Mohon tunggu...
Elza Taher
Elza Taher Mohon Tunggu... Editor - GM

Penulis buku, editor, aktif di twitter dan facebook.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Djohan Effendi; Pembaru Islam, Manusia yang Rendah Hati, Cendekiawan yang Berbudi

10 Oktober 2013   05:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:45 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebanyakan pembaca buku ini (Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 tahun Menyambut Djohan Effendi, 2009, ICRP dan KOMPAS, Editor Elza Peldi Taher) boleh jadi sudah akrab dengan kehidupan dan pekerjaan Djohan. Namun bagi mereka yang tidak mengenalnya secara pribadi atau belum berkesempatan mengenal tulisan-tulisannya, buku ini sangat berharga dan membantu. Sebenarnyalah buku ini memberikan manfaat yang berharga kepada kita semua karena Djohan, meskipun merupakan salah seorang cendekiawan Islam Indonesia yang sangat menonjol dari angkatannya, namunia juga salah seorang yang paling kurang dikenal. Djohan memangfigur yang benar-benar tidak banyakdikenal. Pribadi yang sangat rendah hati dan agak sukar diterka serta penampilannya yang sama sekali tidak menonjolkan diri bertolak belakang dengan kenyataan bahwa Djohan cukup dipandang di kalangan elit politik Indonesia dan di seantero masyarakat sipil.

Buku ini dengan jelas memperlihatkan penghargaan dan kecintaan yang luas dan dalam yang dirasakan oleh banyak orang di Indonesia, bahkan lebih dari itu,terhadap Djohan. Akan tetapi, pada saat yang sama Djohan tidak seterkenal sebagaimana seharusnya, sebagian, karena ia adalah tipe cendekiawan publik yang agak langka: meskipun berpengaruh luas dan terus menerus aktif selama beberapa dasawarsa, ia adalah pribadi yang rendah hati, tidak mau menonjolkan diri. Menggambarkan dirinya sebagai orang yang tertutup atau sangat pemalutidaklah adil karena ia bergaul dengan banyak lapisan masyarakat, terutama di kalangan orang-orang yang lebih muda, dan berupaya untuk melakukan hubungan dengan mereka yang ia bisa berbagi. Memang tidak dapat dipungkiri, ia adalah seorang yang dapat digambarkan sebagai tipepribadi yang sangat pendiam. Ia banyak membaca dan tekun mendengarkan, tapi jarang berbicara. Bahkan ketikasedang berhadapan secara personal orang-perorang sebagaimana dibuktikan oleh banyak teman-temannya dalam buku ini. Ia harus ditarik keluar untuk membicarakan sesuatu masalah sebelum orang dapat mengetahui pendapatnya. Tergantung pada kawan-kawannya apakah mereka akan berusaha menariknya keluar, karena ia tidak akan mudah mengemukakan pikirannya tanpa diminta. Lagi pula, ia memang bukan seorang pembicara publik. Jelas jauh lebih enak baginya untuk berbicara berhadapan muka secara pribadi orang-perorang tinimbang ia berpidato di hadapan khalayakluas.

Dan sekalipun demikian, pidato-pidato yang ditulis Djohan didengar oleh puluhan juta orang pada satu saat ketika pidato-pidato tersebut disiarkan melalui jaringan televisi dan radio nasional. Sebagai salah satu dari dua penulis utama selama tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an Djohan menulis ratusan pidato untuk Presiden. Beberapa dari pidato-pidato tersebut tidak pernah disampaikan karena Presiden tidak setuju dengan isinya. Ini merupakan maksud Djohan yang disengaja, karena ia lebih ingin menulis sejujurnya dan mengikuti hati nuraninya. Ia memilih untuk berbicara secara konsisten daripada menulis secara konstan dengan melakukan penyensoran sendiri. Meskipun penampilannya yang malu-malu memberikan sedikit petunjuk atas keteguhan hati dan keberaniannya, tokh ia memilih untuk menulis pemikiran yang dapat mencerahkan dan memberikan informasi kepada Presiden walaupunpada saatitu gagasan-gagasan tersebut tidak akan disetujui. Tulisan Djohan sangat banyak dipakai oleh Suharto karena keterampilannya yang menonjol dalam menyusun kata-kata untuk pidato, walaupun ia sendiri enggan berbicara dimuka umum. Orangdapat membayangkan bahwa Presiden juga tertarik atas kejujuran intelektualnya, mengakui bahwa kalimat-kalimat dan gagasan-gagasannya yang disusun untuknya sangat berisi dan bermutu. Karena menulis pidato secara teratur, ia tahu yang Presiden tidak akan menyetujuinya dan tidak akan menyampaikannya kepada umum, Djohan menikmati keberhasilan besar dalam menyalurkan kata-kata melalui mulut Presiden, yang Suharto sendiri belum tentu pernah berpikir untuk mengucapkannya. Dengan cara ini Djohan tidak hanya mengungkapkan”pikiran-pikirannya” kepadaPresiden yang terkenal pendiam, tetapi juga secara efektif membentuk posisi kebijakan dari pemerintahannya. Ada sejumlah contoh yang diberikan dalam buku ini tentang bagaimana kata-kata Djohan terekam dalam sebuah pendekatan kebijakan tertentu yang administrasi kemudian akan mengikutinya. Ini terutama terlihat dalam hal-hal yang berkenaan dengan masalah agama dalam kehidupan publik, serta toleransi dan saling menghormati antara kelompok masyarakat.

