Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peranan Media dalam Isu PKI

1 Oktober 2020   10:41 Diperbarui: 1 Oktober 2020   10:48 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film yang ditayangkan oleh media tertentu, kemungkinan besar telah terafiliasi dengan kelompok tertentu. Kelompok yang memiliki kepentingan untuk menaikkan emosional masyarakat, terutama umat Islam terhadap peristiwa 55 tahun yang lalu. Maka media tersebut membuat semacam agenda setting untuk mengkonstruk pola pikir masyarakat--human interest terhadap isu yang coba digulirkan--paling menonjol dalam hal ini adalah TV One, Viva News dan semua elemen dalam PT Visi Media Asia Tbk.

Tentu saja relasi tersebut telah menunjukkan subjektivitas suatu media. Corong media yang tidak berimbang, berakibat pada pola destruktif dan polarisasi di antara masyarakat, hanya sekadar memperoleh keuntungan pribadi yang mendistorsi. Tidak faktual dan penggiringan opini publik yang berakibat pada terjadinya disintegrasi. Luasnya dampak (consequence) di masyarakat dari pemberitaan dan penayangan suatu benturan di masa lalu, tidak diperhitungkan secara matang.

Paling menarik pada sebuah media massa, dalam buku yang ditulis Edward S. Herman dan Noam Chomsky, manufacturing consent (1988), yang mengungkapkan bahwa filter terakhir adalah ideologi antikomunisme. Komunisme adalah momok yang sangat menakutkan bagi pemilik properti (public fear), karena mengancam posisi dan status superior. 

Mekanisme kontrol anti-komunis menjangkau melalui sistem untuk melakukan pengaruh besar pada media massa. Mereka mengarahkan pemikiran, interpretasi dan devinisi apa berita yang layak diberitakan dan menjelaskan landasan dan operasi yang sebenarnya adalah kampanye propaganda.

Dalam buku tersebut juga ditegaskan bahwa perusahaan media yang besar, mereka dikontrol oleh orang-orang kaya, oleh para manajer, yang tunduk pada pemilik perusahaan dan berpikiran hanya mengejar keuntungan. Hal tersebut menunjukkan manufacturing consent, beralih menjadi manufacturing content.

Idealnya, media harus senantiasa menjadi pembawa informasi yang membimbing masyarakat, menyuguhkan pengertian terkait perkembangan di sekitar, dan mendorong masyarakat untuk melepaskan segala kesulitan. Media juga tentu harus berupaya objektif dalam memuat konten pemberitaan melalui sumber-sumber resmi dan kredibel. Misalnya, media televisi yang mewawancarai Babe Haikal Hassan atau ustadz-ustadz provokatif lainnya, dalam menanggapi fenomena sosial beragama, maka kredibilitas dan integritas amat sangat diragukan dan tak terpercaya.

Selain itu, media juga harus menerima dan melaksanakan pembangunan-pembangunan positif masyarakat, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan secara nasional. Tugas dan fungsi media lebih diperhatikan lagi, seperti informasi, kontrol, bimbingan, hiburan, regeneratif pengenalan budaya di masa lalu, pengawalan hak-hak warga negara, ekonomi, dan swadaya.

Media semestinya mampu membentengi diri dari pengaruh dan tekanan dalam bidang keuangan. Jika media dapat dipengaruhi uang, maka ia dapat dikendalikan oleh siapapun, otomatis reputasinya pun akan hancur. Sama halnya dengan menempatkan diri pada ketiak siapa saja yang mampu membayar jasanya.

Karenanya, pembentukan opini melalui beberapa media yang menayangkan isu PKI, sekaligus mempertontonkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang dipertanyakan fakta sejarahnya, adalah sebuah pembodohan masyarakat. Tidak mendidik dan menjerumuskan masyarakat pada kesesatan dalam konteks sejarah bangsa. 

Penulis tidak berpendapat bahwa film tersebut tidak perlu ditayangkan. Bahkan lebih dari itu,  film garapan Arifin Chairin Noer dari segi artistik, seni, dan dramatisasinya, adalah sebuah karya yang apik. Namun, sangat disayangkan, kembali masyarakat disuguhi fakta sejarah dan sebuah kenisbian yang mendistorsi oleh kelompok kepentingan Orde Baru.

Melalui film itu, peranan media begitu besarnya terhadap pembentukan opini publik dalam memandang histori Indonesia. Tidak berimbang dan tidak adanya second opinion terhadap fakta sejarah yang sebenarnya. Masyarakat akan tetap mengikuti tren di media massa, sehingga isu yang dimainkan oleh kelompok kepentingan, dalam peranan media sebagai penekanan, akan dimenangkan. Dengan demikian peranan media massa sangat penting terutama memberikan pencerahan masyarakat, bukan mengambil keuntungan berdasarkan tingkat rating penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun