Aku terbangun pagi ini dengan fisik terburuk ku. Aku mencoba untuk mandi demi menghindari pertanyaan keluargaku tentang aku. Kenapa demam ini tidak segera reda walau pun sesaat? Tiba-tiba seseorang yang aku kenali suaranya menghubungiku. Maklum kami pernah hidup bersama. Dia ingin menemuiku. Ah... untuk apa lagi bertemu. Masih ingat rasanya saat Dia tidak mau menemui Pradhabasuku. Entah mengapa aku menyetujuinya untuk bertemu. Aku pun bersiap-siap agar tidak telat bertemu dengannya. Tidak lupa aku membawa sebuah belati yang sering aku bawa jika aku menemuinya. Jujur... Aku sangat ingin membunuhnya. Rasa itu tak pernah surut meskipun waktu telah usang.
Setelah kami bertemu ada rasa yang membuncah. Aku tak kan pernah bisa menatap mata yang paling aku benci di dunia ini. Dia memulai membuka pembicaraan. Aku memahaminya. Aku tahu saat ini di sedang memendam kecewa yang saat mendalam. Dia meneteskan air mata saat di akhir cerita. Tapi, aku malah senyum mengejek. "air mata bukan hanya menggambarkan kesedihan loh! Bisa jadi semua ini hanya perangkap untuk lawan bicaranya." Dia menatapku tajam. Aku pun menatapnya lebih dari yang dia bayangkan. "Kamu berubah. Biasanya kamu selalu ceria menemuiku. Saat ini marahmu menyadarkan aku akan sikapku yang memuakan. Bertahun-tahun akumenyiksamu dengan wanita yang hilir mudik datang dalam kehidupanku, Memaksamu melihat yang seharusnya tidak layak kau lihat. Meskipun tersiksa tapi, kamu tetap bertahan untuk nama baik keluarga dan anak-anak. Sampai pada saat yang menurutku saat ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Membawanya bermalam di rumah kita. Mengajaknya tidur di peraduan kita. Yang aku tahu. Matamu sulit terpejam oleh desahan manjanya. Ri... Maafkan aku. Aku tahu aku hanya memberimu begitu penderitaan yang teramat panjang. Maaf, membuatmu menderita selama hidup bersamaku." dia tertunduk. "Lupakanlah yang telah terjadi di antara kita. Aku sudah lelah dengan kehidupan. Meskipun hidup ini indah. Itu hanya pola dariNya. Jangan menemui aku lagi. Meskipun kamu datang dengan berjuta keindahan. Aku sudah tidak tertarik. Biarkanlah aku pada duniaku saat ini.
Oh ya, aku lupa bahwa jangan memanggilnya dengan REZA. Namanya sudah aku ganti sejak dia lahir. Aku memberinya nama Reifan Maulana Pradhabasu." aku menarik nafasku. "Pradhabasu suamimu yang baru?" dia memburu pertanyaan. "Pradhabasu yang siap membunuh dirimu. Dia amat terluka disaat kamu tidak berkenan menemuinya. Aku tak pernah melarang dia untuk membunuhmu." jawabku ketus. "Sebenci itukah kamu Ri?" dia menyentuh kedua tanganku. "Aku tak pernah sekeji dalam bayanganmu." terasa panas air mataku karena demamku yang tinggi pagi ini. "Kamu bajingan yang pernah aku temui. Kau siksa aku dengan para wanitamu. Di kala aku hamil kau meninggalkanku. Di saat aku akan melahirkan dengan keadaan Pradhabasu posisi melintang dalam rahimku. Kamu hanya berkata "Kalau cecar abi ga mau bayar rumah sakitnya". Binatang aja ga pernah segila itu." Aku coba untuk meredam amarahku pagi ini. Karena kondisiku lebih buruk dari yang aku bayangkan. "Ri, aku ingin bertemu dengannya." katanya dengan tampang terbodohnya. "Jangan ulangi kata-kata itu lagi. Persetan kamu ML di hadapanku. Meski aku tersiksa dan hampir gila karena perbuatanmu yang lalu.
Tapi, Demi Tuhan jangan temui dia." aku berteriak sekuat tenagaku. Orang di sekeliling pun melihat kemarahanku. "Sudah cukup kau beri aku rasa ini. Sampai aku tak pernah bisa lagi bisa membedakan rasa benci dan cinta untuk seseorang. Karena kamu hampir membuat aku gila. Biarlah Pradhabasuku hanya bisa mengenal aku. Aku sudah bilang bahwa kamu sudah mati. Meskipun dia tidak pernah percaya apa yang aku ungkapan." kataku berakhir dengan isakan. "Ri, setega itukah kamusaat ini? dengan pandangan kosong dia menatapku. "Aku yakinkan satu ha. Kamu akan bertemu dengannya pada saat yang tepat. Saat dia akan membunuhmu." aku berlari meninggalkan dirinya. Aku benci hari ini. Benci dengan segala yang terjadi hari ini. Aku hanya berdoa. Agar Pradhabasu tidak menemui ayahnya. Maaf jika harus begini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H