Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Menurut UU nomor 6 tahun 1996, Terdapat sebanyak 17.508 pulau yang tersebar di Indonesia dengan keindahan alam yang luar biasa. Salah satu keindahan tersebut ada di ujung timur Indonesia yaitu provinsi Papua. Papua terkenal akan sumber daya mineral logam. seperti tembaga, emas, dan perak. Selain itu, papua juga memiliki keindahan alam yang luar biasa. Namun, kesejahteraan masyarakat Papua belum sebanding dengan kekayaan alam yang dimiliki. Kekayaan alam dan hasil tambang yang melimpah sebagian besar dikelola oleh perusahaan besar, dengan keuntungan sebagian besar mengalir ke luar Papua. Sementara itu, masyarakat setempat hanya mendapatkan sebagian dari hasil alam tersebut. Seiring berjalannya waktu, mengakibatkan tingginya angka kemiskinan di Papua yang mencapai angka 27, 43%.
Salah satu faktor pemicu tingginya angka kemiskinan di papua adalah kurangnya perhatian pemerintah kepada masyarakat Papua. Hal tersebut menyebabkan Papua tertinggal dari provinsi yang lain. Selain itu, kurangnya penyediaan fasilitas pendidikan seperti Gedung sekolah, buku, sarana prasarana, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang menjadikan kualitas hidup mereka menurun. Dapat dilihat bahwa Provinsi Papua menepati posisi paling rendah dari 38 provinsi di Indonesia. Kurangnya perhatian pemerintah kepada masyarakat Papua juga menyebabkan beberapa oknum perusahaan yang dianggap melakukan praktik seenaknya dalam pengambilan lahan di Papua, seperti perusahaan tambang dan perkebunan besar. Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan dan penegasan hukum yang ketat. Penting bagi pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengawasi dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta menjaga keberlanjutan lingkungan dan sumber daya yang ada di Papua.
Pengambilan lahan di Papua secara ilegal kembali marak terjadi pada masyarakat adat akhir-akhir ini. Perusahaan sawit yakni PT Indo Asiana Lestari (IAL) dan PT Sorong Agro Sawitindo. Perusahaan tersebut masing-masing mendapat izin menggunakan lahan masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi Sigin untuk mendirikan usaha kelapa sawit. Perwakilan suku Awyu dari marga Woro yakni Hendrikus Woro, menggugat PT IAL ke PTUN Provinsi Papua mengenai izin kelayakan perkebunan sawit. Akan tetapi gugatan tersebut ditolak oleh Majelis Hakim PTNU provinsi papua dengan alasan bahwa izin perkebunan sawit tersebut sudah sesuai dengan prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Mengenai perizinan Amdal tersebut, pemerintah Provinsi Papua tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemberian izin Amdal. menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 tahun 2021, Masyarakat yang terdampak proyek harus dilibatkan dalam penilaian Amdal. Berbeda dengan aturan UU Cipta kerja (Ciptaker) yang memudahkan dalam pemberian izin pembukaan lahan usaha. Hal ini, yang menjadikan banyak lahan masyarakat rawan dieksploitasi atas nama investasi.
Keresahan tersebut menjadikan suku Awyu dan suku Moi terancam akan kehilangan sumber daya alam dan hutan tempat tinggal mereka. Hutan adat tidak hanya sebagai tempat tinggal mereka, akan tetapi sebagai sumber makanan dan mata pencaharian mereka. Dengan adanya pembukaan lahan kelapa sawit, masyarakat adat terancam kehilangan sumber penghidupannya. Banyaknya Perusahaan yang telah mendapatkan izin untuk mengoprasikan usahanya ini akan menimbulkan dampak yang besar bagi lingkungan. Dampak yang diakibatkan oleh Perusahaan tersebut antara lain rusaknya lahan yang menyebabkan bencana alam, rusaknya ekosistem hutan, dan hilangnya paru-paru dunia. Dari dampak tersebut yang merasakan tidak hanya masyarakat adat saja, tetapi masyarakat Indoneisa bahkan dunia juga merasakan dampaknya.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat adat Papua telah menyebabkan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik di wilayah tersebut. Masyarakat adat Papua sering kali tidak mendapatkan akses yang sama dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain di Indonesia. Perlu adanya upaya nyata dari pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masyarakat adat Papua, dengan melibatkan mereka dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan wilayah mereka. Hal ini memerlukan undang-undang secara khusus untuk menghormati keberadaan dan memenuhi hak-hak masyarakat adat di Indoneisa. Dulu, terdapat RUU yang mengatur tentang masyarakat adat. Akan tetapi, sekitar 14 tahun RUU masyarakat adat tersebut tidak kunjung disahkan. Hal tersebut membuat masyarakat adat mengalami kerugian, yaitu tidak ikut serta dalam keterlibatan dan persetujuan masyarakat adat untuk segala alih fungsi lahan tempat tinggal mereka. Harapan untuk kedepannya, pemerintah daerah Papua maupun pusat segera menindaklanjuti tentang kasus tersebut, sehingga masyarakat adat di Papua lebih sejahtera dan dapat mengembangkan potensi yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H