Hajatan besar KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo baru saja usai. Hal yang paling ikonik adalah saat para pemimpin negara ASEAN menikmati senja di kapal pinisi putih. Diplomasi sunset tersebut menghasilkan 3 poin kebijakan. Pertama terkait perlindungan terhadap buruh migran dan pelarangan perdagangan manusia. Kedua, langkah tegas ASEAN mengecam pencederaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Myanmar. Terakhir adalah penguatan sektor ekonomi berupa pembangunan ekosistem mobil listrik, perkuatan implementasi mata uang lokal serta konektivitas pembayaran digital antar negara.
Kawasan ASEAN tak lagi bisa dipandang sebelah mata, Â Produk Domestik Bruto (PDB) secara kolektif menunjukkan pertumbuhan sebesar 3% sebelum masa pandemi. Hal ini diperkuat dengan data International Monetary Fund (IMF), dimana kawasan ASEAN memiliki pertumbuhan terbesar ke-5 dunia yakni 4-5% per tahun, melampaui rata-rata global sebesar 2-3%. Bank Indonesia bahkan memproyeksi pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) sebesar 5,6% pada 2024.
Optimisme pertumbuhan ekonomi kawasan ASEAN yang kuat, inklusif dan berkelanjutan nyatanya menemui beragam tantangan. Aral yang menghadang antara lain dampak rambatan (spillover) dari ekonomi dunia, suku bunga dan angka inflasi yang tinggi serta ketidakpastian keuangan global.
Meski demikian, ASEAN memiliki potensi besar dalam pertumbuhan ekonomi, utamanya di sektor ekonomi digital. Pada tahun 2030 ekonomi digital ASEAN diproyeksikan mencapai 2 triliun dolar Amerika Serikat. Faktor penguat pertumbuhan ekonomi digital adalah populasi Asia Tenggara yang besar dimana sepertiganya merupakan generasi muda, yang dekat dengan perkembangan digital.
 Masyarakat Indonesia misalnya, sudah mulai beralih menggunakan pembayaran digital untuk transaksi hingga di gerai-gerai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Hal ini ditunjukkan dengan menjamurnya penyedia jasa yang menyediakan fasilitas Quick Response Code Indonesian Standar (QRIS), pengguna layanan QRIS hingga Mei 2023 tercatat sudah mencapai 32 juta orang. Bandingkan dengan masyarakat Jepang atau Jerman yang masih belum sepenuhnya mau beralih dari pembayaran tunai dalam transaksi sehari-hari.
Sebagai upaya untuk menegaskan kembali kawasan Asia Tenggara sebagai sebagai episentrum pertumbuhan ekonomi, konektivitas pembayaran digital antar negara menjadi prioritas para pemimpin ASEAN. Pembayaran digital menjadi game changer bagi perekonomian. ASEAN bahkan berpotensi menjadi pionir dalam hal integrasi sistem pembayaran multilateral.
Upaya integrasi pembayaran digital dibayang-bayangi beragam kendala. Pertama, terkait  keamanan siber. Riskannya kejahatan siber perlu dimitigasi dengan seksama untuk perkuatan keamanan digital secara berlapis. Kedua, terkait aspek regulasi dan kebijakan. Pengaturan dan pengawasan sistem pembayaran digital perlu diberi payung hukum dan legalitas yang sah. Kerja sama multilateral perlu diperkuat untuk memberikan transparansi dalam pengawasan lintas negara.Â
Ketiga, kesiapan masyarakat dan UMKM. Tak dipungkiri kesuksesan dari integrasi pembayaran adalah pengguna layanan atau masyarakat. Generasi yang lebih muda lebih mudah mengadaptasi pembayaran digital, namun perlu dibarengi dengan peningkatan literasi ekonomi digital terutama dalam perlindungan keamanan siber. Literasi ekonomi digital juga perlu dilakukan kepada UMKM dan penyedia infrastruktur digital. Terakhir, transformasi pembayaran digital tak bisa dilepaskan dari unicorn digital di Asia tenggara serta pertumbuhan kewirausahaan. Perkuatan pembayaran digital harus dibarengi dengan ekosistem keuangan yang sehat.
Menjawab tantangan tersebut, diperlukan upaya holistik dalam transformasi pembayaran digital ASEAN meliputi 3 komponen yakni connectivity (konektivitas), governance (tata kelola) dan campaign (kampanye). Konektivitas pembayaran perlu diintegrasikan melalui beragam kanal yaitu QR Code, fast payment, Real Time Gross Statement (RTGS) hingga Local Currency Settlement (LCS). Integrasi ini memerlukan komitmen kuat dari bank sentral di ASEAN, oleh karenanya perkuatan bank sentral menjadi upaya krusial. Komponen kedua adalah perkuatan tata kelola yang baik sebagai wujud profesionalisme pemerintah dan stakeholder terkait.Â
Komponen ketiga yang tak kalah penting yakni kampanye penggunaan transaksi lintas negara untuk transaksi sehari-hari, remitansi atau transfer uang pekerja migran ke negara asalnya, pariwisata hingga transaksi ritel. Sektor swasta juga perlu terlibat dalam hal kemitraan untuk membangun infrastruktur pembayaran regional.