Andaikanhanya ini yang merupakan sumbangan Djohan sebagai cendekiawan publik ia tokh masih masuk peringkat sebagai salah satu dari penulis yang lebih berpengaruh dan menonjol di zamannya. Bagaimanapun juga, sangat sedikit yang dapat mengetahui apa yang dipikirkan Suharto tentangmasalah-masalah tertentu dan jauh lebih sedikit lagi mereka yang bisa menemukan kata-kata untuk mengungkapkan pikiran-pikirannya. Djohan adalah seorang yang berada dalam posisi yang menonjol untuk membentuk kebijakan pemerintah selama jangka waktu pertengahan rezim Suharto, sebuah zaman ketika masyarakat yang berbeda pendapat, terutama dalam hal-hal yang bersifat keagamaan, menjadi sasaran pengawasanketat, dan masyarakat sipil tidak menikmati kebebasan untuk secara terbuka memperdebatkan hal-hal yang peka berkenaan dengan keyakinan agama, suku dan identitas sosial seperti yang berlaku sekarang. Akan tetapi hal ini hanya merupakan sebagian dari kehidupan Djohan sebagai cendekiawan publik. Bagian yang sangat penting lainnya dari kehidupannya terletak pada sumbanganbesar yang dilakukannya pada kehidupan orang lain, umumnya orang-orang muda dan biasanya atas dasar hubungan personal orang-perorang. Para pengeritik dapat memotret hal ini dalam arti bahwa melihat Djohan melontarkan gagasan seperti tokoh Forrest Gump –- yang muncul pada saat-saat kehidupan bangsa dalam kondisi kritis akan tetapi keberadaan pelaku utamanyalebih merupakan kebetulan. Anggapan ini cenderung meremehkan peranannya. Meski sifatnya yang sederhana Djohan sangat mengetahui apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana cukupdibuktikan oleh kemampuannya yang konsisten untuk memilih kata-kata, sering kali dengan kata-kata yang sangat mengenauntuk diucapkan oleh mulut seorang presiden. Tetapi ini bukan titik dimana ia berhenti, karena meskipun keberadaannya umumnya kurang dianggap penting, Djohan secara diam-diam melakukan sebuah peranan pemicu dalam memberikan inspirasi yang mendorong dan mengarahkan pikiran-pikiran anak muda. Lagi pula, ia melakukan hal ini tidak hanya dalam satu lingkungan komunitas tetapi melintasi berbagai kelompok masyarakat yang beragam. Sebagai seorang cendekiawan Islam yang progresif ia secara alami membantu membentuk beberapa generasi para pemikir progresif yang mengikutinya, bahkan ia juga memainkan peranan dalam menggiatkan dan mengembangkan dialog antar agama di Indonesia. Sebuah pengamatanselintasatas daftar isi buku ini mengungkapkan keluasan jangkauan pengaruhnya.

Sebuah tema yang lazim berlaku melalui semua kontribusi kepada buku ini ialah rasa cinta dan hormat terhadap Djohan yang dibarengi oleh kesadaran bahwa tak seorangpun dari kita mengenalnya dengan lengkap dan utuh. Sementara banyak tulisan mengungkapkan tema-tema yang menjadi perhatian Djohan yang mendalam, sekelompok kecil terlibat langsung dengan pengenangan kembali dan perenungan tentang pengenalan diri dan pikirannya. Barangkali yang paling berharga dari ini ialah apa yang ditulis oleh Djohan sendiri yang menggambarkan perjalanan dari seorang anak muda konservatif alami yang sungguh-sungguhterus menjadi seorang pemikir progresif yang orisinal dan tekunyang secara konsisten mempromosikan pluralisme dan toleransi. Saya tidak bisa mengaku mengenal Djohan sebaikbanyak kontributor buku ini, tetapi saya bisa berbagi dengan mereka dalam perasaan banggabahwa saya telah mengenalnyacukupakrab dan telah menulis tentang dia, walaupun tidak lengkap, tentang dunianya dan tentang pikirannya. Tulisan ini akan mencoba memahami Djohan sebagai seorang cendekiawan publik, pemikir Islam dan sebagai seorang aktifis masyarakat sipil. Hal ini tidak akan dan memang tidak mungkindimaksudkan menjadi kajian yang komprehensif tetapi mudah-mudahan bisa memperkenalkan beberapa hal yang bermanfaat bagi mereka yang ingin memahami sebuah adegan. Tulisan ini mencoba dan memahami sumbangan Djohan terhadap perkembangan pemikiran Islam yang progresif di Indonesia. Ini merupakan topik yang penting, barangkali lebih penting dibandingapa yang disadari oleh banyak orang di Indonesia. Di Indonesia, kehadiran unsur yang penting dari para cendekiawan Islam yang progresif agaknya dapat diterima sebagai keniscayaan. Mereka yang telah belajar, bermukim atau bekerja di negeri-negeri Arab akan menyadari bahwa unsur ini sangat berbeda dengan apa ditemukan di kebanyakan masyarakat Arab. Sebab, bukan hanya karena Indonesia merupakan negeri Muslim terbesar, hal ini juga diperdebatkan diantara negeri yang paling maju, ketika tiba pada pemikiran Islam yang baru dan pembicaraan tentang peranan agama di masyarakat majemuk dan moderen.

Terdapat banyak hal yang dapat dikatakan tentang Djohan, yang lebih banyak dari siapapun dari kita yang mengetahui dan dapat mengemukakan, dan tentu lebih banyak dari jumlah semua bab dalam buku ini. Jadi, mencoba membuat potret Djohan yang komprehensif dalam bentuk apapun adalah sebuah pekerjaan yang tidak mungkin. Walau begitu, saya akan melanjutkan sketsa kasar pada tujuh hal penting. Ketujuh hal penting ini menggugah saya untuk menjadikannya sebagai inti dari karakternya dan ciri dari kehidupan profesionalnya, tetapi tentu saja hal itu bukan merupakan cerita seutuhnya.

Hal pertama untuk dikatakan tentang Djohan adalah bahwa ia digerakkan oleh spiritualitas dan kesalehan Islam yang dalam. Hal ini bisa muncul mula-mula sebagai basa-basi kosong yang tidak perlu. Bagaimanapun, hal ini berkenaan dengan apa yang dikatakan dengan sopan dan di depan publik tentang banyak orang, terutama yang lapangan kerjanya tidak terkait dengan identitas keberagamaan mereka. Dan barangkali untuk sebagian besar orang, pernyataan seperti itu sedikit banyak ada benarnya. Pengaruh spiritualitas dan keinginan akan kesalehan dapat ditemukan dalam kehidupan sebagian besar umat beragama. Tetapi bukan ini yang dimaksudkan di sini. Djohan adalah salah seorang di antara pribadi-pribadi langka dimana spiritualitas yang mendalam hadir secara nyata dan konsisten. Bagi banyak orang, spiritualitas hanya merupakan salah satu dari banyak unsur yang membimbing kepribadian dan mempengaruhi pilihan-pilihan mereka. Namun kemudian, hal itu jarang bersifat konsisten ke depan, ia mengalami pasang surut, seakan-akan harus berjuang menghadapi kekuatan dan tekanan lain. Akan tetapi pada Djohan, ada perasaan bahwa ia digerakkan secara konstan dan kuat oleh spiritualitas yang mendalam. Faktanya secara umum Djohan adalah pendiam hingga sampai pada kesan pemalu, bahkan ketika berbicara ia jarang tampil menonjolkan dirinya atau dengan berbagai cara berusaha mendominasi suatu percakapan. Namun ini bukanlahhal utama, pada dirinya, yang berbicara tentang spiritualitasnya. Malahan, salah satu indikator yang paling kuat dari kehidupan dalam dirinya adalah fakta bahwa meskipun kelihatan pemalu dan kurang peduli, ia merupakan salah satu dari cendekiawan publik yang secara moral paling berani dan bernyali dari generasinya. Hal itu karena ia bekerja atas dasar keyakinan yang mendalam dan tidak tergoyahkan dan bersedia digerakkan olehnya tanpa menghiraukanakibatnya, daripadamenampakkan kepribadian atau gaya pribadi yang beda sehingga dia dapat dikatakan seolah-olah bersifat spiritual secara mendalam. Ada sejumlah aspek lainnya yang berkaitan dengankarakter Djohan yang berbicara tentang spiritualitas yang dalam dan hal ini menegaskan kehadirannya, dan aspek-aspek ini akan dirinci secara satu demi satu.

Tetapi sebelum masuk kedalam rincian ini, adalah penting untuk berbicara tentang sifat kesalehan Islam Djohan. Tidak diragukan lagi, banyak orang membuktikan spiritualitas yang mendalam tanpa menyesuaikan diri pada atau bergabung dengan bentuk tertentu dari agama yang mapan. Tetapi tidak demikian halnya dengan Djohan. Adalah penting untuk dijelaskan bahwa di samping apa yang dikatakan banyak para pengkritiknya, keyakinan agama dan spiritualitasnya yang progresif dan terbuka digerakkan dan diarahkan oleh keyakinan dan praktek Islam ortodoks. Karena keberanian dan komitmennya yang kuat pada dialog dan capaiannya melintas batas-batas komunitas, sering dikatakan tentang Djohan atau paling kurang bermakna bahwa ia adalah seorang Muslim ‘liberal’ yang secara longgar terikat pada tradisi sejarah dan dan doktrin-doktrin dari keyakinannya. Untuk memberikan sekedar satu contoh saja, sebagian orang menduga bahwa ia secara diam-diam mengikuti Ahmadiyah daripada praktek Islam ortodoks. Mereka tampaknya tiba pada posisi yang sebagian didasarkan atas minatnya kesarjanaannya terhadap Ahmadiyah dan kesediaannya untuk berbicara lantang membela kesejahteraan minoritas masayarakat Ahmadiyah di Indonesia, bersama dengan kritiknya berkaitan dengan tokoh-tokoh ortodoks garis keras yang merasa berbuat baik dengan menyerang Ahmadiyah. Akan tetapi, ketika seseorang mengkaji tulisannya, mengamati kehidupannya dan berkesempatan mengenalnya, toleransi dan keterbukaan pemikiran Djohan belum sampai pada pengorbanan keyakinan ortodoks yang konvensional. Pada kenyataannya, ia akan menyanggah bahwa mereka didukung oleh inti ajaran-ajaran Islam.

Ada aspek-aspek penting tentang tulisan dan kekurangan Djohan yang tidak dapat dipahami tanpa menghargai posisi keyakinan pribadinya. Kenyataan bahwa ia mulai dengan posisi sebagai seorang Muslim yang berkomitmen merupakan kunci untuk memahami ketegangan dan energi spiritual yang berjalan sepanjang pekerjaannya. Ini digambarkan oleh komitmen untuk menyunting buku harian pribadi almarhum sahabat karibnya Ahmad Wahib. Diterbitkan sebagai Pergolakan Pemikiran Islam pada tahun 1981, tujuh tahun setelah Ahmad Wahib meninggal secara tragis tertabrak di jalan raya ketika ia meninggalkan kantornya, yaitu mingguan berita Tempo, buku ini merupakan karya kecintaan Djohan terhadap kawannya Ahmad Wahib dan gagasan-gagasannya yang termuat dalam buku hariannya. Buku harian yang diterbitkan itu merupakan buku yang hidup yang di dalamnya seseorang menemukan seorang pemuda yang bergelut dengan kebimbangan yang mendalam dan pemikiran-pemikiran yang gelap, tetapi tidak pernah meninggalkan keyakinannya. Ini memang tepat karena Wahib mempunyai keyakinan yang teguh, dan sangat percaya pada ajaran-ajaran Islam yang menyejarah, bahwa kejujurannya menyatakan pikiran-pikirannya karena ia berusaha untuk berdamai dengan tantangan-tantangan yang berputar mengelilinginya adalah sebuah pekerjaan yang hidup bergerak dan bermakna. Tdaklah mungkin untuk tidak melihat buku ini karena ia juga mencerminkan perjalanan Djohan sendiri. Karena hal itu tidak sekedar penghormatan terhadap almarhum temannya dan yang menggerakkannya untuk menjalankan pekerjaan yang melelahkan untuk membuat catatan-catatan yang bertebaran dan masukan-masukan catatan harian menjadi sebuah naskah yang rasional, tetapi hal itu juga menghormati gagasan dan pergulatan yang jujur dengan kebimbangan, sementara tidak membiarkan keyakinannya berlalu.

Dinamika ini menyajikan sebuah unsur penting kedua dari karakter dan pemikiran Djohan: yaitu tingkat kejujuran cendekiawan yang tinggi dan semangat untuk mengemukakan gagasan-gagasan. Ini merupakan tema sentral yang ditangkap dalam buku harian dari seorang Wahib. Tema yang sama berjalan melalui tulisan Djohan sendiri, meskipun dapat dipahami adanya keterbukaan dari masukan-masukan jurnal Wahid. Walaupun demikian, sebagaimana dengan catatan harian Wahib, sebuah tema sentral yang berjalan melalui tulisan Djohan adalah penting dalam membedakan prinsip-prinsip yang tidak berubah dan gagasan inti Islam dari tradisi manusia dan praktek yang berkembang yang terbentuk tanpa dapat dielakkan oleh tempat dan waktu dan sering disalahpahami sebagai hal yang tak bisa diubah. Tepat sebagaimana disimpulkan Wahib bahwa kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh orang-orang beriman secara individual tidak boleh dilihat sebagai kekhilafan-kekhilafan yang fatal dalam ajaran Islam, demikian pula Djohan sering mengkritik kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek, termasuk prasangka-prasangka dari kaum Muslim secara individual dan masyarakat-masyarakat mereka tanpa melihat hal ini bagaimanapun sebagai kekurangan Islam itu sendiri. Kesadaran ini memberikan keleluasaan kepada Wahib dan juga hal itu membebaskan Djohan untuk mempertanyakan dan mengkritik kepercayaan bahwa Islam lebih besar dari wadah yang menjadi tempat penampungan penafsiran dan konvensi pribadi.

Gairah Djohan terhadap gagasan-gagasan merupakan salah satu dari beberapa ciri yang menandainya sebagai seorang cendekiawan sejati. Sementara ada banyak orang yang secara wajar dapat membaca dengan baik dan yang mampu menulis dengan jelas, tapi relatif hanya sedikit cendekiawan yang sekaliber Djohan. Bahkan diantara mereka yang terlibat secara aktif dalam debat publik dan menonjol dalam berbagai kesempatan, termasuk banyak penulis dan pemimpin Islam, tidak banyak yang tergugah oleh gagasan-gagasan yang dilontarkan Djohan. Banyak yang berkutat dengan gagasan-gagasan karena pekerjaan mereka menyaratkan mereka untuk itu, tetapi untuk para cendekiawan seperti Djohan gagasan-gagasan tersebut menyajikan makanan, mereka menjadi sumber energi, dasar inspirasi dan sasaran kegairahan. Sedikit mempedulikan pakaian yang bagus atau kenyamanan pribadi, Djohan tampak nyaman hidup di tengah keberadaan buku-buku. Ia sangat menikmati ketika menelusuri rak-rak buku dan mencari judul-judul baru, ia selalu menyambut gembira kesempatan untuk membaca karya-karya baru, yang di negeri lain ciri-ciri demikian tidak menjadi sesuatu yang istimewa. Di Asia Selatan misalnya, di kantor-kantor dan toko-toko buku yang tak ada habisnya. Tetapi di perpustakaan-perpustakaan Asia Tenggara jauh lebih langka. Di Indonesia masih belum ada budaya membaca yang sebanding dengan budaya yang ada di India. Di India perpustakaan-perpustakaan pribadi yang besar merupakan hal yang biasadan bukan kekecualian dari kelaziman yang umum. Ada banyak orang seperti Djohan yang mencintai gagasan-gagasan dan buku-buku, mereka biasa mengunjungi perpustakaan dan betah membaca, tetapi orang-orang seperti itu termasuk dalam sekelompok kecil elit cendekiawan sejati.

Kecintaan Djohan terhadap buku dan membaca menunjukkan dunia batinnya. Dunia batin ini tidak begitu banyak terungkap dalam percakapan sebagaimana dalam tulisannya. Meskipun tidak sebanyak kawan-kawannya, dan tentu saja tidak sepeduli tentang hal-hal yang sudah diterbitkan, tetapi Djohan secara konsisten tetap produktif. Membaca karyanya akan menemukan kekayaan pikirannya, suatu kekayaan tidak selalu menarik dalam percakapan biasa. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, adalah sangat ironis bahwa Djohan membangun reputasi untuk dirinya sebagai penulis pidato yang unggul ketika ia sendiri muncul tidak biasa dalam berbicara. Teka-teki ini sebagian terpecahkan bila gairah Djohan terhadap gagasan-gagasan dipahami. Sama seperti tidak adanya pengganti dalam pembuatan film untuk kekuatan penceritaan, sehingga tidak ada jumlah ahli teknik atau dialog yang cerdas dapat menghasilkan kehebatan dengan tidak adanya cerita yang kuat, demikian juga dalam penulisan adalah mutu dari gagasan-gagasan yang memisahkan penulis besar dari pada yang sekedar baik.

Ciri penting selanjutnya dari karya Djohan ialah bahwa ia tidak sekedar bergairah dengan gagasan sebagai seorang konsumen, tetapi ia juga seorang produsen dari wawasan, pengamatan dan gagasan orisinal. Sebagai seorang cendekiawan yang berpikiran orisinal dan mandiri dan secara konsisten dan mendalam setia terhadap keyakinannya Djohan tergerak oleh gagasan-gagasannya dan setia terhadap gagasan-gagasannya sendiri. Dari masa-masa yang paling awal sebagai mahasiswa di Jogyakarta, Djohan telah menjadi seorang pemikir yang mandiri. Bahkan dewasa ini karena keterlibatan kampus-kampus, jumlah para pemikir mandiri sejati sedikit tetapi ketika Djohan pertama kali pada awal tahun 1960-an,budaya mengkaji secara rutin mereka yang mempunyai otoritaslebih merupakan faktor lingkungan dibanding keadaan sekarang ini. Dengan demikian, semua itu lebih menonjol bahwa Djohan menjadi semacam pemikir yang mandiri dan orisinalsejak usia mudanya. Tidak ada apapun dari latar belakang pribadinya atau tempat kelahirannya di pulau Kalimantan, yang akan menjelaskan keyakinan dan kepercayaan dirinya bahwa Djohan dapat menampilkan dari awal mula studinya. Salah satu diantaranya tertangkap dalam sebuah Catatan Harian Ahmad Wahib. Dari sini dan sumber-sumber kontemporer lainnya kita mendapatkan sebuah gambaran tentang Djohan dan Wahib yang bergumul dengan dunia dan secara diam-diam memikirkan segala sesuatu melalui diri mereka sendiri. Tak dapat diragukan lagi bahwa suatu hal yang mempunyai konsekuensi yang besar bahwa mutu Djohan diakui pada awalnya oleh Mukti Ali dan ia memilih untuk menjadi pembimbing Djohan dan berada dalam naungannya. Dan sama pentingnya dengan pembimbingan ini ada kemungkinan bahwa hal itu lebih sedikit menyebabkan adanya pemikiran Djohan yang mandiri dari pada hasilbimbingan itu sendiri. Adalah pemikiran yang mandiri ini yang mendorong Djohan dan Wahib mempertanyakan segala sesuatu di sekitar mereka termasuk rekan-rekannya dan para seniornya di lingkungan HMI.

Unsur penting keempat dalam sifat dan karya Djohan ialah kapasitasnya membuat analisa yang tajam dan mengemukakan ungkapannya sebagai penulis. Adalah ciri sangat penting ini bersama dengan yang lainnya yang telah diuraikan yang membuat orang seperti Mukti Ali mempekerjakan Djohan sebagai seorang penulis. Mulai dari sinilah ia mendapat perhatian dari presiden sendiri. Banyak para pemikir yang baik bukan merupakan penulis yang baik – untuk mengatakan mereka harus bekerja kerasuntuk mengungkapkan gagasan-gagasan mereka secara sederhana dan jelas untuk melibatkan jaringan pembaca yang luas – sama seperti para penulis yang baik bukan merupakan para pemikir yang baik. Djohan mencakup kedua-duanya. Faktanya ialah bahwa ia adalah seorang pemikir yang baik dan sekaligus seorang komunikator yang baik, paling tidak dalam dunia penulisan, merupakan kunci untuk memahami kontribusinya sebagai cendekiawan Islam reformis. Pengaruh Djohan datang melalui pembimbingannya terhadap orang-orang muda berdasarkan karakter pribadinya yang luar biasa, yang akan kita bahas dalam waktu singkat, dan melalui tulisannya. Adalah unik dalam kasusnya, ia bukan hanya menulis untuk dibaca secara pribadi oleh para pembaca tetapi juga untuk kata-katanya untuk diucapkan dengan suara lantang di hadapan khalayak luas oleh beberapa orang paling berkuasa termasuk Mukti Ali dan Presiden Suharto. Seandainya ia hanya seorang penulis yang baik dan berbakat, maka tidak mungkin ia akan menjadi salah satu dari dua penulis pidato untuk Presiden Suharto, yang menulis sebagian besar pidato-pidatonya tentang kebijakan sosial dan agama selama jangka waktu lebih dari satu dasawarsa. Belum ada seorangpun yang melakukan kajian komprehensif tentang pidato-pidato yang ditulis oleh Djohan dan dampaknya pada waktu disampaikan, tetapi tampaknya aman untuk memperkirakan bahwa ada sejumlah peristiwa ketika bentuk kata-kata dimana Djohan mampu meletakkannya dalam mulut Presiden dan hasil dari pembentukan kebijakan, penafsiran dan pelaksanaannya dengan cara-cara yang kritikal. Suhartomenerima bahwa kehebatan susunan kata-kata Djohan, dan mungkin juga kehebatan gagasan-gagasannya yang orisinal, cukup bernilai bahwa ia dapat mengabaikan fakta bahwa Djohan dari waktu ke waktu ingin mengambil wacana lebih jauh daripada Presiden bersedia menerimanya.

Saya memperoleh wawasan pribadi pada kehebatan Djohan sebagai seorang pemikir dan sebagai seorang penulis yang piawai melalui keterkaitan saya dengannya ketika ia mengambil program doktor di Universitas Deakin. Meskipun saya secara formal terlibat sebagai advisor atau supervisor disertasinya tapi dalam kenyataan yang sebenarnya, Djohan membuat tugas saya menjadi sangat mudah. Tentu saja kami berbicara dan bertukar gagasan tetapi saya agak menduga bahwa jika saya tidak berada disana ia akan tetap akan menyelesaikannya dengan baik juga. Ia tahu apa yang ia kerjakan, ia berpikiran jernih dalam membuat analisa sejak awal dan ia adalah seorang komunikator yang efektif meskipun adalah fakta bahwa ia menulis dalam bahasa yang ia tidak seluruhnya merasa terbiasadalam mengungkapkannya. Barangkali untuk alasan terakhir ini mengapa Herb Feith yang mempunyai rasa hormat yang sangat besar kepada Djohan dan ingin sekali melihatnya baik-baik saja pada awalnya merasa khawatir tentang bagaimana Djohan akan menghadapi pengalaman untuk menyusun disertasinya dalam apa yang disebutnya sebagai bahasa ketiga. Tentu saja Herb sangat gembira atas Djohan yangberkesempatan meninggalkan Jakarta dan datang ke Deakin di Australia ketika keadaan politik di Indonesia tidak terasa nyaman baginya. Saya pikir kekhawatiran Herb tentang kapasitas Djohan untuk menyusun sebuah disertasi sebanyak 80.000 kata dalam bahasa Inggris berpangkal dari pengalaman bahwa ia telah bekerja dengan banyak cendekiawan Indonesia yang muda dan cerdas yang berjuang keras dengan penulisan dalam bahasa asing dan barangkali yang lebih penting, dengan proses yang asing dari analisa tertulis yang panjang. Ia tidak perlu khawatir tentang Djohan. Adalah benar bahwa gaya bahasa Inggrisnya memerlukan sedikit pembenahan di sana-sini,bahwa ini adalah benar dalam masalah besar karena karena kualitas yang inheren dalam logikanya, analisanya dan alur nalarnya, cukup kuat sehingga maksudnya yang bersinar melalui gaya bahasanya dan seluruh proyek diselesaikan dengan tepat waktu dengan sedikit memerlukan penulisan ulang dan sedikit perjuangan dalam analisa atau penyampaian gagasan-gagasan. Banyak penutur bahasa Inggris asli mengalami lebih banyak kesulitan dalam menyusun disertasi S3 bidang pengetahuan sosial dari pada yang disusun oleh Djohan. Bukti atas mutu pekerjaan Djohan dengan disertasi ini dapat dilihat dalam buku yang baru-baru ini diterbitkan: A Renewal without breaking Tradition: the Emergence of a New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama during the Abdurrahman Wahid Era (Pembaharuan tanpa merusak Tradisi: Kemunculan sebuah Wacana Baru di kalangan Nahdlatul Ulama pada masa Abdurrahman Wahid).

Sejauh ini kita telah membahas empat dari tujuh unsur yang dijanjikan atas sifat dan pemikiran Djohan, yang pertama menyebutkan keyakinan Islamnya yang mendalam, yang kedua, kejujuran dan kecendekiaan dan gairahnya terhadap gagasan-gagasan, yang ketiga, kemandirian pemikirannya, dan yang keempat, kepiawaiannya sebagai penulis. Ketiga unsur terakhir yang akan dibahas terkait dengan sifatnya sebagai seorang humanitarian. Yang pertama dari ketiganya ini kerendahan hatinya yang orisinal dan kurang menonjolkan dirinya. Kebanyakan orang, tentu saja kebanyakan cendekiawan agama, suka berpikir tentang diri mereka yang rendah hati. Dan kita semua akan berharap bahwa orang lain melihat kita sebagai orang yang rendah hati. Itu mengecilkan kredibilitas kita sebagai pemikir dan keabsahan sebagai orang yang beragama, jika kita tidak dilihat orang lain sebagai orang yangrendah hati. Akan tetapi, hal yang aneh tentang Djohan ialah bahwa tampaknya ia tidak mempedulikan apa yang orang pikirkan tentang dia. Ini tidak untuk mengatakan bahwa ia sama sekali tidak mempunyai ego diri apapun, atau bahwa ia tidak pernah sakit hati dengan penilaian orang lain, tetapi sekedar bahwa ia tidak termakan oleh kekhawatiran tentang cara yang telah dilihatnya. Dengan kata lain, memaksakan bukti atas kerendahan hatinya dapat ditemukan pada kenyataan bahwa ia tidak memberikan pemikiran untuk dilihat sebagai orang yang rendah hati. Demikian pula segala sesuatu tentang perilaku dan gaya pribadi Djohan menyatakan tidak adanya rasa menonjolkan dirinya. Adalah menarik bahwa sementara ia secara alami tidak berbakat untuk membicarakan atau menilai kekurangan orang lain, ada satu hal yang jelas mengganggunya ialah keangkuhan dan kepura-puraan. Ketika memperoleh jabatan publik tertinggi sebagai Menteri Sekretaris Negara selama masa kepresidenan Wahid, Djohan jelas menjadi orang yang paling tidak menonjolkan diri dan paling rendah hati yang pernah menduduki jabatan itu. Sebagai seorang cendekiawan ini menjadikan kerendahan hati yang sejati dan mengabaikan status yang membuatnya sangat menarik. Orang-orang muda tertarik padanya karena sifatnya dan bahkan musuh-musuhnya tampak tidak nyaman untuk menanggapi secara kasar pada sesorang yang tampak begitu sopan dan lembut.

Akan tetapi, kerendahan hati itu sendiri tidak terjadi pada semua kebaikan yang memadai pada cendekiawan publik. Untungnya, pada Djohan hal itu dibarengi oleh kebaikan-kebaikan empati dan kepekaan terhadap orang lain. Hal itu tidak sekedar kebetulan bahwa Tuhan dijadikan acuan paling sering dalam Islam oleh kebaikan-kebaikan ini sebagai “Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Dimana ada cinta sejati, sedikit kelebihan ego dapat dengan mudah diabaikan tetapi tidak ada pengganti untuk cinta yang kurang memadai.

Salah satu dari karya Djohan yang terbaik, barangkali karyanya yang paling penting yang bisa dibicarakan, telah dilakukan di bidang dialog antar agama. Meskipun kekurangan kharisma yang umum dan gayanya yang tertutup, Djohan telah merupakan keberhasilan yang konsisten di bidang ini dimana kerendahan hati, empati dan simpati adalah sangat penting. Kebaikan-kebaikan ini digabungkan dengan sifat kecendekiaannya yang dibahas diatas, dan keyakinannya sendiri yang mendalam,secara efektif membukakan semua pintu baginya. Tidak pernah ada pertanyaan apapun bahwa ketika Djohan mendekati seseorang ia menjadi sesuatu yang kurang dari lengkap keasliannya atau pengorbanan dirinya, dan akibatnya sangat sulit untuk menolaknya. Diantaranya dialah seorang duta Islam yang istimewa, menjadi model kebaikan-kebaikan sebenarnya yang mengejawantah dalam kehidupan Nabi Muhammad.

Akhirnya, Djohan digerakkan oleh keinginan khusus untuk membantu kaum muda. Ia telah secara diam-diam memantau, mendorong dan memotivasi sejumlah aktifis dan pemikir muda, dan ada kemungkinan bahwa di wilayah ini sebagaimana halnya di wilayah lain dalam kehidupannya bahwa ia telah menghasilkan buahnya yang cukup banyak. Hal itu akan menjadi kajian yang menarik untuk melacaknya dan kontribusi Djohan pada kehidupan para cendekiawan muda dan memetakan pola pengaruhnya. Dan sementara kajian itu belum selesai dibuat, buku ini berfungsi sebagai sebagai sebuah petunjuk sekedar bagaimana keluasan Djohan dalam menyentuh kehidupan, khususnya kehidupan kaum muda, sebagai pembimbing dan sebagai kawan.

Mereka akan mengingat Djohan untuk banyak hal, tidak kurang menjadi kontribusinya terhadap pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Tidak ada keraguan bahwa ia telah menjadi salah satu dari cendekiawan yang paling bermakna dari generasinya. Meskipun ia merupakan pribadi yang lebih rendah hati dari pada kawan-kawannya Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Majid ia seperingkat disamping mereka. Gayanya mungkin berbeda, dan tentu lebih kurang tampil di hadapan publik, tetapi ia berjalan menurut caranya sendiri, dan mereka setara. Hanya agar orang dapat membayangkan, ia akan seperti sahabat karibnya Ahmad Wahib. Fakta bahwa Wahib mempunyai warisan yang bertahan lama, tentu saja hal itu hampir seluruhnya karena Djohan, dan bahwa sebenarnya menambahkan jumlah kontribusi Djohan sebanyak yang terlihat dalam kehidupan orang lain sebagaimana hal itu secara langsung tampak dalam karyanya sendiri.

Greg Barton

Monash University, September 2009

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun