Mohon tunggu...
Ely Widyaswati
Ely Widyaswati Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pembelajar

Mengukir nasihat melalui rangkaian kata yang tersirat makna. Mengikrar tenang atas rangkuman catatan bersarana pena. Semoga hal baik selalu menjumpai pada tiap-tiap bait yang ditafsirkan. Selamat menyelami selaksa kronik atas perjalanan yang disuguhkan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menjangan Ketawan: Sang Pembawa Luka yang Menawan

3 Februari 2025   21:01 Diperbarui: 3 Februari 2025   21:01 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjangan Ketawan | Sumber: Pinterest

Ketika mendengar siratan dua kata tentang 'Menjangan Ketawan' tentu hal yang terbesit adalah puingan kenang pada novel legendaris karya Ning Khilma Anis yang berjudul "Hati Suhita".

Menjangan yang biasa diartikan sebagai rusa, kijang, maupun kidang merupakan seekor hewan yang gesit nan lincah dengan segala polah lompatan cepat yang ia miliki. Menjangan adalah seekor hewan yang jarang tersorot indah menawan, sebab hadirnya akan selalu kalah dengan bermacam hewan buas yang tertawan. Namun, serupa ungkapan Ning Khilma pada novelnya, tersiratkan bahwa Menjangan Ketawan merupakan rusa hebat yang dengan tangguh mampu membawa seluruh lukanya secara utuh, untuk menuai sembuh. Layaknya menjangan yang terluka ia akan berlari sejauh-jauhnya membawa seluruh luka dan air matanya. Ia tak akan lagi menoleh ke belakang, tak lagi menoleh kepada sang penoreh luka. Menjangan akan terus berlari, membawa lukanya ke tempat sepi untuk disembuhkannya sendiri. Butuh waktu yang terbilang tidak sebentar untuk ditukar dengan sembuh yang utuh. Ketika menjangan telah sembuh, ia akan menjaga jarak sejauh-jauhnya dari sang penoreh luka dan ia pun tak akan pernah kembali ke tempat di mana semula ia terluka.

Dari siratan makna tersebut, dapat kita telaah tentang betapa teguhnya seorang Menjangan Ketawan dalam menyembuhkan luka-lukanya. Ia sama sekali tidak berisik untuk berlari ke sana kemari mencari pertolongan demi lukanya mengering. Melainkan, ia fokus berlari pada satu tujuan; tempat yang jauh. Membawa lukanya dengan seluruh, memilih hilang; sembunyi di balik batu maupun ilalang. Hilangnya tak justru mematahkannya untuk berjuang melainkan untuk membawanya ke tempat pulang. Tempat ia menyandarkan luka-lukanya, tempat di mana ia merawat hingga pulih dengan sepenuhnya. Begitu teramat menawan bukan?

Dari kiasan tersebut, sebenarnya menuntun diri kita untuk menjadi seorang yang berwatak Menjangan Ketawan. Ketika hidup menghadapkan pada banyak luka yang menerpa, lebih-lebih luka yang disebabkan oleh sesama manusia. Ada langkah bijak yang dapat kita ambil, yaitu membawa seluruh luka yang ada untuk sampai pada jalan kesembuhan yang sejati. Meski sakit, sulit, dan seakan seluruh jalan menuju kesembuhan terasa sempit. Teruslah berlari. Teruslah mencari jalan kesembuhan yang hakiki: bersandar kepada Illahi Rabbi. Serupa analogi yang disampaikan tadi, jangan lagi menoleh kepada sang penoreh luka. Fokuslah kepada dirimu sendiri, kesembuhanmu, keringnya luka-lukamu.

Pada lintasan perjalanan saat berlari membawa luka mungkin tak akan mudah. Aral terjal, jatuh, tersungkur, bangkit akan selalu menjadi teman setia yang menemani. Dari perjalanan itulah yang sejatinya membawa kita dalam memahami segala pahit luka-luka. Agar nantinya tak menjadi insan yang serupa; sang penoreh luka. Cukup, tinggalkan jauh dan teramat jauh sang penoreh luka di belakang sana. Izinkan sang Menjangan Ketawan berlari untuk menyembuhkannya. Berdamai dengan segala keadaan yang ada. Menjangan tidak berpikir untuk menuntaskan balas, ia hanya berpikir untuk jangan sampai menjadi sang penoreh luka yang sama.

Biarlah, biar hanya karma yang membalas segala perlakuan buruk manusia. Kita sebagai insan yang memahami norma, agama, dan tata krama tak seyogianya berlaku hal yang sama. Biarlah kita rengkuh pembelajaran berharganya. Biarlah apa yang telah terjadi menjadi benteng kita untuk tak berbuat hal yang serupa. Perihal luka-luka kita, bawa berlari jauh ya. Sejauh-jauhnya dari sang penoreh luka. Izinkan waktu membawa kesembuhan dan banyak kebaikan yang tiada reda. Jika nantinya sembuh telah direngkuh, ingatlah satu hal untuk tidak kembali pada sang penoreh luka.

Hingga nantinya sang penoreh luka dapat belajar; jika nyatanya kebaikan sejati itu memang benar-benar ada. Kebaikan yang sejati akan tercermin pada insan yang sejati pula, yang saat disakiti tak justru membalas untuk menyakiti. Melainkan ia sibuk membentuk pribadi yang lebih baik lagi atas luka-luka yang terjadi. Bukanlah suatu hak untuk membalas perlakuan manusia, sebab yang paling berhak membalas adalah yang Maha menggenggam jiwa-jiwa manusia. Maka jika nanti sang penoreh luka kembali, ucapkan terima kasih. Sebab luka yang dihadirkannya memberi makna pada jiwa kita, bahwa sesungguhnya sang pembawa luka akan tiba waktunya menuai bahagia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun