Mohon tunggu...
Em Syuhada'
Em Syuhada' Mohon Tunggu... -

Saya Mungkin Bukan Manusia. Tapi sekuat tenaga sedang berjuang dan belajar untuk MENJADI MANUSIA...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Sunan Kalijaga Untuk Indonesia Baru

5 Mei 2011   11:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh. Em. Syuhada' *)

“SAAT ini, diperlukan tak hanya Sunan Kalijaga, tapi Sunan Kalijaga plus untuk memperbaiki Republik Indonesia. Hal ini terkait dengan kondisi Indonesia yang semakin hari tidak semakin baik, bahkan semakin berada pada ambang kehancuran. Gak diapak-apakno, Indonesia iku bakal hancur dewe. Sama seperti keadaan Majapahit zaman dahulu.” Demikian ditegaskan oleh Cak Nun pada padhang mbulan lalu (23/09). “Sama sekali tidak benar jika hancurnya Majapahit karena diserbu oleh Demak. Sebab, tanpa diserbu sekalipun, Majapahit akan hancur dengan sendirinya. Kehancuran Majapahit lebih disebabkan oleh kondisinya sebagai Negara Kesatuan yang sebenarnya pesisir, tapi pusat ibukotanya berada di pedalaman dengan basis ekonominya pertanian. Sedangkan waktu itu sedang terjadi keretakan lempengan bumi dan semburan lumpur di daerah Canggu sekitar 1450-an,” Cak Nun menambahkan. Atas dasar itulah, Sunan Ampel akhirnya mengutus kepada Sunan Kalijaga untuk membantu Majapahit yang berada di ambang kehancuran. Majapahit sendiri bersedia menerima karena Sunan Kalijaga membantu Majapahit di akhir-akhir kekuasaannya dari serbuan Kerajaan Kediri yang diperintah Prabu Girindrawardana. Oleh Sunan Kalijaga, Majapahit diajak melakukan transformasi dari Negara Kesatuan Mojopahit berbasis pertanian menuju Negara Demak Federal di Daerah Glagah Wangi yang merupakan Negara Federasi berbasis ekonomi internasional maritim perdagangan. Putra-putra Prabu Brawijaya pun diserahi kekuasaan sendiri yang disebut dengan Tanah Perdikan dengan gelar Ki Gede atau Ki Ageng. Mulai dari Ki Ageng Mangir, Ki Gede Menoreh, dan lain-lain. Kekuasan yang diberikan kepada putra-putra Brawijaya meliputi NTB hingga Denpasar, Madura, Pamekasan, Sumenep, Makasar, Borneo, sampai Palembang. Semuanya memang putra Brawijaya yang berjumlah 147 orang. Dari Betoro Katong Ponorogo, Syech Bela Belu Parangtritis, Ki Ageng Mangir Yogja Selatan, Handayaningrat, Prabu Denpasar, dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan transformasi dari Majapahit sebagai hasil reformasi yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Ketika disuruh oleh Sunan Ampel agar mengatasi masalah yang ada di Majapahit, Sunan Kalijaga berpendapat, bahwa Majapahit tidak akan bisa menerima kehancuran jika tidak mengenal nilai-nilai islam. Sebab, hanya orang-orang yang mengenal nilai-nilai tasawuf islamlah yang akan terhindar dari kehancuran. Didalam tasawuf tidak ada kehancuran, apalagi hanya sekedar penderitaan. Maka, jalan satu-satunya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah “mengislamkan” Majapahit agar memiliki sikap hidup dan pandangan yang berbeda. Yang pertama kali didakwai agar mengenal islam adalah TNInya Majapahit, yaitu Empu Supo dan anaknya Supo Anom, lantas DPR/MPRnya, baru kemudian keluarga istana dan anak-anaknya, meskipun pada tahap ini ada beberapa orang yang tidak bersedia masuk islam, yang kemudian pergi ke daerah selatan. Intinya, sebagai konsekuensi dari dakwahnya Sunan Kalijaga adalah terbentuknya tiga golongan dengan sikap dan paradigma yang berbeda. Golongan pertama adalah golongan santri yang berjumlah sekitar 3000 orang. Oleh Sunan Kalijaga, golongan pertama ini diantarkan pergi ke daerah utara mulai Mojoagung hingga Demak dengan dikawal oleh Sunan Kudus. Sementara golongan kedua adalah Golongan Tengah, yaitu keluarga istana dan para kerabatnya. Berbeda dengan golongan pertama, untuk golongan tengah ini adalah islam abangan yang bersedia masuk islam tapi tidak mau berpakaian islam karena pertimbangan budaya. Bersedia naik haji tapi juga korupsi. Selingkuh, tapi kalau mati juga ditahlili, dan lain sebagainya. Golongan tengah ini dipimpin sendiri oleh Sunan Kalijaga dibawa ke Ngawi, yang kemudian disebut Mukswa. Setelah beres dua golongan itu, Sunan Kalijaga kemudian tidak lantas membiarkan golongan ketiga yang pergi ke selatan karena tidak bersedia masuk islam, yang didalamnya juga terdapat adik dan anak-anak Prabu Brawijaya V. Golongan ketiga inilah yang disebut Sabdopalon Noyogenggong yang berjanji 500 tahun lagi akan kembali, meskipun hingga saat ini tidak ada kejadian apa-apa, pergi ke daerah Denpasar hingga Purwakarta. Oleh Sunan Kalijaga, Golongan ketiga ini didatangi satu persatu dalam waktu yang cukup lama, meskipun pada tahap itu tidak semuanya berhasil. Sedemikian berat dan berliku tugas yang diemban oleh Sunan Kalijaga itupun gagal. Gagal dalam arti, bahwa Demak yang semula digadang-gadang bisa merepresentasikan dirinya sebagai kerajaan pesisir dibawah sinar islam dengan bimbingan wali sanga ternyata tidak berumur panjang karena perebutan kekuasaan dan pertarungan intern diantara umat islam sendiri. Dari Sunan Prawoto, Ratu Kalinyamat, Arya Penangsang, Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya, dan lain sebagainya. Arya Penangsang itu muridnya Sunan Kudus, sedangkan Mas Karebet muridnya Sunan Kalijaga. Karena hal tersebut, Demak yang merupakan kerajaan pesisir bergeser ke pedalaman lagi menuju Pajang, hingga Mataram. Ketika berada di Mataram, Sunan Kalijaga sudah sangat tua, sehingga yang merupakan murid Sunan Kalijaga langsung adalah bapaknya Sutowijoyo, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan temannya yang strategi perang, yaitu Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani. Sedangkan Raja Mataram yang pertama, yaitu Panembahan Senopati bukan murid Sunan Kalijaga langsung, meskipun berada pada aliran yang sama. Alhasil, disitulah lahir Republik Indonesia. Yaitu situasi dimana terjadi kegagalan menangani konflik sehingga Demak bergeser ke tengah lagi di daerah Kertasura (Pajang), bergeser lebih ke selatan ke Yogjakarta, yaitu di Kota Gede. Maka bisa dimengerti kalau kemudian konsep tentang walisongo mulai ditinggalkan digantikan Nyai Roro Kidul. Bahkan, sampai hari ini, Presiden Indonesia pun tetap memakai konsep yang sama. Yaitu tetap ke wali, meskipun pada saat yang sama juga ke penguasa Pantai Selatan. Sejak Panembahan Senopati inilah, Islam abangan mendapat legitimasi secara peradaban jawa. Tak ada jalan lain, hari-hari ini diperlukan Sunan Kalijaga lagi untuk membawa Indonesia yang kesatuan menuju Demak yang federal berbasis maritim perdagangan. Sampai 2014 keatas harus benar-benar ada peran seperti Sunan Kalijaga, bahkan lebih, yaitu Sunan Kalijaga plus yang tidak anti Nyai Roro Kidul, yang akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Lantas, sebuah pertanyaan yang patut untuk untuk menjadi perenungan bersama. Siapa dan dimanakah Sunan Kalijaga itu sekarang berada?(*) *) Disarikan dari pengajian rutin Padhangmbulan (23/09) Menturo Jombang Jawa Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun