Fatwa menempatkan dirinya pada posisi paling penting dan strategis dalam memecahkan sejumlah masalah. Begitupun Majelis Ulama Indonesia (MUI), hanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)---bukan institusi resmi negara, yang berusaha berkedudukan di atas lembaga dan organisasi lain dalam sejumlah fatwa---justru menjadi legitimasi yang seolah patut ditaati oleh seluruh umat Islam Indonesia.
Faktanya, fatwa, dalam perspektif ushul fqih, hanya sebatas pendapat sebagai jawaban atas kegelisahan yang ditanyakan---sifatnya tidak mengikat. Tidak menjadi suatu kewajiban untuk diikuti, mengingat banyaknya pendapat dari ulama klasik dalam sebuah karya monumental lainnya, atau berbagai pendapat yang menjadi kajian komprehensif para ulama yang dapat kita pertimbangkan.
Para ulama salaf umumnya sangat berhati-hati dalam memberikan sebuah fatwa. Karena para ulama salaf sadar betul bahwa dirinya adalah seorang penerus Nabi Muhammad SAW yang wajib membimbing umat Islam. Tentu akan berhati-hati dalam memberikan fatwa, dan benar-benar mengatakan "tidak tahu" apabila yang ditanyakan adalah hal yang tidak dikuasainya.
Menjadi penting, karena fatwa dapat menjawab pesoalan zaman yang selalu melahirkan problem baru. Untuk itu, Allah SWT menjadikan kompetensi manusia beragam. Ada yang ahli dalam bidang ilmu fiqih (fuqaha), ilmu hadis (muhadis), ilmu tafsir Al-Quran (mufassir), ilmu ketauhidan (tassawuf), dan banyak ilmu lainnya.
Karenanya, para ulama harus mampu merespons segala masalah, dan menemukan jalan keluarnya, walaupun tidak ada titik persoalan kekinian di Al-Quran maupun hadis, akan tetapi meramu dan menemukan hal yang selaras dengan syariat Islam.
Atas dasar itulah, beberapa ulama dan cendekiawan Muslim, serta zuama yang diwakili berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam, berhimpun untuk menemukan solusi dari segala persoalan umat Islam. Ormas tersebut terdiri dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perti, Syarikat Islam, Al-Washliyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, Al-Ittihadiyah, dan sejumlah dinas rohani dari TNI dan Polri juga turut andil di dalamnya.
Ulama dan cendekiawan Muslim serta zuama, secara kolektif membuat satu lembaga pada tanggal 7 rajab 1395 H, atau bertepatan dengan tanggal 26 juli 1975, di Jakarta. Lembaga ini dinamakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pendirian MUI juga sebagai cara Orde Baru dalam mengatur umat Islam.
Sebagai politikus, Presiden Soeharto mulai menyadari fakta mayoritas umat Islam dan pentingnya posisi Islam dalam konstelasi politik. Akan tetapi, dalam perjalanannya, pernyataan Soeharto di Kompas (21/12/1989) yang menegaskan MUI makin mandiri---tentunya masih dalam koridor orde baru, justru tidak dapat dikontrol pemerintah.
Sebagaimana dicatat M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013:32-77), MUI dimaksudkan sebagai wahana pemerintah untuk mengontrol Islam demi kepentingan. Mundurnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dari ketua MUI, sebagai bentuk sikap protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah.
Pada titik ini semakin jelas, bahwa MUI adalah produk politik Orde Baru yang dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan. Namun, independensi MUI kian menguat pasca-runtuhnya orde baru pada Tahun 1998. Belakangan, MUI semakin meneguhkan fatwa legitimasi teologis, khususnya dalam praksis kebebasan beragama. MUI makin menjadi lembaga yang mengontrol segala aktivitas praktik keberislaman masyarakat. Fatwanya seringkali menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat yang penuh kontroversial.
Beberapa fatwa kontroversial yang dikeluarkan oleh MUI sebagai berikut: fatwa nomor 287 Tahun 2001, tentang porno aksi dan pornografi. Haramnya bunga bank konvensional pada tanggal 16 Desember 2003. Selain itu, fatwa nomor 7 Tahun 2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Ada juga, fatwa nomor 4 Tahun 2005 tentang perkawinan beda agama. Ditambah, fatwa tanggal 7 Februari 2009 yang mengharamkan rokok.