Seruan khilafah di Indonesia seakan tak ada habisnya. Pejuang khilafah terus mencari terobosan baru untuk sebuah propaganda. Dari mempengaruhi publik dengan cara membuat tagar khilafah di media sosial, kemudian  memviralkannya, sampai mempublish film 'Jejak Khilafah di Nusantara'. Padahal kita semua tahu ideologi khilafah adalah sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila, tapi masih saja kampanye khilafah menodai kebhinnekaan kita.
Setelah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tahun 2017 lalu, kampanye khilafah masih terus gencar di media sosial. Tidak hanya itu, mereka bahkan terus menginfiltrasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Fakta tersebut dapat kita amati melalui media-media nasional, saat Banser menyambangi sebuah Yayasan Pendidikan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, kamis (20/8/20). Yayasan tersebut diduga menjadi sarang penyebaran ideologi khilafah HTI hingga membuat reaksi masyarakat yang mayoritas kaum nahdliyin.
Bila kita lihat sejarah dan latarbelakang beridirinya Hizbut Tahrir (HT), kita akan tahu bahwa pembentukannya hanya sekadar "alat transportasi" Taqiyuddin al-Nabhani untuk pergerakannya di wilayah politik. Taqiyuddin memproklamirkan HT sebagai partai pembebasan dengan visi misi memperjuangkan kembalinya dinasti politik  khilafah Islamiyah. Partai ini kemudian menyebar ke segala penjuru bumi ini dengan dogma khilafahnya, dari Yordania, Palestina, Australia, hingga ke Indonesia.
Di dunia Arab sendiri partai ini ditolak. Di permukaan, Arab sendiri menggunakan kata pemimpin itu sebagai raja atau presiden, tidak ada istilah khalifah ataupun menggunakan sistem khilafah. Yang ada justru sistem kerajaan, seperti Arab Saudi dan Yordania. Sitem federasi yang terdiri dari tujuh emirat, seperti Uni Emirat Arab. Sistem kesultanan, seperti negara Oman.
Jika memang tujuan HTI adalah politik kekuasaan, mengapa kelompok ini tidak mendaftarkan diri saja sebagai partai politik resmi di Indonesia? Sama halnya dengan partai politik Islam yang lain? Meskipun, HTI yang dirancang sebagai organisasi politik, namun ia tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol yang ikut dalam pemilu. Sebab menurut aktivisnya, dalam situasi sekarang ini banyaknya partai Islam justru membingungkan umat Islam. Oleh karena itu, kelompok ini tidak mengikuti jejak partai lain yang berdasarkan Islam untuk ikut andil dalam pemilu yang kemudian dapat menjadi anggota legislatif. (Afdal, dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia: 266-277).
Selain itu, mengapa HTI menolak terlibat dalam pemilihan secara demokratis di Indonesia? Karena mereka memandang sistem yang dianut Indonesia melalui jalan pemilu adalah demokrasi sekuler. Kata lain dari sekuler adalah sistem kufur.
Pandangan HTI yang semacam itu terlihat aneh dan tidak dapat dibenarkan. Dalam catatan Al-Mawardi al-Ahkam as-Sulthaniyah pergantian jabatan dari pemimpin yang satu ke yang lainnya, dapat menggunakan cara musyawarah (syura), seperti ketika Nabi Muhammad SAW wafat, kemudian para sahabat bermusyawarah untuk menentukan pengganti sebagai Khalifah. Bisa juga melalui wasiat, seperti Sahabat Abu Bakar yang mewasiatkan pergantian Khalifah ke Sahabat Umar bin Khattab. Atau membentuk Majelis Syuro (ahl al-hall wa al-aqd), seperti pembentukan Sahabat Umar bin Khattab untuk khalifah penggantinya nanti. Dan kemudian baiat.
Apapun sistem penentuan dalam memilih pemimpin, seharusnya lebih mendahulukan moralitas. Bukan sebagaimana setelah era khulafa ur rasyidin yang memperebutkan kekuasaan dengan cara-cara peperangan, menumpahkan darah, mengkudeta, ataupun sistem warisan dinasti secara turun temurun. Hal tersebut justru menghilangkan prinsip bermusyawarah (syura), seperti yang diajarkan Nabi.
Jika sistem yang ada di Indonesia ditolak oleh HTI, muncul pertanyaan, bagaimana mekanisme pemilihan khalifah ala HTI? Demokrasi dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat, atau parlementer? Penyatuan pimpinan negara Islam dalam satu wadah kekhalifahan, bisakah raja-raja Arab, presiden atau emir dan perdana Menteri itu berhimpun? Kemudian menunjuk satu khalifah? Sebelum itu semua terjadi, para pemimpin negara akan ribut dan saling serang untuk memperebutkan kekuasaan. Hal itu dirasa mustahil dalam era nasionalisme kebangsaan sekarang ini.
Maka terbaca sudah strategi yang harus dilakukan oleh HTI, yakni meyakinkan tentara dengan cara menyanjung TNI dan meminta bantuan TNI untuk mengkudeta presiden. Kejadian ini dilakukan sebelum HTI terancam dibubarkan tiga tahun lalu.
Cara lainnya, bisa kita saksikan ketika terjadi sesuatu dalam pemerintahan, seperti kasus korupsi, hutang negara yang terus meroket, ekonomi yang semakin menurun, atau saat momentum politik berlangsung, maka mereka akan hadir sebagai "solusi" atas segala persoalan yang terjadi.