yang amat disayangkan ketika orang-orang tak berdosa---kebebasan hati nurani yang damai---kian terancam.
Citra Nabi Muhammad SAW, Islam dan kitab suci al-Quran yang muncul dengan fokus lebih banyak membahas terkait tema-tema perdamaian dan toleransi, sesungguhnya telah mematahkan pandangan Barat secara luas sebagai ajaran yang ekstrem. Bahkan kalangan Muslim sendiri yang telah mendistorsi dan bersifat ambivalen terhadap ajaran nabi yang penuh toleran di masanya.
Sikap konfigurasi toleransi yang diajarkan, terutama saat di Madinah pada September 622 M, merupakan teladan yang patut kita selami dalam berbangsa dan bernegara hari ini. Dari berbagai heterogenitas kesukuan dan keberagamaan yang ada, nabi menancapkan pondasi yang begitu kokoh terhadap perbedaan menjadi persatuan yang kuat.
Gerakan Islam banyak muncul belakangan ini dengan bau tak sedap, semacam anomali, kian jauh dari ajaran nabi yang sesungguhnya saat berada di negara Madinah. Berbagai serangkaian peristiwa intoleran, kekerasan dan kerusuhan bernuansa SARA, masih mewarnai bangsa kita. Sebagian Muslim, banyak terprovokasi oleh isu-isu sektarian yang berujung pada aksi-aksi anarkistis dan destruktif. Perbedaan yang seharusnya melahirkan harmonisasi sebagaimana Madinah zaman nabi, justru dijadikan sebuah alasan untuk berperilaku intoleran dan keras. Bahkan tidak sedikit orang yang sudah melaksanakan rukun Islam yang kelima, Â menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah ancaman sehingga melegalisasi penindasan.
Sepanjang zaman, institusi haji sebagai faktor pemersatu dalam Islam dan pembentuk persaudaraan paling efektif yang berasal dari berbagai tempat. Ibadah haji memberikan kesempatan bagi orang-orang kulit hitam, bangsa Berber, Cina, Persia, Suriah, Turki, Arab---kaya, miskin, tinggi atau rendah status sosialnya---untuk bersaudara dan berkumpul dalam persaudaraan yang dilandasi oleh keimanan. Dari semua agama di dunia, Islam tampaknya merupakan agama yang paling berhasil menghilangkan perbedaan ras, warna kulit dan bangsa. (Philip K. Hitti, 2018: 170).
Walaupun ibadah haji ke tempat-tempat suci (ke Ka'bah dan Arafah) merupakan ritual yang telah lama dilakukan wangsa semit pada masa pra-Islam. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW mengadopsi sebagian besar praktik orang-orang Arab pra-Islam itu, dengan makna yang dalam. Bahwa perbedaan bukan suatu halangan dalam menjalin kerjasama sesama manusia---memiliki derajat yang sama serta mentaati aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar seperti larangan mengeluarkan darah dengan sengaja, berburu dan mencabut tanaman---memiliki nilai substansi yang tinggi oleh ajaran nabi tentang perbedaan dan nilai toleransi yang terkandung di dalamnya.