Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengkritisi Fenomena Maraknya "Atas Nama Agama"

17 Oktober 2020   09:40 Diperbarui: 19 Oktober 2020   10:23 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
redaksiindonesia.com

Dr. Aksin Wijaya dalam bukunya, Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia: Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan (2018), menyebut fenomena maraknya atas nama agama sebagai teologi kekerasan adalah sakralisasi kekerasan secara religius. Hasil interpretasi kitab suci dan teks-teks keagamaan itu dapat melahirkan teologi negatif. Pemikiran keagamaan yang menjustifikasi kekerasan terhadap manusia lain---atau terhadap makhluk hidup lain dan alam---yang menyebabkan kekerasan itu menjadi sakral karena menjadi bagian dari agama.

Atas nama agama sebagai instrumen paling efektif yang seolah-olah sahih untuk bertindak kekerasan, dalam hal tertentu bahkan menjadi wajib. Sakralisasi religius yang disebut Dr. Aksin Wijaya, menjadi sebuah tindakan berdosa, akan tetapi tidak berdosa dan bahkan bangga atas apa yang dilakukannya dengan membela agama atau Tuhan itu.

Para aktor teologi kekerasan tersebut justru merasa aneh ketika orang lain yang mengaku beriman, tapi tidak melaksanakan kewajiban membela agama dan Tuhan itu. Dalam konteks ini, mereka menghukuminya dengan sebutan kafir, munafik, pendosa, sesat, fasik, dan sejumlah punishment lainnya. Mereka akan senang dan merasa berpahala, dengan bangga menyebut orang lain yang hanya berbeda pemahaman dengan predikat-predikat yang tidak semestinya dilontarkan seorang beriman.

Sejarah hitam dalam Islam pun ditandai ketika kelompok puritan dan ekstrem khawarij bernama Abdurrahman Ibnu Muljam. Ia mengatasnamakan agama dengan menghunuskan kilau pedang seraya melafal teks suci al-Quran la hukma ilallah (tiada hukum selain Allah), lalu mengayunkan pedangnya yang mengandung racun itu, tepat menerpa kepala Ali bin Abi Thalib hingga tersungkur saat shalat subuh. Sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya tiga hari kemudian. Saat Ibnu Muljam dihukum pancung, ia tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan ia merasa senang dan berharap surga.

Fakta sejarah pada zaman Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Tuhan, tentu saja dengan tujuan utama perdamaian, keadilan dan kemanusiaan, semakin menyeleweng dari haluan awal di tengah arus globalisasi pada era pasca-kebenaran (post-truth) sekarang ini. Nabi Musa dengan misi menyelamatkan kemanusiaan dari ketertindasan sistem budak. Nabi Isa yang membawa cinta dan kasih sayang kemanusiaan. Dan Nabi Muhammad SAW dengan deklarasi universalisme pada 623 Masehi yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Madinah" dalam lingkup sosial-ekonomi-politik antara warga negaranya yang plural, dengan penuh kedamaian.

Mahatma Gandhi, seorang yang terus mengampanyekan cinta dan tidak menyakiti, menggunakan kekerasan dan membunuh makhluk apapun dengan apa yang ia sebut sebagai ahimsa, harus terbunuh oleh tembakan pistol dari tangan kotor ektremis Hindu bernama Nathuram Vinayak Godse, sesaat setelah menangkupkan tangannya di depan dada, namaste. "Saya menembak orang yang kebijakan dan tindakannya meruntuhkan serta menghancurkan jutaan orang Hindu," ungkap Godse di pengadilan. (Hindustan Times, 28 mei 2017).

Orang-orang fanatik, ekstremis seperti ini menggunakan agama, seperti yang dilakukan oleh Godse, untuk kepentingan politiknya. Padahal, agama dan politik tidak bisa digabungkan. Agama berurusan dengan persaudaraan, perdamaian, kasih sayang, kepedulian, dan belarasa. Kalah dan menang adalah urusan politik meskipun, sebenarnya, tujuan politik yang sesungguhnya adalah menciptakan bonum commune, kesejahteraan bersama. (Trias Kuncahyono, 2018: 66).

Fenomena benturan agama-negara pada masyarakat Indonesia dengan politisasi agama pun, kian tumbuh berkecambah melalui formalisasi agama ke dalam negara. Wajah agama kini terlihat kaku, radikal, puritan, ekstrem, dan militan pada tataran sosio-kultural, maupun epistemologis. Kelompok ini lebih bertahan pada teks fiqih klasik dan tidak lentur terhadap persoalan kekinian. Karenanya, mereka mengabaikan autentisitas problematik sosio-humanis.

Oleh karena itu, para tokoh agama perlu merumuskan kembali fiqih yang bersifat multikulturalisme dan mengedepankan sosio-humanis akhlak para nabi, terutama Nabi Muhammad SAW, ketimbang ajaran-ajaran peperangan. Ajaran perang hanya berakibat pada maraknya kekerasan atas nama agama, semakin menambah pekerjaan rumah bagi pemerintah dan negara.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun