Kini usiaku telah 23 tahun. Usia yang kala itu pernah aku nanti-nanti untuk mengenakan baju pengantin, sembari erat menggenggam sepasang tangan yang kekal menjagaku hingga kelak terurai menjadi debu. Anganku dulu dewasa seindah pun semudah merangkai bahagia dalam usia dua puluh tiga.
Namun, nyatanya semakin aku dewasa semakin aku khawatir untuk segera melepas masa lajangku. Aku khawatir belum mampu memberikan bakti terbaik kepada ayah dan ibu, bakti yang akan sirna ketika aku telah diserahkan sepenuhnya kepada sang pelengkap separuh agama. Semakin kutelisik nuraniku, semakin kudalami isi hatiku.
Tampaknya dalam binar mata ayah yang tak sebening dulu itu, aku tetap menjadi putri kecilnya yang teramat disayanginya. Tak pernah sekejap pun luntur kasihnya, padahal waktu terus membawaku bertumbuh dewasa. Setiap kali aku melihat keriput wajahnya, uban dirambutnya, kerut di jari jemari tangannya, semakin aku menyadari beliau semakin menua. Bumi memang bukan tempat untuk tinggal melainkan tempat untuk meninggal, tapi Tuhan izinkan aku untuk terus memberikan kasih yang tiada lunturnya, merupa kasih yang senantiasa beliau berikan yang tak ada batas akhirnya.
Ayah memang sosok yang pendiam, namun tegas dalam bersikap. Ia mengajarkan ketangguhan dalam setiap laku yang kujalani, mengajarkan kedisiplinan yang teramat tinggi. Dahulu aku kerap kali menangis karena ayah selalu membatasi ruang gerakku, serasa dunia tidak adil kenapa aku memiliki ayah yang tak asyik seperti itu. Dahulu pula aku kerap kali marah atas banyak kekangan yang beliau berikan, namun setiap senja tiba ayah selalu menggenggam tangan mungilku mengajakku untuk jalan-jalan sore, sungguh indah nian rasanya kala mengitari danau atau kemanapun asal aku tersenyum kembali. Dasar nakal, aku selalu meminta beraneka macam jajan dan ayah selalu memberikan, tapi dengan satu syarat harus dimakan dan dihabiskan. Seketika pula aku riang gembira dan lupa perihal kesal mengapa ayah melarangku berbuat hal yang tidak beliau perkenankan. Ayah sosok yang selalu membersamaiku bersepeda dari yang awal mulanya beroda empat, tiga, hingga lancar mengayuh roda dua. Ayah sosok yang selalu membopongku kala aku pura-pura tertidur di depan televisi untuk dipindahkan ke kasur empuk di dalam kamar. Ayah pula yang selalu mengantar jemput tatkala aku pergi dan pulang keluar kota bahkan saat usiaku beranjak dewasa.
Ayah ribuan cerita rasanya tak pernah cukup untuk menuliskan artimu dalam hidupku. Sejak kecil aku selalu kau jadikan tuan putri yang teramat disayangi, kala gadis aku kau jadikan tawanan putri yang tak sembarang bisa keluar dari istana penjagaannya. Hingga kini, aku telah diambang usia dewasa, engkau erat merangkulku kala jiwaku tak baik-baik saja. Ayah aku tahu kau tak banyak berucap kata, namun segala tindakanmu terpatri nyata. Ayah aku tahu aku belum mampu menjadi putri yang membanggakan ayah, namun ayah kumohon, temani selalu langkahku ya.
Meski kini ayah tak sebugar dulu, tak segagah dulu, bahkan tak setampan rupawan dulu. Ayah tetap menjadi ayah terbaik bagiku. Ayah tetap menjadi pangeran berkuda yang siaga menjaga putri kecilnya. Meski kini tugas-tugas ayah yang dulu selalu mengawasiku, menjaga langkahku agar tak keliru, dan mendidikku agar menjadi putri yang tak keluar dari tatanan norma dan agama telah begitu rapuh untuk kau jalankan. Sungguh ayah, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga amanah atas berat tugas-tugas itu dengan sebaik-baiknya. Aku janji akan menjadi putri ayah yang kelak mampu menjadi putri terindah sampai di surga abadi Allah.
Ayah sehat selalu ya, maafkan aku yang kadang kala tak sabar dalam merawatmu, tak sabar dalam menemani langkahmu; yang tak secepat dulu kala ayah mengejar lariku. Ayah doakan aku selalu untuk segera merengkuh sarjana, tak mengapa dulu kuliahku harus tertunda sebab aku memilih jeda untuk menemani ayah dalam mencari obat kesembuhan yang tiada reda. Ayah janji ya, harus sehat terus, temani langkah kecil nan perlahan dari putrimu ini. Katanya ayah paling bangga dan berbahagia ketika melihatku mengenakan toga, jadi tunggu aku ya ayah sebentar lagi InsyaAllah akan sampai. Katanya pula ayah yang ingin menjabat tangan seseorang yang kelak menjadi imamku; pengganti ayah dalam memberikan penjagaan terbaik untukku. Tapi ayah, sungguh ada rasa takut jika kelak aku bersanding dengan seseorang yang tak seerat genggamannya seperti ayah, yang tak memaklumi banyak ketidakbaikanku seperti ayah, dan yang tak membimbingku dengan tulus seperti ayah. Sungguh ayah aku takut. Namun ada satu hal yang melunakkan ketakutanku, perihal nasihat ayah yang selalu meyakinkan "Yang baik akan dipersatukan dengan yang baik pula Nduk, itu janji Allah. Kamu tidak perlu risau pun khawatir, sebab rezeki, jodoh, dan maut sudah Allah tetapkan di Lauhul Mahfudz-Nya. Tugasmu tinggal berbenah, memperbaiki diri, dan yakin atas segala takdir baik-Nya."Â Ayah sungguh terima kasih. Meski manusia terlahir dengan ketidaksempurnaannya, namun ayah selalu berusaha menjadi sempurna untukku.
Ayah pintaku itu, sehat selalu ya. Semoga Allah memberkahi usia ayah untuk beribadah kepada-Nya, untuk merajut cinta kasih di usia senja bersama ibu, dan berbahagia melihat anak cucu. Ayah, doakan selalu putri kecilmu yang sudah beranjak dewasa ini ya, yang sudah berusia dua puluh tiga. Ayah langkahku masih jauh, prosesku penuh peluh, namun ayah selalu menguatkanku untuk tidak mengeluh. Ayah sekali lagi temani aku melangkah.
Terima kasih pena telah menemaniku menggoreskan keabadian tentang ayah, izinkanku mengukir kenang mengenainya pada lembaran bait tulisan ini, meski menulisnya sungguh penuh derai air mata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI