Globalisasi sekarang ini melahirkan era post-truth, di mana fakta yang mengandung kebenaran dan objektivitas, tidak lagi memberikan pengaruh besar pada penggiringan opini publik. Era ini juga memetakan segala sesuatu: Benar-salah, kaya-miskin, moderat-ekstrem, Muslim-kafir dan seterusnya. Narasi demikian yang kemudian melahirkan rantai kekerasan agama, dalam hal ini melalui pendekatan pada konteks internalisasi Islam.
Dalam konteks sekarang ini, apakah Islam yang digelorakan penceramah dan pengkhotbah di masjid sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin, masih memberi harapan? Atau hanya sebatas teks dan suara yang dinilai kontradiksi? Di sinilah masing-masing dari kita perlu merefleksikan. Kemudian bercermin, sudahkan diri kita menjalani agama Islam yang lurus, sebagaimana sering tokoh agama menyerukannya.
Menurut pimpinan Lembaga Landasan Etika Global (Foundation for a Global Ethic), Hans Kung, dalam bukunya Christianity and the World Religion (1986), menyatakan, bahwa perjuangan politik paling fanatik dan paling kejam adalah yang telah diwarnai, diilhami, dan dilegitimasi oleh agama.
Kendati Hans Kung memaparkan agama adalah pangkal bencana teramat kejam dan agresif dalam sejarah kemanusiaan, dan narasi demikian sering kita dengar, akan tetapi pernyataan itu dinilai gegabah dan tidak sepenuhnya benar. Perang dunia di abad 20, tentu bukan perang yang bertujuan untuk kepentingan agama.
Karen Armstrong misalnya dalam bukunya Fields of Blood, Religion and The History of Violence (2014), menjelaskan, sepanjang sejarah manusia, peristiwa, insiden, dan bencana kemanusiaan yang menggetarkan, tidak disebabkan oleh agama. Namun, Perbedaan pandangan kekuasaan politik, kolonialisme Barat terhadap negeri-negeri Muslim, paham sekularisme yang mengakar, kapitalisme dalam sistem, rasisme, etnosentrisme, komunisme, ateisme dan lain sebagainya.
Walau demikian, pernyataan Hans Kung di atas, tidak sedang berhalusinasi atau berfantasi ketika memaparkan anasir-anasir dalam pelbagai aksi kekerasan agama. Begitupun Indonesia yang terkenal sebagai negara yang ramah, santun, dan berperadaban, dapat kita saksikan secara kasat mata bagaimana kekerasan mengatasnamakan agama, sering tersiar di pemberitaan media-media mainstream.
Yang teranyar, kasus penyerangan Habib Umar di Solo, sabtu (8/7/2020), sebelum acara midodareni atau doa untuk anaknya yang akan menikah keesokan harinya. Kelompok penyerangan itu mengumandangkan pekik Allahu Akbar (Tuhan Maha Besar) sambil memukul. Perilaku intoleran yang sangat rusak oleh tangan-tangan kotor dan mulut kasar itu, adalah pemandangan ironi dan paradoks.
Realita tersebut tidak dapat dipungkiri dan tidak bisa ditutup-tupi. Kita harus jujur dan mengaku menyesal atas agama yang dijadikan mesin perusak dan pembunuh yang mematikan kemanusiaan. Dalam agama, termuat diskursus, doktrin jihad, simbol, ajaran perang, dan ajaran kekerasan yang mengilhami sebagian ummat untuk melakukan tindakan-tindakan atas dorongan fanatisme buta dalam bentuk kekerasan.
Bahkan kelompok jihadis-terrorist menganggap perbuatan mengerikan yang mereka lakukan, tidak berdosa sedikitpun. Sebaliknya, sebagai perbuatan mulia, mendapatkan pahala, dan kematiannya tergolong syahid. Tidak hanya itu, diskursus terkait syariat beragama dalam kultur Indonesia, masih diwarnai tindak kekerasan. Hal itu ditandai ketika fatwa-fatwa kontroversial dari para ulama yang melegitimasi dan menjustifikasi, telah memicu operasi kekerasan dan tindakan-tindakan radikal.
Artinya, ulama yang mengeluarkan fatwa semacam kebencian dan penyesatan terhadap kelompok lain, dalam konteks ini, telah melakukan kekerasan agama. Inilah yang menjadi dasar kelompok radikal bertindak anarki, memerangi, mempersekusi, bahkan sampai membakar rumah-rumah manusia yang seharusnya dilindungi, seandainya dalam diri mereka sedikit memiliki hati nurani.
Tanggung jawab pemerintah dan semua elemen masyarakat semakin berat dalam mengemban keberagaman negeri ini. Untuk merevitalisasi pemahaman agama yang sempit, harus semakin digencarkan. Tanggung jawab besar berada di pundak para pemuka agama. Tunjukkan jalan menuju kesejukan, ketenangan, kecerdasan, dan mencerahkan sebagian ummat Islam yang kian terjebak dogmatik agama yang kaku, keras, dan ekstrem.