Mohon tunggu...
Ely Widyaswati
Ely Widyaswati Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pembelajar

Mengukir nasihat melalui rangkaian kata yang tersirat makna. Mengikrar tenang atas rangkuman catatan bersarana pena. Semoga hal baik selalu menjumpai pada tiap-tiap bait yang ditafsirkan. Selamat menyelami selaksa kronik atas perjalanan yang disuguhkan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Senandika Rasa Usai Menjumpa Purnama

28 Januari 2025   21:11 Diperbarui: 29 Januari 2025   16:25 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjumpa Purnama | Sumber: Pinterest

Selaksa rindu telah aku lewati dalam perjalanan melupakanmu. Ku kubur semua harap yang dahulu pernah aku sulam benang bahagia bersamamu. Perjalananku jauh pun penuh peluh, hingga menjadi niskala yang sirna dan tak pernah mewujud. Itulah titian waktu yang aku arungi dalam usaha melupakanmu. Nihil. Tak pernah bisa, dan justru memori kenangan terus muncul secara berulang bahkan tiba-tiba. Perjalananku menemukan arti lupa selalu menjadi kesiaan belaka. Lantas aku harus bertindak seperti apa dan bagaimana Tuhan?

Seperti amnesti yang terus berputar dalam lamunan semuku. Menderu riuh memberi pantang untuk mengeluh, berbisik lirih membekaskan juang yang abadi di dalam diri. "Kamu harus mampu, kamu harus bisa. Melupa memang tidak perkara mudah yang dapat direngkuh satu dua hari tanpa susah payah. Mungkin dari dasar atmamu ada hal yang perlu dibenahi, ada hal yang perlu diluruskan kembali. Silakan kamu menyelam ke palung hatimu yang lebih dalam. Jangan menyerah. Meskipun jalan yang Tuhan berikan tidaklah selalu mudah, tapi pasti berakhir indah. Percayalah."

Benar mungkin ada yang harus aku benahi, ada yang perlu aku luruskan. Berwaktu-waktu aku sibuk mencari titian jalan untuk melupa, namun hasilnya tak selalu menjadi jawab yang nyata. Mungkin ada hal yang harus aku telaah, apakah caraku yang salah, atau justru mungkin melupa yang menjadi masalah. Hingga pada akhirnya aku berjumpa dengan ingar bingar jawaban yang terukir takzim. Ya, 'caramu keliru bukan dengan melupakan melainkan dengan mengikhlaskan.'

Sayup-sayup dersik angin membelai lembut jiwaku, merengkuh rela yang kupatrikan dalam terima. Benar, aku harus ikhlas aku harus melangkah tanpa memaksa lupa. Semakin ku peluk ikhlas, semakin tenang membersamai jiwa. Naif jika aku tidak merindukan ulasan kenang yang pernah kita lalui bersama. Naif jika aku tidak menikam segala kenang ketika hadir begitu saja; tanpa permisi, tanpa aba dan sapa. Ternyata benar senandung yang dibawakan Soegi Bornean dalam bait Samsara terukir kata membekas makna.

Yang tak kau tahu kekasihku

Mengikhlas itu setingginya ilmu

Meski saban waktu

Kutimang jiwaku

Ikhlas adalah titik tertinggi pengamalan ilmu seseorang. Ketika batinnya masih menghasut untuk tetap tinggal dalam memori kenang tapi akal memaksa mundur untuk memberi pertanda agar ego dileburkan, sirna dan tak kembali hadir membawa kesengsaraan.

Aku tahu, tak akan mudah untuk membawa ikhlas dalam keseharianku terlebih kesenduanku. Namun, desiran kalbu mengoyak agar ikhlas selalu hadir di setiap langkahku. Tertatih, terkulai, tekapar tak berdaya. Porak-poranda. Semua telah aku rasai untuk menjumpa makna ikhlas sesungguhnya. Berat jika tak kusandarkan kepada yang Maha menggenggam segalanya. Perih ketika tersulut memori luka yang membekas di palung jiwa. Namun, aku harus percaya. Meski gamang hadir tak hanya satu dua kali, membuat rintik air mata tak terhenti. Ku pupuk kesadaranku, mungkin memang ini jalannya, harus babak belur terlebih dahulu, harus kuat menghadapi segala rintang getir yang tak berkesudahan. Dalam lusinan waktu terus kucoba, mencoba, dan tak berhenti berusaha.

Sajadah panjang menjadi teman paling setia dalam menghaturkan segala kepasrahan jiwa. Ketika siang kurangkul semua kata baik-baik saja, namun ketika hening malam tiba aku mengakui menjadi hamba yang lemah dan begitu sangat tak memiliki daya. Terima kasih Tuhan, merupa candra sengkala yang menjadi perhitungan waktu, kurapal pintaku menjadi satu. Aku ingin dikaruniai hati yang ikhlas, hati yang mampu lapang dalam menerima segenap ketentuan-Mu, hati yang tenang dalam menjalani setiap alur takdir-Mu. Terima kasih Tuhan, setelah sekian purnama kulalui hariku yang penuh berat dengan lancung. Kini aku telah banyak belajar, membelajarkan hati untuk merengkuh damai yang sejati, melangkah tanpa kepura-puraan topeng bahagia, yang jika dibuka penuh luka lebam tak terkira. Tuhan, aku hanya ingin sembuh. Sembuh karena jiwaku yang kembali utuh, sebab kemahabaikan yang Kau rangkul dengan seluruh. Bukan sembuh dengan hal acuh yang diberikan oleh sembarang hati, sungguh bukan. Biar kututup rapat pintunya, biar yang berpenghuni hanya ayah ibu dan Engkau saja Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun