Mohon tunggu...
Ahmad Firdaus
Ahmad Firdaus Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Antara Indonesia dan Wanita Keadilan

19 April 2014   06:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:29 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gen sejarah tidak pernah berbohong, bahwa negeri ini terlahir atas penjuangan terhadap ketidak-adilan! Perjuangan untuk memperjuangkan hukum dengan caranya sendiri. Negara ini adalah negara yang ber “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, sesuai sila kelima dasar negara ini, Pancasila. Jadi sebetulnya, keadilan dan penegakan hukum adalah harga mati bagi negara yang dikatakan “Negara Hukum”. Keadilan adalah produk hukum, harga mati. Tetapi pertanyaan yang sekarang mengemuka adalah, apakah hukum hari ini sudah memberikan rasa keadilan?

Betapa sakitnya hukum di negeri ini ketika seorang pencuri sandal terkena vonis penjara selama 5 tahun hanya karena mencuri sebuah sandal. Namun kemudian, seorang tikus pengerat uang rakyat hanya cukup puas menerima hukuman 2 tahun penjara. Dimana rasa keadilan? Dimana harga diri kemanusiaan? Betapa kejamnya. Betapa tidak adilnya.

Akhir-akhir ini kita sudah mulai tak percaya lagi ada hukum. Hukum adalah dewa penyelamat? Iya, bagi mereka yang diuntungkan. dan hukum adalah rangkaian mimpi buruk bagi mereka yang dirugikan. Namun seringkali, mereka yang benar adalah yang dirugikan. Dan mereka yang salah, yang memiliki uang selalu menjadi pemenang.

Sistem hukum, penegak hukum, intervensi penguasa, intervensi asing, mafia peradilan, regulasi yang bermasalah. Ah, banyak sekali. Betapa peliknya permasalahan itu, yang mungkin takkan mampu dimengerti oleh seorang mahasiswa seperti saya.

Bila tidak segera dibenahi dikhawatirkan akan terjadi dampak sistemik seperti berikut. Pertama, ketidak-percayaan masyarakat pada hukum. Masyarakat akan kembali menggunakan hukum rimba. Kedua, penyelesaian konflik dengan kekerasan. Hukum represif ala Durkheim lah yang akan terjadi. Masyarakat akan menerapkan sanksi tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama. Ketiga, pementingan kepentingan pribadi atas hukum. Pemanfaatan tingginya kelas sosial dengan mudah dilakukan seseorang. tinggal suap, dan segalanya jadi. Dan keempat, intervensi asing dalam penegakan hukum. Lemahnya hukum di negara kita akan menjadi ladang pemanfaatan asing.

Hukum sejatinya adalah “ Wanita buta yang di kanannya sebilah pedang, dan di kirinya adalah neraca keseimbangan”. Wanita adalah representasi dari keanggunan, kemampuan hukum menetapkan tidak hanya pada aturan tertulis, tetapi juga mempertimbangkan hati nurani. Buta adalah konsep ketidak-berpihakan, tidak memandang siapa, status sosial, kekayaan, dan sebagainya, semua sama di hadapan hukum. Pedang adalah representasi ketegasan keputusan, ia kan menusuk dan menghabisi siapa saja yang melakukan ketidak-adilan, tanpa pandang bulu. Dan neraca adalah konsep keadilan, konsep keseimbangan, konsep kemerataan, ia tidak berat sebelah dan tidak juga memberatkan sebelah.

Allau a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun