Sudah setahun pembelajaran di masa pandemik dilaksanakan. Saya melakukan evaluasi terkait pembelajaran bahasa Indonesia yang sudah saya lakukan di tempat saya mengajar. Selama Belajar di Rumah (BDR), kenapa ya saya lebih merasa menjadi Customer Service (CS) daripada guru. Setiap hari ada saja siswa yang menghubungi via WhatsApp (WA)  dengan beragam jenis pertanyaan dan permintaan. Bunyinya seperti ini, "Bu minta tugas lagi di grup udah kehapus"; "Bu, minta no WA guru semua mapel ya"; "Bu, boleh ga aku kerjainnya besok saja soalnya aku lagi di Bandung, ga sempet nih"
Ketika ditanya kenapa belum mengerjakan? Jawabannya, "Hehe.. Iya Bu soalnya HP aku tuh rusak, terus Bu aku lagi repot di rumahnya, besok bisa kan Bu? "Nak, dikerjakan ya, ini ibu beri lagi tugasnya" Jawabnya, "Hehehe iya Bu insyaallah kalau sempat ya Bu" Seringkali juga info yang sudah dibagikan di grup dengan jenis huruf yang ditebalkan, masih mereka tanyakan lagi secara individu. Kadang informasi baru saja diberikan. Di bawah informasi tersebut, siswa bertanya lagi hal yang sama "Duh, Maaf sayang, kamu baca informasi di atas tidak?"
 Ya, saya merasa jadi CS ketimbang guru. Tugas saya jadi seperti melayani pelanggan dari mulai membaca chat siswa di WA, memberikan tugas dan layanan untuk pertanyaan mereka secara teknis. Jenis pertanyaan yang mereka berikan bukan terkait permasalahan konten pelajaran tapi teknis pengumpulan, info nomor kontak guru dll. Padahal info tersebut sudah diberikan sejak awal pembelajaran. Bahkan, foto profil grup saya adalah jadwal pelajaran. Eh masih ada siswa yang bertanya,"Bu hari ini pelajaran apa ya?"
Saya sempat berpikir akan menyeting WA saya dengan WA bisnis. Jadi ketika siswa bertanya, secara otomatis saya menjawab begini, "Selamat pagi, Assalamu'alaikum Wr.wb, saya Ema Damayanti wali kelas Anda. Jika anda ingin bertanya tentang tugas Mapel silakan ketik 1, jika Anda ingin tahun nomor WA  guru mapel ketik 2, dan jika Anda ingin mengetahui cara pengumpulan tugas ketik 3. Terimakasih semoga pelayanan kami memuaskan.“ Lengkap sudah saya adalah guru Customer Service.
Sejujurnya, saya sedikit tidak nyaman dengan pekerjaan seperti alih profesi ini. Akan tetapi, saya berpikir ini adalah proses pembelajaran di masa pandemik. Ketika mereka bertanya secara teknis hal diulang-ulang sebenarnya menunjukkan ada motivasi dalam dirinya ingin mengerjakan tugas. Ini jauh lebih baik daripada yang tidak peduli sama sekali. Oleh karena itu, saya layani pertanyaan mereka dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi, pikiran saya kembali noroweco dengan sejumlah pertanyaan -apalagi jika tiba-tiba ada oknum siswa yang mengirim gambar stiker berbau pornografi-"Apakah ini yang dikehendaki tujuan pendidikan?";"Apakah efektif pembelajaran bahasa seperti ini?" Sebenarnya lebih penting mana pemberian tugas tentang materi pelajaran yang tidak mereka pahami, ataukah mengajarkan mereka cara berkomunikasi yang santun?Â
Mengajarkan mereka sabar membaca info sebelum bertanya? Mengajarkan mereka bertanggung jawab? Memberikan motivasi belajar buat mereka? Bukankah sejatinya pembelajaran bahasa itu menghendaki siswa terampil berbahasa dalam kehidupannya, bukan terampil mengerjakan tugas bahasa yang jawabannya bisa mencari dari Google.Â
Jadinya, terbersitlah dalam pikiran. Di masa pandemik ini  saya simpan saja sejenak materi pembelajaran bahasa sesuai kurikulum yang memang masih terasa "level tinggi" bagi siswa saya. Saya buatkan saja tugas sederhana seperti, "Coba kalian tuliskan kalimat pembuka yang efektif dan santun ketika bertanya materi pembelajaran terhadap guru di WA?"; "Coba kalian tuliskan apa saja etika bertanya dan menjawab pertanyaan di grup WA?"; "Jika ada kasus di grup WA, seorang siswa menyampaikan sebuah kalimat atau gambar berisi bla..bla..Â
Apakah pendapat kalian tentang itu? Adakah kesalahan yang dilakukannya?"; Coba pilih di bawah ini, manakah kalimat yang santun dan logis untuk disampaikan kepada orang lain di medsos?" ;"Ada sebuah artikel mengungkapkan bahwa berdasarkan Survei Digital Civility Index (DCI) 2020 dari Microsoft, netizen Indonesia disebutkan sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Kesopanan netizen Indonesia bahkan jadi salah satu yang terburuk dari 32 negara dalam survei tersebut. Bagaimana pendapat kalian tentang itu? Berikan pendapat kalian tentang bagaimana cara berbahasa di medsos?"
Bolehkah pembelajaran bahasa saya rombak seperti itu? Kalau boleh, dengan senang hati saya lanjutkan menjadi guru Customer Service di masa pandemik dengan melayani sepenuh hati apa pun yang ingin siswa pahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H