Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kemendikbud yang Lagi Nge-POP

29 Juli 2020   13:00 Diperbarui: 29 Juli 2020   13:03 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. M. Aminullah RZ

Baru-baru ini saya membaca berita mengejutkan pada dunia pendidikan kita saat masa pandemi covid-19 seperti sekarang ini, yakni tentang Program Organisasi Penggerak (POP) yang menjadi program unggulan Kemendikbud. Program tersebut merupakan program peningkatan tenaga pendidikan dan kependidikan melalui organisasi. Beberapa organisasi besar seperti LP Ma'arif NU dan Muhammadiyah justru mundur dari program yang sudah terverifikasi tersebut. Mengapa?

Dana POP yang sebesar RP 595 Miliar pertahun akan sangat bermanfaat jika dialokasikan untuk membantu guru honorer, siswa dan penyediaan infrastruktur demi menunjangnya pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi saat ini. Sebab pandemi covid-19 hampir meluluhlantahkan segala sektor, tidak luput juga sektor pendidikan yang imbasnya pada kehidupan guru, siswa dan orang tua siswa.

Beberapa pakar pendidikan sangat khawatir menyaksikan penyelenggaraan POP di Indonesia oleh kemendikbud, ditambah ada indikasi kejanggalan pada program tersebut. Merujuk pada pengumuman resmi kemendikbud, empat dari ratusan proposal yang lolos diajukan dua yayasan bentukan korporasi besar, yakni Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto. Belum lagi ditambah birokrasi pendidikan terkenal dengan korupsinya, seperti hubungan atas bawah, upeti kepada atasan, potongan gaji, amplop untuk pengawas dan proyek-proyek lainnya seperti kenaikan jabatan dan lainnya.

Membaca  pengumuman program terseebut, dengan mudah kita melihat bahwa anggaran sebesar  itu tidak mengarah pada perbaikan sektor pendidikan, seperti  yang sudah dirancang sebelumnya. Menurut Prof. H.A.R. Tilaar tamatan Sekolah Guru (SPG, PGSD atau FKIP, IKIP, UNJ) bukan bodoh, tetapi tidak bisa mengajar bukan salah yang bersangkutan, tapi salah sistem pendidikan.

Jadi Kemendikbud sebetulnya tidak pernah punya program strategis untuk pemerataan dan peningkatan SDM.

Dahulu pendidikan di Indonesia menjadi bagian dari pendidikan zaman kolonial. Dimana sekolah didirikan untuk melahirkan orang yang berketerampilan membaca dan menulis untuk kepentingan perusahaan , perkebunan, dan pabrik orang-orang belanda. Kemudian pemerintah Hindia Belanda menyediakan sedikit anggaran untuk pendidikan dan menyediakan sekolah terbatas jumlah pesertanya. Kebijakan tersebut sangat dipengaruhi oleh politik etis. Untuk kebanyakan orang, pemerintah menyediakan Sekolah Rakyat, sedangkan HIS, ELS dan HCS untuk kalangan bangsawan, pegawai negeri dan pegawai sesuai dengan yang dibutuhkan pemerintah.

Setelah merdeka, melalui masa orde baru, pendidikan merupakan satu unit yang tidak memberikan sumbangan lain kecuali melainkan peran atas kelestarian hegemoni kekuasaan, kerangka sistem sudah dipersiapkan, pentas sudah disediakan, dan setiap orang hanya dituntut untuk memainkan peran sejauh telah digariskan GBPP. Guru dan murid kehilangan kebebasan dan potensi.

Berjalannya sekolah-sekolah untuk meningkatnya SDM dalam negeri yang mana kaum pribumi memperoleh kesempatan untuk bersekolah oleh Muhammadiyah, LP Ma'arif Nahdlatul Ulama, Jamiatul Khair, Taman Siswa dan pesantren-pesantren merupakan reaksi terhadap kebijakan sistem yang berjalan pada pemerintah yang sama sekali tidak ada niat 'murni' meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas SDM di Indonesia.

Birokrasi pendidikan masih mewarisi semangat dominasi orde baru jika kita melihat kenyataan pada program-program unggulan kemendikbud saat ini, bahkan pragmatis. Pendidikan nasional belum sepenuhnya kondusif mengingat pendidikan hanya mempunyai satu tujuan dasar universal yaitu membawa manusia menjadi individu yang dewasa. Dewasa disini berarti sanggup berpikir sendiri, menggunakan pikirannya sendiri dan orang lain untuk kemudian menjadi pertimbangan dalam berpikir sendiri, menarik kesimpulan sendiri dan membuat keputusan sendiri untuk melakukan suatu tindakan dari hasil pertimbangan sendiri. Bukan sesuatu yang dipaksakan dari luar, karena itu ia siap menannggung resiko.

Organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah dan LP Ma'arif NU sudah makan asam garam dalam meningkatkan pendidikan karakter, nilai dan moral, bahkan sebelum ada negara Indonesia, saat ini menarik diri dari program peningkatan kualitas guru. Dengan masuknya yayasan korporasi  yang seharusnya membantu pendanaan pendidikan di Indonesia,  justru mengambil keuntungan dari program pemerintah  yang tentunya menimbulkan pertanyaan besar.  Begitu juga lembaga-lembaga yang terindikasi memiliki kedekatan dengan pejabat kementerian. Hal ini sangat janggal setidaknya dari segi etika,  membuktikan bahwa Kemendikbud bertindak feodal dalam program organisasi bergerak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun