Mohon tunggu...
Elzanosa Lahamadi
Elzanosa Lahamadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aksi Kamisan, Sebuah Upaya Terakhir Mencari Keadilan Bagi Mereka yang Dihilangkan

7 November 2024   00:25 Diperbarui: 7 November 2024   00:41 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : twitter.com/AksiKamisan

Sebagai negara yang sudah merdeka lebih dari setengah abad, banyak peristiwa yang terjadi sejak masa kemerdekaan Indonesia. Dalam menjalankan pemerintahan yang berdaulat tentu tidak mulus banyak tantangan yang harus dihadapi sebagai negara dunia ketiga yang baru merdeka. Berbagai kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi terutama pada masa-masa transisi sistem pemerintahan pada tahun 1998, lengsernya Soeharto yang saat itu menjabat menjadi Presiden RI tidak lepas dari berbagai gerakan sosial yang menuntut pertanggungjawaban atas krisis ekonomi yang terjadi kala itu. 

Latar belakang dari kerusuhan Mei 1998 dapat dilacak ke kondisi ekonomi yang buruk, penindasan politik, dan korupsi yang meluas di bawah pemerintahan Soeharto. Selama bertahun-tahun, pemerintahan otoriter ini telah menekan kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi, serta melakukan pembatasan terhadap partisipasi politik (Kusnadi, 2015). Banyaknya korban yang berjatuhan dalam peristiwa ini yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya menjadi titik awal berjalannya Aksi Kamisan. 

Secara definisi gerakan sosial merupakan kegiatan yang sifatnya kolektif untuk mengekspresikan tingkat kepedulian yang tinggi tentang isu-isu tertentu (Michener, 1999), yang dalam kasus ini Aksi Kamisan menjadi perwujudan gerakan sosial yang didasarkan pada rasa solidaritas dari para keluarga korban pelanggaran HAM dan untuk menuntut keadilan ditegakkan bagi korban yang sampai sekarang tidak diketahui kabar maupun keberadaannya. Gerakan ini sudah dimulai sejak 18 Januari 2007 dimana akan dilakukan seminggu sekali di depan Istana Negara pada hari kamis sore yang dipelopori oleh para keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu (Putra, 2020). 

Munculnya gerakan sosial seperti Aksi Kamisan tidak lepas dari rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh para keluarga korban maupun dengan para penyintas dari kasus pelanggaran HAM di masa lalu, rasa ketidakpuasan atas penanganan institusi negara yang seharusnya bisa memberikan keadilan bagi para korban yang terdampak dari kasus pelanggaran HAM menjadi alasan kuat berjalannya gerakan ini. Aksi Kamisan juga menjadi bukti bagaimana lalainya pemerintah dalam memastikan terpenuhinya hak-hak asasi manusia di masyarakat dalam kebebasan menyuarakan pendapatnya tanpa harus takut akan intimidasi dari pihak-pihak tertentu. 

Dalam menganalisis Aksi Kamisan, penulis menggunakan Teori Deprivasi Relatif mendefinisikan bahwa munculnya gerakan sosial adalah karena adanya ketidakpuasan seseorang ketika ia merasa tidak diperlakukan dengan seharusnya (Guerney & Tierney, 1982). Sederhananya teori ini melihat bahwa gerakan sosial muncul karena adanya perasaan bahwa mereka diperlakukan tidak semestinya dan menjadi dirugikan akibat perlakuan tersebut. Maka penulis menggunakan Teori Deprivasi Relatif dalam menganalisis gerakan sosial 'Aksi Kamisan'. 

Dalam perkembangannya Aksi Kamisan sudah berjalan selama 17 tahun, selama itu pula sudah berbagai elemen masyarakat bergabung dan menjadi saksi dari bagaimana acuhnya pemerintah dalam menangani isu kemanusiaan di negara ini. Dimulai dari masa pemerintahan di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono atau yang akrab disapa SBY, respon yang diberikan oleh istana pada saat itu untuk menyelesaikan isu pelanggaran HAM salah satunya adalah dibentuknya 'Tim Kecil Penanganan Pelanggaran HAM Berat' yang hasilnya hingga kini masih belum bisa menuntas habis masalah ini. 

Bahkan di Masa Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang dalam kampanye menjajikan akan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di masa lalu sekaligus perbaikan dalam Undang-Undang Peradilan Militer (Syahni, 2014). Sama seperti yang pernah dilakukan oleh SBY, di bawah kepemimpinannya juga dibentuk tim untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu ia bahkan mengadakan pertemuan dengan mengundang para peserta aksi kamisan. Namun seperti sebelumnya, sampai sekarang masih belum ada tindakan tegas yang dilakukan oleh menangani kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi sekaligus untuk mengadili para pelakunya. 

Meskipun Aksi Kamisan adalah gerakan yang diprakarsai oleh keluarga korban bertujuan untuk menuntut keadilan, banyak tanggapan kurang baik yang terhadap adanya Aksi Kamisan terutama sejak kembali mencuatnya isu pelanggaran HAM pada pemilu 2024. Aksi Kamisan dianggap sebagai isu 5 tahunan yang hanya akan muncul menjelang pemilu untuk mencemarkan atau memfitnah pasangan calon tertentu. Tanggapan masyarakat yang memandang Aksi Kamisan seperti ini cukup mengecewakan, dimana sebagai sesama manusia yang seharusnya memiliki rasa empati akan apa yang terjadi pada para korban pelanggaran HAM malah menjadi memojokkan gerakan ini. 

Sebagai masyarakat penting untuk bisa menghormati upaya yang dilakukan oleh keluarga korban pelanggaran HAM juga masyarakat lainnya yang ikut serta menyurarakan keadilan yang sudah sepantasnya bisa didapatkan oleh para korban, respon negatif yang diberikan oleh sebagian masyarakat juga harus dipahami karena kurangnya edukasi dan pemahaman terkait betapa pentingnya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal ini tidak lepas dari peran sosial media yang menjadi media penyebaran misinformasi tentang aksi kamisan, membentuk opini masyarakat yang memandang negatif aksi kamisan. Hal-hal seperti ini bisa dihindari dengan memberikan pemahaman lebih mendalam tentang hak asasi manusia agar masyarakat secara luas bisa lebih memahami apa yang selama ini diperjuangkan dari berjalannya Aksi Kamisan. 

Menghindari kejadian yang sama tidak terulang kembali maka diperlukan peran pemerintah untuk dengan serius menindaklanjuti kasus ini dan memberikan kepastian hukum bagi para keluarga korban. Dengan komitmen untuk bisa menumpas habis kasus ini, pemerintah bisa memberikan rasa aman dan menumbuhkan rasa kepercayaan bahwa persoalan hak asasi manusia bukan hanya sekedar isu yang dibahas 5 tahun sekali. Namun benar-benar menjadi perhatian pemerintah dalam upaya menjaga demokrasi di Indonesia agar bisa berjalan dengan semestinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun