Mohon tunggu...
yudha saputra
yudha saputra Mohon Tunggu... -

awesome

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mesin Waktu : UN (Ujian Nasional)

20 April 2012   05:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:23 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gonjang-ganjing di media terkait dengan Ujian Nasional atau UN membuat saya tidak sabar untuk bercengkrama dengan blog untuk menuliskan cerita-cerita yang terjadi selama bersekolah. Kok sekarang kayaknya UN yang udah ada dari tahun ketahun jadi dibikin heboh dan menggemaskan. Dulu UN ya gitu aja. Gak ada yang spesial. Sistem dengan nilai standar seperti sekarang saya terima ketika SMA (belum terlalu tua dong ye...) jadi lumayan kena imbas juga.


  • Sekolah Dasar (SD)

UN waktu zaman SD namanya EBTANAS dan tidak ada nilai standar kelulusan, semua dipastikan pasti lulus. Justru yang harus diperjuangkan sekali yaitu NEM (Nilai Ebtanas Murni). Nah nilai ini yang menjadi kunci untuk mendaftar di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Nilai NEM saya dulu tidak terlalu besar. Dari 6 mata pelajaran hanya dapat 36,6 (kalo tidak salah). Jadi rata-rata adalah 6. Berhubung dulu tingkat kesulitan soalnya dapat dikatan susah, maka bisa dipastikan nilai NEM di semua SD saya anjlok semua. NEM tertinggi di SD saya 40. fufufufufu... Tapi beruntungnya passing grade SLTP saat itu juga diturunkan jadilah saya bisa masuk ke SLTP Negeri 3 Bekasi. Persiapan menghadapai EBTANAS tidak ada yang spesial. Belajar layaknya anak SD, seminggu sebelum EBTANAS barulah sibuk mencari buku dan mengerjakan soal. Lalu sehari sebelum pelaksanaan malah ketiduran gara-gara kembung makan keripik sanjay dan minum air.


  • Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

Tidak ada memori yang kuat tentang pelaksanaan UN pada zaman SLTP. Entah mengapa saya lupa semua. Lupa NEM saya berapa, lupa dulu namanya apa, lupa gimana ngerjainnya. Well, zaman SLTP terutama kelas 3 saya bergelut dengan yang namanya jati diri, menjadi penting untuk saat itu memang. Saya ditempatkan di kelas unggulan yang nilai rata-rata raport-nya cukup tinggi se-SLTP Negeri 3 Bekasi.  Masuk ke kelas tersebut saya merasa jadi siswa yang paling dongo, Kenapa? karena dahulu menurut saya, otak saya biasa aja. Tidak ada yang istimewa. Justru yang diingat saat-saat ini adalah ketika ulangan harian matematika dan saya mendapat nilai 2,5. Malu? enggak, kenapa harus malu. Memang saya kurang menyukai pelajaran matematika. Lalu ulangan tersebut diadakan remedial dan saya pun naik derajat nilainya dari 2,5 menjadi 5. (Hooowwwweeeeekkkk). Lalu yang saya ingat lagi ketika teman-teman meng-abuse dengan menghina BEGO, DONGO, dan sebagainya. So, saya lebih baik untuk diam dan tetap berusaha. Lalu ketika NEM keluar, voila... NEM saya cukup untuk masuk salah satu sekolah unggulan di Kota Bekasi, yaitu SMU Negeri 1 Bekasi. Bangga sangat, sementara teman-teman yang dulu meng-abuse dengan umpatan, makian, hinaan, dan kataan say good bye. NEM mereka terlalu kecil untuk masuk sekolah favorit. :p


  • Sekolah Menengah Umum (SMU)

SMU saya mengambil jurusan IPS, yang katanya jurusan buangan. Tapi saya memiliki prinsip untuk tetap mengambil jurusan IPS, bukan untuk menghindari itung-itungan. Toh tetap saja bertemu dengan mata kuliah Akutansi yang berkutat dengan angka, rupiah, dan sistem-sistem lain. Fyuh... Justru saya dulu berpikir kalo memang tidak sesuai dengan hati mengapa harus dijalani. Walaupun orang tua menyuruh mengambil jurusan IPA, namun saya tetap pada pendirian awal. This is what I believe and this is what I'm fighting for.

FYI, Angkatan saya merupakan angkatan terakhir yang menggunakan kurikulum '94. Tetap saja sih ikut standar yang menggunakan nilai kelulusan. Nilai kelulusan yang diterapkan tergolong kecil yaitu, 4,5 untuk tiga mata pelajaran utama kalau tidak salah. Tekanan dan himpitan (duileh bahasanya) zaman SMU belum berakhir sampai UN, masih ada UMPTN yang menjadi kunci masuk untuk ke perguruan tinggi. Jadi untuk UN belajarnya ya seadanya dan seikhlasnya, karena menurut saya yang lebih ditingkatkan kadarnya ya untuk UMPTN.

Selama menempuh semuanya pantang buat saya untuk nyontek, murni mengerjakan sendiri. Kalau SD sih ada kerjasamanya, tapi ketika SLTP dan SMU saya yang memberikan jawaban. Padahal udah dibilang jangan ngikutin kalau salah ntar salah semua.

Kalau sekarang memakai CCTV yang lebih canggih dan tidak kam-seu-upay, ya kalau saya hanya pengawas yang ditempatkan sebagai mata dari pemerintah. Tapi yang aneh waktu SMU entah dari mana salah seorang anak IPA dapat kunci jawaban (catet IPA, bukan IPS) yang tidak tahu menahu dari mana asalnya. Ketika nilai UN keluar, No wonder kalau dia dan teman-teman se-gengnya mendapat nilai 10 sementara siswa yang pintar se-SMU hanya 9,3. Wew...

Semoga belum telat yah tulisan ini turun pada hajatan terbesar di Indonesia. Zaman semakin maju, semakin ketat pula persaingan, yang dipilih juga orang yang bukan hanya pintar tapi juga memiliki sifat dan karakter yang kuat. Selamat menempuh UN buat yang menjalankan, semoga menjadi siswa yang tidak hanya memiliki nilai di kertas tapi juga nilai di masyarakat. Doakan saya juga yah, agar bisa seperti itu. AMIN
Oh iya, berhubung lagi ikut lomba blog tolong dong, kalo ada waktu sempatkan datang kesini *wink-wink* Tumblr blog dan ngasih komen seiklhasnya, ngasih ibu jari juga boleh ke fan page KTO  Facebook Ma'icih~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun