Berbicara prihal pelecehan dan kekerasan seksual rasanya sudah tidak asing lagi untuk diperbincangkan, bukan tak miris namun memang pada kenyaataannya masalah ini tak kunjung selesai. Muak dan bosan rasanya ketika yang mencuat kembali kehadapan publik adalah isu kekerasan seksual.Â
Pada dasarnya kekerasan seksual bukan hanya dialami oleh kaum perempuan saja bahkan kaum laki-laki pun dapat mengalami kekerasan tersebut, namun sebagaian besar kasus yang terjadi dalam masyarakat lebih mendominasikan perempuan sebagai target dan korban dari kekerasan seksual.Â
Lantas kenapa persoalan kekerasan ini tak kunjung usai dan terselesaikan? apa sebetulnya akar dari permasalahan ini? Dan mengapa peristiwa kekerasan seksual lagi-lagi terjadi kepada perempuan? Untuk menjawab semua pertanyaan diatas kita perlu membedah struktur yang menjadi akar jalar peristiwa kekerasan tersebut terjadi.
Dilansir dari website resmi Komisi Nasional Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN) data jumlah perempuan korban kekerasan menurut provinsi periode januari s.d juni 2021 dari Simfoni PPA (N = 9.057 korban) menunjukkan bahwa Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah korban KtP yang tertinggi yaitu sebanyak 918 korban, Jawa Timur sebanyak 848 korban, Sulawesi Selatan sebanyak 679 korban, DKI Jakarta sebanyak 660 korban dan Jawa Barat sebanyak 648 korban, maka jumlah korban kekerasan terhadap perempuan terbanyak berada di Pulau Jawa.
Dengan maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan tak terkadang malah pihak perempuan sendiri yang disudutkan, dipandang rendah dan bahkan dikucilkan dimasyarakat.Â
Awal titik ini lah yang menjadi alasan kenapa perempuan sangat sulit untuk mengungkap peristiwa yang mereka alami dan dengan alamiahnya menjadikan pengalaman tersebut sebagai traumatis jangka panjang.
Kondisi masyarakat yang melabelkan perempuan ibarat piring beling yang jika pecah tidak berharga lagi menjadi stigmatisasi buruk korban kekerasan seksual. Dengan demikian kekerasan seksual semakin terkukuhkan. Hal-hal tersebut merupakan salah satu dari dampaknya budaya patriarki yang masih melekat kuat di Indonesia ini.
Sekalipun pulau jawa merupakan salah satu pulau paling maju di Indonesia namun dibuktikan dari data di atas pulau jawa menjadi sumber donatur kekerasan seksual terbesar selama semester pertama di tahun 2021. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?Â
Jawaban nya sederhana, lagi-lagi kita akan berbicara dengan bagaimana budaya patriarki mempengaruhi pemikiran masyarakat. Dalam pemerkosaan misalnya, si korban enggan melaporkan kekerasan tersebut karena dia merasakan malu yang taktertangguhkan, psikis yang tergoncang dan traumatis jangka panjang.
Mempertimbangkan dampak dari kasus kekerasan seperti pemerkosaan, berdamai dengan segala kondisi yang dialami dan membantu memulihkan trauma si korban merupakan langkah paling tepat untuk memotong akar jalar patriarki dan kasus kekerasan terhadap perempuan. Stop menghakimi korban mulailah memandang sesuatu secara substansial karena kekerasan/pemerkosaan bukan lah aib melaikan tindak kejahatan yang mengundang korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H