Mohon tunggu...
Eliza Bhakti
Eliza Bhakti Mohon Tunggu... Insinyur - Environmental Enthusiast

Government Officer | Environmental Enthusiast | Writer in progress |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Satu Dasawarsa Transformasi Kereta Rel Listrik Indonesia

4 September 2023   09:34 Diperbarui: 4 September 2023   09:41 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unsplash/ Andika Febrian 

Saya mendekap tas erat-erat, duduk berhimpitan di gerbong kereta listrik yang tak memiliki pintu. Angin yang masuk membawa beragam aroma -bau keringat bercampur dengan bau ikan dan sayur mayur dari pasar- terasa menyesakkan. Dari gerbong sebelah terdengar pekik merana dari lagu dangdut yang beriringan dengan suara parau bernada fals dari pengamen tuna netra yang semakin membuat suasana tak karuan.

Tak berapa lama saya dibuat kaget dan kaki saya harus berjinjit, seorang anak menyapu sampah dari gerbong sebelah dengan sapu lidi, ngesot sembari menengadahkan tangan meminta uang. Saya hanya bisa menarik nafas panjang, terpaksa saya naik kereta ekonomi yang penuh sesak menuju Depok ini untuk mengejar jadwal kuliah pagi. Kepala saya celingukan melihat ke jendela, memastikan stasiun Universitas Indonesia tidak terlewat. 

Di stasiun Universitas Indonesia saya bertemu seorang teman yang berjalan lunglai. Lambaian tangan saya hanya dibalas senyum kecut, “HPku kecopetan di Tanah Abang, mbak”. Pria yang berdomisili di Serpong itu menjelaskan.  Sembari berjalan, teman sekelas kami yang lain datang menghampiri “Wah, parah di Cilebut ada orang jatuh dari atas gerbong tadi. Haduh, penumpang model begitu udah kagak bayar bikin gangguan wesel aja,” ia menyeka keringatnya.Begitulah sepenggal kisah hari-hari saya sebagai anker (anak kereta) di tahun 2012 hingga 2015. 

Pada era itu, naik kereta ekonomi menjadi momok menakutkan bagi saya. Bayangkan saja, puluhan orang berdesakan di atas kereta yang sudah jelas-jelas dialiri listrik. Di dalam gerbong pun sangat tak nyaman, pengamen, pengemis dan pedagang memenuhi gerbong. Belum lagi penumpang yang duduk di lantai dengan barang-barang penumpang yang memenuhi gerbong. Cerita-cerita kecopetan, ketiduran bahkan pelecehan seksual kerap menghiasi obrolan bagi sesama rombongan kereta (roker).

Area stasiun pun tak kalah semrawut, sebelas dua belas dengan kondisi di dalam gerbong. Bagi mahasiswa, pedagang di sekitar rel ini menjadi idola karena harganya yang terjangkau dompet. Area belakang stasiun UI atau kerap disebut Barel, menjadi salah satu tempat favorit saya untuk membeli majalah dan buku bekas. Kala memilih buku tak jarang pembeli dikejutkan oleh suara klakson kereta yang kencang. Tak jarang barang-barang pelapak memenuhi jalan pedestrian dengan tumpukan sampah yang berserakan.

Transformasi KAI Commuter 

Hampir satu dasawarsa kemudian, KAI Commuter menjadi salah satu perusahaan plat merah yang mampu bertransformasi bak upik abu menjadi Cinderella. Kini, moda transportasi KRL (Kereta Rel Listrik) menjadi opsi yang mudah, cepat dan aman. Adanya stasiun KRL terintegrasi Trans Jakarta menjadikan akses pindah moda transportasi menjadi mudah. KRL yang dulunya sering mengalami gangguan wesel kini menjadi opsi transportasi yang cepat sampai.

Taktik transformasi bisnis KAI Commuter ini memiliki benang merah untuk menutup kebocoran dari beragam celah serta optimalisasi pendapatan. Penutupan celah kebocoran dilakukan dengan beragam cara, pertama yaitu menutup celah bagi penumpang gelap. Pengguna layanan KAI Commuter harus membayar tiket sesuai dengan tarif yang ditentukan. Pada awalnya penumpang yang tak memiliki tiket akan dikenakan denda suplisi, dan beberapa tahun terakhir tiket elektronik penumpang harus terisi dengan saldo minimal untuk dapat bertransaksi. 

Cara kedua yang dilakukan yaitu melakukan penertiban kios pedagang dan menutup akses pintu yang tidak resmi. Masih teringat di tahun 2013 para pedagang stasiun UI yang melakukan aksi demo penolakan penggusuran kios-kios mereka. Saya pun sempat kehilangan jejak kios penjual donat langganan di depan stasiun UI. Ternyata dengan menutup akses pintu tak resmi secara signifikan dapat memberikan kenyamanan bagi pengguna KRL.

Manajemen perubahan dilakukan pula untuk optimalisasi pendapatan, langkah pertama yang dilakukan yaitu melalui optimalisasi aset. Optimalisasi aset ini dilakukan dengan menyewakan tempat kepada tenant atau kios di stasiun. Kedua, melakukan pembiayaan kreatif salah satunya melalui exclusive naming rights atau hak penamaan stasiun. Ke depan harapannya KAI commuter dapat terus mengembangkan lini usaha non tarif sebagai sumber cuan, yang bisa dipakai untuk subsidi tarif.

Perubahan masif yang menyeluruh nyatanya berbuah manis. Banyak orang yang beralih ke moda transportasi KAI commuter. Selebritas ternama Adrian Maulana misalnya, kerap membuat konten menarik saat berangkat dan pulang kantor dengan KRL. Aktor yang beralih peran menjadi anggota DPR Primus Yustisio pun menggunakan KRL saat mengunjungi wilayah dapilnya. Tentunya hal ini menjadi hal menggembirakan yang menunjukkan KRL kini menjadi moda transportasi yang aman dan nyaman. 

Kini naik KRL menjadi opsi efektif untuk berangkat ke kantor menghindari kebijakan genap ganjil yang diterapkan di jalan-jalan protokol Jakarta. Meski demikian, harapannya KAI commuter tak lekas berpuas diri dan terus meningkatkan pelayanannya. Antara lain meningkatkan kenyamanan penumpang, ketepatan waktu, serta menjaga keamanan penumpang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun