Mohon tunggu...
Ely Widyaswati
Ely Widyaswati Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Menjadi mahasiswa merupakan kesempatan emas untuk bertumbuh lebih baik lagi, salah satu hal yang menunjang saya untuk senantiasa bertumbuh adalah dengan menulis. Karena menulis merupakan pijakan awal untuk melompat lebih tinggi menggapai masa depan yang mumpuni. Muda berkarya, tua bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Akad: Titik Henti Dalam Menanti

23 Januari 2025   14:14 Diperbarui: 23 Januari 2025   14:14 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Janji akad hingga liang lahat | Sumber: Pinterest

Rotasi waktu terus membawamu berlari jauh dari jarak pandangku. Kuhitung telah sewindu rasaku berlabuh pada sosok yang tak pernah bisa terganti di setiap garis waktu. Kepadamu; nun jauh di sana apa kabarmu? Lini masa sosial media tak lagi menjadi ajang untuk diam-diam memperhati lebih lama. Aku memilih menjauh, pudar dan menghilang dari peradabanmu. Aku gelagapan jika terus menerka-nerka artiku dihidupmu. Padahal pada nyatanya hilangku tak pernah menjadi sebab keresahanmu. Aku memaksa diriku untuk mundur dan tak lagi mengganggu segala cita-cita baik yang dahulu pernah kau ceritakan padaku. Aku sadar, perempuan sederhana yang selalu setia menjadi pendengar keluhmu, belum tentu kelak akan kau rengkuh menjadi pelengkap separuhmu.

Berangsur-angsur aku menelaah jawab dari semesta, Tuhan jika memang Engkau takdirkan untukku semoga kelak di waktu terbaik ada titik temu. Namun Tuhan, jika memang Engkau tidak menakdirkan untukku semoga ikhlas selalu terdekap dalam kalbuku. Seikhlas itu aku mencoba merapal pinta, mengikhlaskan segala rasa hingga tertuai jawab di waktu terbaik-Nya.

Jauhmu tak justru membuatku berkelok dalam setia. Jauhmu justru menuntunku untuk teguh menantimu dalam deru doa. Ku beningkan segala niatku untuk selalu mendoakan kebaikanmu, lancarnya urusanmu, tercapainya cita-citamu, pun salah satu cita terbaikmu yang ingin merawat bunga yang mekar mewangi tak tertandingi itu. Entah siapakah gerangan insan yang kau selalu sebut-sebut bunga indah itu, aku selalu bahagia. Sebab aku percaya tak akan mungkin lelaki baik sepertimu akan sembarang menjatuhkan hati pada bunga yang tak memiliki arti indah sepertimu. Simpul senyumku tulus kala mendengar hajat baikmu itu, meski sesekali batinku bergejolak "Apakah bunga indah yang kamu maksud itu adalah aku?" Tanpa nanti, tanpa tapi. Aku selalu menepis segala lamunanku itu, rasa-rasanya apakah pantas perempuan sederhana macamku ini akan dipilihnya menjadi pendamping hidup yang kelak setia menemani.

Tak jemu aku selalu mendoakan kebahagiaanmu, hingga nanti tiba hari bahagia kau bersanding dengan bunga indah yang sering kali kau ceritakan padaku dulu. Aku selalu menanti, siapakah insan yang kau pilih untuk menjadi separuh agamamu. Siapakah insan yang mampu melembutkan jiwamu hingga tak pudar rasamu dalam beradu juang untuk mendapatkannya. Siapakah insan tersebut?

Dalam palung terdalamku, andai kau tahu, andai kau mampu menyibak belukarnya, akulah insan yang ingin menjadi bunga indah yang kau juangkan itu, aku ingin menjadi garis takdirmu. Membuka mata setiap sang surya tiba dengan hangat penuh cinta. Merangkai doa penuh keselamatan sebelum kau melangkahkan kaki untuk bekerja, dan yang paling utama adalah mencium tanganmu selepas shalat kala sunyi malam tiba. Andai kau tahu.

Teramat naif, jika aku ingin menggebu memilikimu, sedang aku tahu kodratku adalah perempuan yang hanya mampu mengikhtiarkan lewat doa-doa yang tiada jemu. Selebihnya ikhtiar juang ada padamu. Namun apalah daya kecuali hanya bersandar kepada yang Maha Segalanya, yang Maha membolak-balikkan hati manusia. Satu hal yang pasti, izinkanku membentangkan jarak paling jauh dari garis edarmu. Izinkanku untuk menutup segala celah mengenaimu, kecuali celah untukku mengetahui kabar bahagiamu, ketika kau telah berhasil meminang bunga indah yang dahulu kau gaungkan dalam cerita-ceritamu. Karena jika telah sampai pada kabar bahagia tersebut, akan ada perjanjian agung yang disaksikan penduduk langit yang bernaung dalam Mitsaqan Ghalizan. Dan jika telah sampai pada kabar bahagia tersebut, aku telah menuai pasti tentang kalahnya doaku yang syahid bertarung di langit Allah untuk menjadikanmu imamku.

Hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak bersedih. Akan kuupayakan sepenuhnya untuk mengikhlas tiada reda, sebab aku percaya skenario Allah pasti terbaik bagi hamba-Nya, bagi hamba yang selalu bersyukur dan bersabar kala terpa ujian mendera. Hari itu, aku akan turut berbahagia, meski tak bisa menghadiri undanganmu yang telah sampai pada alamatku. Aku mohon maaf teramat dalam tidak bisa memenuhinya, namun yakinilah doaku akan terus mengiringi mahligai sakinahmu. Hari itu, menjadi hari terakhir untukku menantimu. Sungguh jika relungku masih mengharapkanmu itu adalah aib yang teramat buruk, tak pantas mengharapkan apa yang telah dimiliki seseorang. Dan hari itu pula, luruhlah segala rasa yang kupendam lama untukmu. Berbahagialah, semoga Allah memberkahi pernikahanmu untuk menggapai ridha-Nya; bersama-sama menuju surga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun