Kerajaan Islam Samudera Pasai dalam sejarah tercatat sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara yang menjadi cikal bakal pusat pengembangan dan penyebaran agama Islam di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara, yang juga merupakan pusat Pendidikan Islam dan Ilmu Pengetahuan ternama yang mewariskan semangat pejuang bagi generasi penerusnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya sebagaimana tuntunan Islam, telah menghasilkan Syech (Guru Besar) serta berbagai ilmuan aplikatif lainnya. Kecemerlangan pemikiran mereka pada saat itu telah memberi dampak besar dengan terjadinya era kemakmuran dan kejayaan (welfare state) “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur" suatu Negeri Indah, Adil, dan Makmur yang diridai Allah Subhana Wataala.
Berdasarkan catatan ekspedisi Marco Polo (1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai. Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Â
Sultan Malikussaleh, yang juga dikenal sebagai Meurah Silu, adalah sultan pertama dari Kesultanan Samudera Pasai, yang memerintah mulai tahun 1267 hingga 1297 M. Ia merupakan tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia, terutama di Aceh, dan memainkan peran kunci dalam penyebaran Islam di wilayah Nusantara.
Malikussaleh lahir dengan nama Meurah Silu dan berasal dari keluarga bangsawan. Ia adalah keturunan dari Sukee Imeum Peuet, yang merupakan bagian dari empat maharaja yang membangun kerajaan-kerajaan di Aceh pra-Islam. Setelah bertemu dengan seorang ulama Muslim, Meurah Silu memeluk Islam dan mengubah namanya menjadi Malikussaleh, yang berarti "Malik yang Saleh" atau "Raja yang Baik".
Setelah memeluk Islam, Malikussaleh mendirikan Kesultanan Samudera Pasai sekitar tahun 1267 M. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Di bawah kepemimpinannya, Samudera Pasai berkembang pesat dan menjadi salah satu kerajaan terpenting di wilayah tersebut.
Selain sebagai pendiri dan raja pertama Samudra Pasai, Malik al-Salle juga merupakan penyebar agama lslam di Nusantara dan Asia Tenggara pada abad ke-13. Pada masa pemerintahan Malik al-Salle, Samudra Pasai memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan penyebaran lslam di tanah air. Samudra Pasai mengirim banyak ulama dan misionaris untuk menyebarkan lslam ke Jawa. Banyak juga sarjana Jawa yang belajar agama di Pasay. Salah satunya adalah Sufi dan imam lslam Syekh Yusuf, yang menyebarkan lslam dari Makassar ke Afrika Selatan.
 Warisongo adalah bukti kedekatan Samudra Pasai dengan perkembangan lslam di Jawa. Sunan Karijaga adalah menantu Mauranaishak, salah satu Sultan Pasay. Selain itu, Sunan Gunungjati yang menyebarkan agama lslam di Cirebon dan Banten sebenarnya adalah putra daerah Pasay. Sultan Samudra Pasai sangat teguh dalam mengamalkan lslam. Pemerintah adalah teokrasi (agama) berdasarkan ajaran lslam. Tak heran, kehidupan masyarakat juga sangat kaya akan nuansa agama dan budaya lslam. Sebagai kerajaan yang berpengaruh, Pasay juga berteman dengan penguasa negara lain seperti Champa, India, Cina, Majapahit dan Malaka. Menurut Marco Polo, Sultan Malikussaleh sangat menghormati Kubilai Khan, penguasa Mongolia di Cina.
Dalam rangka Islamisasi dan reaktualisasi, Sultan Malik Al Saleh menikah dengan putri Raja Perlak. Setelah itu lahir seorang putranya, Muhammad Malikul Zahir (Malik Al Tahir atau Malik At Tahir) meneruskan jabatan Sultan. Ia memiliki dua orang putra yaitu Malik Al Mahmud dan Malik Al Mansur yang diasuh Sayid Ali Ghiatuddin dan Sayid Asmayuddin saat kecil. Pengaruh Islam pada Samudera Pasai terlihat dari perubahan aliran Syiah menjadi Syafi'i yang mengikuti perubahan di Mesir. Saat itu, di Mesir sedang terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimah beraliran Syiah kepada Dinasti Mameluk beraliran Syafi'i.
Berikut ini adalah Sultan dan Sultanah yang pernah memerintah sebagai raja Kerajaan Samudera Pasai:
- Sultan Malik Al-Saleh (1267-1297)
- Sultan Muhammad Malik az-Zahir I/Muhammad I (1297-1326)
- Â Sultan Mahmud Malik Az-Zahir/Ahmad I (1326-1345)
- Â Sultan Mansur Malik Az-Zahir II (1345-1349)
- Â Sultan Zainal Abidin I (1349-1406)
- Â Sultanah Malikah Nahrasyiyah (1406-1428)
- Â Sultan Zainal Abidin II (1428-1438)
- Â Sultan Shalahuddin (1438-1462)
- Â Sultan Ahmad II (1462-1464)
- Sultan Abu Zaid Ahmad III (1464-1466)
- Sultan Ahmad IV (1466-1466)
- Sultan Mahmud (1466-1468)
- Â Sultan Zainal Abidin III (1468-1474)
- Â Sultan Muhammad Syah II (1474-1495)
- Sultan Al-Kamil (1495-1495)
- Sultan Adlullah (1495-1506)
- Â Sultan Muhammad Syah III (1506-1507)
- Â Sultan Abdullah (1507-1509)
- Â Sultan Ahmad V (1509-1514)
- Â Sultan Zainal Abidin IV (1514-1517)
Sultan Malikussaleh meninggal pada tanggal 17 Ramdhan 696 H (1297 M) & dimakamkan diDesa Büllingen, Kecamatan Samdera, Kabupaten Aceh Utara. Mengenai penyebab meninggalnya Sultan Malikussaleh, beliau meninggal karena sakit. Sepeninggal Sultan Malik al-Salle, kekuasaannya digantikan oleh keturunannya, Sultan Muhammad, yang bernama Sultan Malik al-Tahir I (1297-1326). Pengganti Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348).
Keberadaan Makam Sultan Malikussaleh di Desa Tunk Sharif di Desa Büllingen, Kabupaten Aceh Utara. Tempat ini dianggap sebagai lokasi Royal Ocean Palace. Jalan awal untk ke kompleks makam adalah Simpang Gampong Kude Gudon sebagai panduan pengunjung Makam Sultan Malikusale, dan perbatasan Gampong Büllingen-Gampon Klen Matty. Pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya makam Sultan Malikussaleh selama ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil tokoh masyarakat setempat. Dalam hal ini pengelola makam berada di bawah pimpinan Tengku Imuem Syik Gampong.